ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (6)
ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (6)
Kita sungguh merasakan bahwa dewasa ini terdapat banyak hal yang terjadi. Ada yang membuat gembira tetapi juga ada yang membuat kita berpikir keras untuk masa depan Islam Indonesia. Bukankah di sekitar kita ada banyak perubahan terutama yang terkait dengan semakin menguatnya simbol-simbol Islam di masyarakat tetapi juga dibarengi semakin kuatnya pemikiran fundamental beragama yang cukup signifikan.
Di mana-mana kita jumpai perempuan berjilbab: tua, muda, anak-anak, rakyat jelata, politisi dan juga artis. Makanya kemudian juga dijumpai kaum hijabers. Perempuan yang mengguanakan jilbab untuk kepentingan banyak hal. Dikenal juga misalnya hijab modis di kalangan kaum artis dan sosialita. Jilbab menjadi penanda bagi semakin banyaknya perempuan yang berkemauan mengekspresikan kecantikan atau mungkin juga keagamaannya.
Tidak hanya jilbab modis, akan tetapi juga semakin banyaknya perempuan yang berpakaian cara Arab. Dengan pakaian warna hitam dan tertutup seluruh badannya. Mulai dari kaki sampai ujung rambut. Matanya juga tertutup atau sekurang-kurangnya matanya sedikit terbuka. Mereka ini sengaja untuk menunjukkan identitasnya sebagai perempuan muslimah yang lengkap atau kaffah.
Di sisi lain, juga didapati banyak lelaki yang bergaya Arab, misalnya dengan membiarkan cambangnya lebat, jidat hitam tanda banyak sujud dan celana cekak kira-kira tiga perempat. Model berpakaian seperti ini seakan memberikan kesan bahwa merekalah orang Islam yang kaffah, meniru cara berpakaian orang Islam yang sesungguhnya. Dan Islam di sini harus sama dengan Islam di Arab. Bagi kelompok ini, maka semua yang datang dari Arab adalah kebenaran. Tidak dibedakan apakah ini tradisi atau ajaran Islam, atau tradisi yang relevan dengan ajaran Islam.
Cara berpakaian dengan blangkon, kopyah, celana 100 persen panjangnya, celana jeans, apalagi belel, tentu bukanlah ajaran Islam. Pakaian ini adalah pakaian yang tidak digunakan oleh Rasulullah dan juga pengikutnya di Timur Tengah, sehingga tidak didapatkan dasar penggunaannya. Meskipun ada orang Islam yang ahli ilmu keislaman dan sungguh ahli ibadah dalam Islam, namun jika cara berpakiannya belum sama dengan orang Arab, maka dianggaplah masih belum merupakan bagian dari Islam kaffah tersebut.
Kita tentu bersyukur bahwa nuansa religious masyarakat Indonesia makin baik, pasca diberikannya peluang bagi umat Islam untuk mengakses ajaran Islam sesuai dengan realitas idealnya. Sebagaimana diketahui bahwa pasca relasi Islam dan negara menjadi semakin baik, maka gemerlap sinar Islam makin tampak di bumi pertiwi. Di sudut-sudut yang sunyi terdengar suara orang mengaji dengan suara indah ayat demi ayat Al Qur’an. Ajaran Islam makin diminati dan tentu saja amalan ibadahnya juga menjadi semakin membaik.
Masjid-masjid banyak berdiri di pinggiran jalan utama seluruh negeri. Masjid yang baik dan indah yang menggambarkan betapa umat Islam telah memenuhi panggilan Hadits Nabi Muhammad saw: “man bana masjidan banallahu lahu baitan fil jannah”. Banyak orang menganggap bahwa membangun masjid menjadi pertanda kekuatan imannya. Dan kemudian berharap bahwa dengan membangun masjid, maka pintu surga terbuka lebar untuknya.
Sementara itu juga didapatkan sekelompok orang yang belum puas dengan melihat semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang mengamalkan ajaran Islam. Mereka ingin melihat sesuatu yang lebih, yaitu berlakunya syariat Islam secara kaffah. Mereka menginginkan bahwa di Indonesia ini yang berlaku adalah hukum Islam. Mereka menganggap bahwa hukum positif yang dihasilkan oleh manusia belumlah mencukupi dan bahkan tidak berguna. Hanya hukum Allah saja yang harus dilakukan. Makanya, kelompok ini lalu menolak banyak hal, termasuk sistem pemerintahan yang dianggapnya masih belum sesuai dengan Islam kaffah yang diperjuangkannya.
Islam kaffah itu tidak hanya pada dimensi ibadah dan muamalah saja, akan tetapi seluruh syariah Islam harus dilakukan secara kaffah termasuk sistem pemerintahan. Demokrasi, pemilihan umum, Undang-Undang, Pancasila, NKRI dan sebagainya bukanlah asas yang harus dipertahankan. Tidak ada kepatuhan terhadap regulasi buatan manusia. Hanya ada satu regulasi bikinan Allah saja yang dapat dilakukan. Dengan demikian, yang diperlukan bukan saja Islam dipeluk dan diamalkan sesuai dengan kapasitas dan prinsip yang selama ini terjadi, akan tetapi perubahan secara revolusioner termasuk sistem pemerintahan dan bentuk negara.
Di dalam konteks seperti ini, maka jika kemudian organisasi Islam seperti NU dan juga Muhammadiyah atau organisasi Islam lainnya, seperti PERTI, Nahdlatul Wathon, Jamiyatul Washilyah dan sebagainya yang mengembangkan pemikiran dan praksis keislaman wasathiyah secara diam-diam tidak terlibat di dalam gerakan seperti ini, maka tentu disebabkan oleh perbedaan pandangan yang sangat tajam tersebut.
Hanya saja, bahwa organisasi dengan jumlah penganutnya yang mayoritas itu biasanya berada di dalam nuansa stable dan mapan, maka di dalam banyak hal lalu tidak melakukan gerakan untuk menyebarkan gagasannya secara massif. Mereka disebut sebagai silent majority. NU, Muhammadiyah, PERTI dan sebagainya terasa tidak memberikan “perlawanan” yang proaktif terhadap gerakan Islam politik Kekhilafahan.
Itulah sebabnya akhir-akhir ini, di kala mereka diserang habis-habisan oleh kelompok Islam politik kekhilafahan, maka organisasi Islam yang dilabel sebagai silent majority terlihat kedodoran di dalam menghadapinya. Di kemudian hari bukan tidak mungkin bahwa gerakan Islam politik kekhalifahan akan semakin bisa melebarkan sayapnya di tengah agen-agennya yang sangat produktif dan proaktif untuk membangun jejaring.
Jadi pimpinan organisasi Islam wasathiyah tidak boleh hanya bermain di wacana simbolik saja. Hal demikian tentu tidak cukup di tengah kontestasi organisasi Islam yang semakin jelas-jelas berkeinginan tidak hanya terwujudnya simbol Islam di dalam pakaian, ritual dan muamalah akan tetapi juga keinginan untuk mendirikan khalifah di bumi Nusantara ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.
