KOMUNISME BARU: ROMANTISME SEJARAH ATAU REALITAS (2)
KOMUNISME BARU: ROMANTISME SEJARAH ATAU REALITAS (2)
Rasanya memang tidak elok jika kita hanya menyoroti persoalan terorisme sebagai musuh bangsa Indonesia, sebab di sebelahnya juga terdapat persoalan yang tidak sederhana penyelesaiannya yaitu tentang gerakan komunisme. Di dalam banyak pandangan disebut sebagai “Komunisme Baru”.
Hanya persoalan yang satu ini memang masih samar-samar tentu disebabkan mereka membungkusnya dengan rapi. Ibarat ikan meskipun busuk akan tetapi dikemas dengan kemasan yang rapat dan tidak menyisakan ruang untuk baunya keluar, maka hingga sekarang baru sampai tahapan indikasi saja dan belum menjadi realitas yang mengedepan.
Sejauh yang kita amati barulah menjadi embrio yang terkadang muncul ke permukaan lewat gambar-gambar atau aktivitas yang memberikan indikasi ada gerakan “Komunisme Baru” itu dalam bentuk yang masih samar-samar. Dirasakan keberadaannya tetapi belum terlihat wujud empirisnya. Sebagaimana yang kemarin saya tulis, bahwa di dalam diri manusia Indonesia yang Pancasilais, maka disadari bahwa gerakan komunis tidak akan mati sampai kapanpun.
Upaya untuk melakukan pembelaan terhadap kaum komunis pun terus diupayakan. Secara structural mereka melakukan berbagai kajian dan penelitian tentang bagaimana peristiwa tahun 1965 bisa dijadikan sebagai agenda besar di timgkat internasional dengan menyebutnya sebagai “genosida” terhadap warga PKI. Upaya ini juga melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan melakukan berbagai kajian dan penelitian tentang korban PKI tahun 1965.
Para pembela PKI tersebut menggunakan konsep “korban”, “genosida” dan lainnya untuk memberikan gambaran tentang bagaimana perilaku masyarakat Indonesia di kala itu. Jadi bukan lagi konsep “kekerasan” tetapi kosa kata yang lebih serem “pembantaian”. Melalui pengungkapan yang dramatis seperti ini, maka kemudian bisa menarik dunia internasional untuk terlibat mengungkapkannya.
Jadi yang dikaji dan diteliti bukanlah peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI dan segenap simpatisannya, akan tetapi bagaimana warga PKI menjadi “korban”. Mereka mencoba mengangkat kembali peristiwa tahun 1965 tersebut dengan membangun hiperealitas yang terjadi. Mereka mengangkat kembali sentiment massa dari warga PKI untuk mengungkap kembali bagaimana dan apa perasaannya berdasarkan pengalaman tahun 1965 tersebut.
Mereka ini ternyata bisa mempengaruhi terhadap dunia internasional. Dengan ungkapan “korban”, “pembantaian” dan “genosida” tersebut maka para petinggi HAM di Belanda menganggap penting untuk dijadikan agenda Pengadilan Rakyat di Den Haag. Lalu dilakukanlah International People’s Tribunal (IPT), 10-13 November 2015 , juga memperoleh dukungan penuh dari komponen dari dalam negeri, seperti Nursyahbani Katjasungkana, Todung Mulya Lubis, dan lima pengacara Indonesia lainnya dan juga Professor di Universitas Amsterdam Saskia Eleonora Wieringa yang memahami seluk beluk Gerwani dan PKI pada tahun 1965. Hasil sidang ini tentu saja adalah agar pemerintah Indonesia meminta maaf kepada keluarga korban PKI yang dinyatakan sebagai korban G30S/PKI.
Upaya untuk menghapus sejarah kelam PKI juga terus dilakukan. Misalnya dengan keinginan untuk menghapus terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPRS) Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, sehingga ajaran Marxizme, Leninisme dan Komunisme bisa diperbolehkan di Indonesia. Mereka menggunakan berbagai macam pintu untuk bisa menghapus Tap MPR ini. Upaya terstruktur semacam ini tentu akan diupayakan sebagaimana mereka terus mengupayakan agar pemerintah meminta maaf kepada keturunan PKI yang dianggapnya menjadi korban TNI dan elemen masyarakat lainnya.
Upaya semacam ini yang kemudian menjadikan umat Islam semakin sensitive menghadapi berbagai symbol yang diindikasikan sebagai lambang PKI, Palu dan Arit. Memang ada upaya untuk mengunggah berbagai lambang PKI tersebut melalui media sosial, baik di WA, Instagram, Facebook, dan sebagainya. Makanya, umat Islam juga kemudian merespon dengan cepat bahwa gerakan PKI itu nyata adanya.
Begitu sensitifnya, maka seluruh gambar yang dinyatakan berbentuk palu arit dianggapnya sebagai upaya PKI untuk comeback di bumi Nusantara.
Bahkan uang rupiah seratus ribu rupiah yang di dalamnya terdapat gambar “menyerupai” palu arit dianggapnya benar-benar sebagai upaya untuk menggelorakan semangat gerakan PKI. Dengan menggunakan bagan teori Stimulus Respon dalam paradigma Behavioral Sociology, maka dapat dipahami bahwa terjadinya respon umat Islam terhadap gerakan PKI akan semakin menguat seirama dengan upaya untuk mengangkat kembali sejarah kelam bangsa ini.
Apapun yang terjadi PKI telah membuat bangsa ini nyaris hancur dengan pemberontakan demi pemberontakan yang dilakukannya. Dan yang terus akan menjadi ingatan umat Islam adalah terbunuhnya para kyai, ulama dan tokoh-tokoh agama dalam rentang waktu 1948 sampai 1965.
Wallahu a’lam bi al shawab.
