STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (1)
STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (1)
Akhir-akhir ini kita sedang disibukkan oleh dua kata yang sangat penting di dalam proses penyebaran atau penguatan kualitas kehidupan umat beragama, yaitu “Standarisasi Khatib” atau “Sertifikasi khatib”. Dua kata ini menjadi trending topic di kalangan umat beragama sampai tokoh-tokoh agama. Ada yang menyatakan pro dan ada yang menyatakan kontra. Ada yang bernada mendukung dengan tegas, ada yang mendukung dengan malu-malu dan ada yang menolak dengan nada lirih dan ada yang menolak dengan keras.
Saya kira variasi dan keanekaragaman seperti ini tentu hal yang sangat wajar. Jadi rasanya memang semua bisa berpendapat dan semua bisa mengemukakan gagasannya. Semua yang menolak atau menerima tentu menggunakan logikanya masing-masing dan memberikan pembenarannya masing-masing. Namun demikian, penerimaan dan penolakan tersebut tentu terkait dengan kepentingannya. Bisa karena alasan politik, sosial dan juga keagamaan.
Berbagai pendapat tentang standarisasi khatib atau sertifikasi khatib ini tentu dipicu oleh pernyataan Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, di majalah Tempo beberapa saat yang lalu, bahwa diperlukan sertifikasi khatib yang terkait dengan legalitas yang bersangkutan untuk memberikan uraian tentang khutbah Jum’at.
Menteri Agama sesungguhnya sudah memberikan klarifikasi tentang konsep sertifikasi atau standarisasi khatib ini. Menurut Beliau bahwa yang diperlukan adalah standarisasi khatib dan bukan sertifikasi khatib. Diperlukan standarisasi khatib ini tentu dengan menggunakan dua alasan, yaitu: terkait dengankhutbah adalah bagian dari shalat Jum’at, maka tentu yang dibutuhkan adalah pemenuhan syara danrukun shalat Jum’at, yang diantaranya ialah tentang khutbah. Dengan adanya standarisasi khatib, maka akan bisa menjamin tentang kualifikasi ibadah tersebut. Misalnya standart kualifikasi bacaan al Qur’annya, materinya, dan juga etika khutbahnya.
Kemudian kedua, ialah standarisasi teks khutbah atau konten khutbah. Khutbah sebagai bagian dari shalat Jum’at tentu harus mennggunakan konten yang relevan dengan persoalan ibadah dimaksud. Artinya, bahwa teks khutbah tentu harus ada kaitannya dengan amar ma’ruf nahi munkar dalam konteks keagamaan. Jika misalnya harus menyampaikan masalah-masalah sosial atau politik tentu harus dikemas dengan bahasa atau pernyataan yang membangun ketenangan umat dan bukan sebaliknya.
Dikaitkan dengan dua alasan ini adalah tentang banyaknya mimbar Jum’at yang dijadikan sebagai sarana untuk memprovokasi umat dengan berbagai cita-cita atau keinginan yang bertentangan dengan visi dan misi bangsa Indonesia. Misalnya ajakan untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan ideology bangsa dan mengusung ideology lain yang secara tegas berseberangan dengan kepentingan kebangsaan dan semangat nasionalisme keindonesiaan.
Bagi menteri Agama, bahwa yang tepat adalah standarisasi dan bukan sertifikasi. Melalui standarisasi, tentu kualitas khutbah akan menjadi lebih baik dalam kaitannya dengan Islam, kebangsaan dan keumatan. Istilah standarisasi lebih menegaskan pada konteks perbaikan kualitas dan bukan pembatasan. Jadi, siapapun yang memenuhi kualifikasi itu tentu diperbolehkan untuk menjadi khatib atau bahkan menjadi penceramah. Tidak ada pembatasan kecuali kualifikasi itu sendiri.
Standarisasi khatib itu akan menjadi berguna agar siapapun yang mengajarkan agama haruslah memahami tentang agamanya itu. Jangan sampai orang yang tidak memahami agamanya dengan utuh sesuai dengan kualifikasinya bisa dengan semau-maunya menjadi khatib atau bahkan penceramah agama.
Kata sertifikasi mengandung bias penyelenggaraannya. Kita tentu bisa belajar dari program sertifikasi guru dan dosen, yang ternyata juga tidak sepenuhnya menghasilkan guru yang professional. Persyaratan yang lebih bercorak administrative tentu kemudian menjadi kendala untuk pelaksanaan sertifikasi khatib ini. makanya dipilihlan frasa standarisasi sebab di dalamnya mengandung upaya perbaikan, penguatan, dan pemberdayaan.
Meskipun upaya untuk melakukan klarifikasi telah dilakukan dengan berbagai cara akan tetapi isu ini tetap saja bergulir dengan kuat. Di antara suara yang menolak tentu lebih kuat dari yang menerima. Kuatnya arus penolakan itu tentu terkait dengan akibat yang bisa ditimbulkan dengan program ini. ada banyak elemen masyarakat yang merasa khawatir dengan program ini, maka kebebasan yang selama ini diperolehnya menjadi “berkurang” atau “terbatasi”.
Dan yang menarik adalah bahwa di antara yang menolak itu kebanyakan adalah mereka yang selama ini menyuarakan gerakan Islam yang berafiliasi ideology trans-nasional. Mereka yang selama ini tergabung di dalam pemikiran “Khilafah Islamiyah” atau “Islam fundamental” itulah yang paling keras penolakannya. Hal ini tentu didasari oleh “kebebasan” untuk mengekspresikan ajaran agama dalam tersirannya. Jika kemudian program standarisasi khatib atau penceramah agama itu dilakukan sungguh-sungguh, maka akan bisa menjadi “boomerang” bagi mereka.
Dan tampaknya mereka sudah memasuki berbagai institusi dan media dengan memberikan argumentasi yang sangat memihak kepada kepentingannya di masa depan, yaitu terwujudnya khilafah Islamiyah yang dianggapnya sebagai solusi untuk mengatasi seluruh problem kemanusiaan, kemasyarakatan dan kenegaraan.
Wallahu a’lam al shawab.
