• December 2024
    M T W T F S S
    « Nov    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    3031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMAKSIMALKAN AGENSI KEBAIKAN

 Allah itu memang memberikan kemampuan kepada manusia jauh di atas kemampuan hewan atau binatang. Itulah sebabnya manusia disebut sebagai hayawanun natiq atau hewan yang berakal. Disebabkan oleh kemampuan tersebut maka manusia disebut sebagai cetak biru Tuhan atau ahsani taqwim, sebaik-baik ciptaan. Dibandingkan hewan lainnya yang hanya memiliki naluri, maka manusia memiki kemampuan yang luar biasa. Otak manusia dipenuhi dengan kemampuan rakayasa yang sangat tinggi. Secara sosiologis, kemampuan manusia juga terus berkembang: dari masyarakat berburu, ke masyarakat peramu,  ke masyarakat agraris, ke masyarakat industri dan ke masyarakat informasi dan apa lagi seterusnya.

Manusia sesungguhnya memiliki dua potensi sekaligus, yaitu potensi kebaikan dan potensi keburukan. Dan kemudian agar potensi kebaikan lebih dominan, maka diturunkanlah agama-agama sebagai pengarah agar manusia melakukan kebaikan dan meminimalisir keburukan. Di dalam kehidupan di dunia ini, ternyata yang banyak terjadi adalah pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Dalam cerita pewayangan, maka kebaikan digambarkan selalu berlawanan dengan kejelekan. Para satria berperang melawan para raksasa. Satria digambarkan dengan kebagusan perawakannya, yaitu hidung mancung, kulit kuning,  perawakan atletis dan sebagainya. Sedangkan  raksasa digambarkan dengan kejelekan perawakannya, yaitu hidung pesek, kulit merah atau hitam, badannya tambun penuh lemak dan sebagainya.

Dalam dunia pewayangan memang bisa ditipologikan secara simbolik seperti itu. Tetapi dalam jagad kemanusiaan, sungguh sangat sulit untuk menentukan siapa yang baik dan buruk. Ada banyak topeng yang bisa digunakan untuk mengelabui terhadap tindakan yang sesungguhnya. Polisi yang seharusnya menjadi penegak hukum ternyata justru melakukan tindakan penyimpangan hukum. Kejaksaan yang seharusnya menjadi penyangga keadilan ternyata melakukan rekayasa kejahatan. Kehakiman yang seharusnya menegakkan keadilan ternyata justru yang mengebiri ketidakadilan. Para pejabat yang seharusnya bertugas menyejahterakan rakyat ternyata menyejahterakan dirinya sendiri. Ada juga pejabat agama yang seharusnya menyangga ajaran agama ternyata melakukan korupsi. Demikianlah dunia ini memang memiliki keanekaragaman.

Agama sebenarnya telah mengajarkan agar manusia mengembangkan potensi kebaikan tersebut. Kemampuan agensi manusia agar diarahkan untuk mencapai kebenaran hakiki, yang berada di dalam koridor agama. Islam mengajarkan bahwa untuk menjadi baik maka harus ada proses saling bernasehat akan kebaikan. Al Qur’an menjelaskan ”wa tawa shaubil haq wa tawa shaubis shabr”. Yang artinya ”hendaknya saling berwasiat tentang kebenaran dan berwasiat tentang kesabaran”. Jika diperdalam, apa sesungguhnya relasi antara kebenaran dan kesabaran itu? Mengapa Allah menganjurkan agar berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran?

Kebenaran merupakan suatu produk dari aktivitas, pandangan atau agasan yang berimplikasi kebaikan. Kebenaran sebagai produk adalah wujud dari hasil penilaian secara teoretik-konseptual berdasar atas ukuran-ukuran moral yang sudah disepakati oleh masyarakat yang memiliki ajaran moral tersebut. Maka kebenaran merupakan produk dari sebuah proses penilaian yang mekanik terhadapnya. Tanpa dinyatakan itu benar atau salah maka orang akan dapat melakukan identifikasi berdaraskan atas ukuran yang dimilikinya untuk menjustifikasi bagaimana realitas yang sebenarnya. Memang sudah ada sejumlah teks yang menjadi ukuran sebuah ucapan, tindakan atau perilaku dianggap benar atau tidak. Sedangkan kesabaran merupakan suatu kondisi psikologis yang dialami oleh seseorang yang dapat menyeimbangkan antara nafsu amarah dengan nafsu mutmainnah. Nafsu yang mengarah kepada kemarahan dengan nafsu yang mengarah kepada ketenangan dan ketenteraman. Kesabaran merupakan proses penguasaan kemampuan manusia untuk mengerem nafsu amarah dan menggantinya dengan nafsu mutmainnah. Seseorang dianggp sabar jika dalam suatu keadaan yang krusial ternyata masih bisa menggunakan akal, perasaan  dan kemampuan fisikalnya  untuk menyelesaikan masalahnya. Makanya, relasi antara kebenaran dan kesabaran adalah terletak pada kemampuan manusia untuk menyeimbangkan antara produk tindakan yang benar dengan proses untuk mencapai produk tersebut.

Di dalam kehidupan ini, maka yang dikedepankan adalah bagaimana potensi kebenaran dan potensi kesabaran tersebut dapat dimaksimalkan. Keduanya harus seimbang. Jika tidak, maka dikhawatirkan akan terjadi disharmoni. Ada orang yang bisa menjadi teladan kebaikan karena yang bersangkutan dapat menyeimbangkan antara potensi kebenaran dan potensi kesabaran. Orang yang seperti ini akan dapat menjadi agensi bagi kebaikan. Sementara ada orang yang tidak mampu menyeimbangkan antara potensi kebenaran dan kebaikan, maka orang yang seperti ini akan dapat menjadi agensi bagi kejahatan.

Makanya, yang benar adalah jelas dan yang salah juga jelas. Jangan dicampur antara yang benar dan salah, sebab akan jatuh juga kepada kesalahan. Susu sebelanga menjadi rusak oleh nila setitik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini