RELASI SIMBIOSIS MUTUALISTIK UNTUK TEGAKKAN NKRI (1)
RELASI SIMBIOSIS MUTUALISTIK UNTUK TEGAKKAN NKRI (1)
Saya tentu setuju dengan tulisan Prof. Dr. KH. Fauzul Iman tentang “Membangun Relasi Demi NKRI”. Sebuah tulisan yang bisa membangkitkan semangat untuk menegakkan NKRI. Bagaimanapun juga “NKRI Harga Mati”. Jadi NKRI harus ditegakkan kapan saja dan dengan membangun relasi dengan siapa saja.
Hanya saja catatan saya, relasi macam apa yang kiranya relevan dengan tujuan untuk menegakkan NKRI bagi bangsa Indonesia? Apakah bentuk relasi yang bisa dijalankan di dalam kerangka menegakkan NKRI tersebut? Apakah semua relasi diperbolehkan? Saya tidak akan membahasnya seperti Prof. Fauzul yang memang ahli di bidang ilmu keislaman, saya akan membahasnya dengan penalaran murni saja. Semoga murni betul penalarannya, sehingga bisa masuk akal.
Saya akan melihat dari dua aspek relasi yang sekiranya bisa dijadikan sebagai kerangka untuk menegakkan NKRI, yaitu relasi politik. Saya kira relasi politik tentu sangat penting untuk membangun dan menegakkan NKRI. Kita tentu sadar bahwa NKRI merupakan komitmen politik para founding fathers negeri ini. Di kala para pendiri negeri ini membicarakan mengenai Indonesia, maka yang dipikirkan adalah bagaimana bentuk negara Indonesia untuk selamanya.
Secara historis pernah dicoba untuk melakukan berbagai eksperimen mengenai bentuk negara ini, misalnya pernah menjadi RIS, pernah menjadi pemerintahan parlementer, bahkan pernah terjadi perdebatan tentang dasar negara kita itu apakah Pancasila atau lainnya. Akan tetapi kebesaran para pendiri bangsa ini adalah di kala Presiden Soekarno melakukan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, maka seluruh pemimpin partai politik kala itu menerimanya dengan lapang dada.
Semua menghargai Keputusan Presiden itu dan kemudian mendukungnya sebagai pilihan politik yang dianggapnya benar. Bayangkan dalam 3,5 tahun parlemen hanya berdebat apakah dasar negara ini, Islam, Pancasila atau Komunis. Maka di saat Presiden mengajak “sudahlah kembali ke UUD 1945 saja” maka semuanya menerimanya.
Oleh karena itu, sikap para pendiri bangsa di dalam mengambil keputusan untuk bangsa ini agar menjadikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan sebagai pilar consensus kebangsaan, kiranya menjadi kaca benggala bagi generasi penerus bangsa ini. Konsensus kebangsaan merupakan bentuk “relasi politik” yang telah dibangun sebagai kesadaran sejarah para pendahulu kita. upaya Presiden Soeharto untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan berbagai penataran untuk mengamalkan Pancasila sebenarnya didasari oleh pemikiran politik ini.
Kesadaran sejarah yang merupakan hasil dari “relasi politik” memang tidak bisa ditinggalkan meskipun muncul berbagai ideology yang terus berubah dewasa ini. Mestinya, semua elemen bangsa ini memiliki kesadaran bersama bahwa Indonesia ke depan akan tetap tegak dengan pilar consensus kebangsaan ini. Jangan sampai ada di antara elemen bangsa ini yang masih tergiur dengan komunisme atau bahkan khilafah. Ideology cangkokan itu tidak cocok bagi bangsa ini. Komunisme yang tidak genuine Indonesia dan secara historis pernah hampir merobohkan Indonesia sungguh merupakan ideology yang tidak relevan bagi bangsa Indonesia yang religious. Upaya untuk menyatukannya juga gagal total. Makanya, transfer ideology komunisme untuk dasar negara Indonesia pasti akan memicu konflik yang tidak sederhana penyelesaiannya. Demikian pula dengan ideology trans-nasional semacam khilafah juga tidak cocok bagi bangsa ini. Jika kemudian ada yang memaksakannya, tentu dapat dipastikan akan memicu berbagai konflik horizontal bagi bangsa ini. Kesatuan dan persatuan bangsa akan terkoyak dan pengalaman Rusia di era komunisme pasti tidak akan terhindarkan.
Kita tentu tidak ingin skenario pembagian wilayah Indonesia menjadi tiga bagian. Berdasarkan pemaparan yang disampaikan oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, (28/12/2016) bahwa Indonesia akan terbagi menjadi tiga, yaitu ada yang dikuasai oleh Cina, Amerika dan ISIS. Peringatan ini penting dan tentu tidak mengada-ada. Hal ini merupakan peringatan dini agar bangsa ini sadar bahwa konflik yang dipicu oleh ketidaksetiaan kepada consensus kebangsaan akan bisa terjadi. Makanya, di dalam membangun relasi politik intern dan ekstern juga harus dengan kehatian-hatian. Semua harus dibangun berbasis pada “keuntungan” bagi bangsa. Yang penting adalah keuntungan ideologis.
Di dalam konteks ini, maka “relasi politik” tentu bisa dilakukan dengan siapa saja. Tidak ada negara yang bisa hidup tanpa relasi politik berbasis dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal tersebut berupa “kesepahaman” dengan seluruh partai politik yang memiliki kesamaan dalam visi dan misi kebangsaan. Kesamaan visi dan misi kebangsaan itu mutlak, sebab jangan sampai relasi politik internal tersebut hanya berbasis pada kepentingan kemenangan untuk pilpres, pilkada atau lainnya, akan tetapi juga terkait dengan apa sesungguhnya visi dan misi kebangsaan tersebut ada atau tidak ada di dalam membangun relasi atau koalisi.
Kemudian, secara eksternal, negara juga harus membangun relasi dengan berbagai negara lain yang memiliki visi dan misi kemanusiaan dan kebangsaan berbasis pada prinsip-prinsip yang sama. Meskipun komunis, maka relasi dengan Cina penting, Demikian pula relasi dengan Iran dan lainnya. Relasi tersebut dibangun atas dasar tidak saling intervensi dan simbiosis mutualistic. Kerja sama itu dibangun di atas keinginan untuk membangun kesejahteraan bagi kedua negara sebagaimana yang dicitakan di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk menciptakan perdamaian abadi dan kesejahteraan rakyat.
Wallahu a’lam bi al shawab.
