ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (5)
ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (5)
Para pimpinan NU akhir-akhir ini banyak dikecam bukan karena tidak menjalankan roda organisasi dengan baik dan bertanggungjawab, akan tetapi karena pimpinan NU “kurang” mendukung terhadap upaya-upaya untuk melakukan upaya kritik terhadap pemerintah yang dianggap melakukan ketidakadilan dalam penegakan hukum bagi Pak Ahok, yang diduga menista al Qur’an.
Berbeda dengan pimpinan organisasi lain, yang menganjurkan agar jamaahnya terlibat di dalam “Aksi Super Damai” 212, akan tetapi pimpinan NU justru membuat edaran agar jamaah NU tidak terlibat di dalamnya. Inilah yang dianggap sebagai “ironi” oleh kelompok pendukung Aksi yang memang menginginkan agar seluruh komponen organisasi Islam mendukungnya.
NU memang memiliki pandangan yang berbeda. NU tentu mendukung terhadap penerapan syariah Islam secara kaffah, namun demikian bukan dalam konteks kenegaraan atau politik kebangsaan. Islam kaffah diterapkan di dalam ritual dan muamalah dan tidak diterapkan di dalam system kenegaraan, misalnya dalam bentuk khilafah Islamiyah.
Semenjak dahulu NU tidak pernah bersepakat untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Itulah sebabnya di dalam Sidang Konstituante tahun 1955 sampai 1959, maka NU tidak mengikuti cara berpikir Masyumi yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, akan tetapi lebih memilih terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Politisi NU lebih berpikiran tentang Islam Keindonesiaan ketimbang Islam Universal, yang diusung oleh beberapa politisi Islam kala itu.
Di dalam konteks ini, maka sikap NU konsisten. Para pimpinan NU tidak terpengaruh untuk memasuki kawasan abu-abu tentang Islam politik yang mengusung khilafah Islam. NU selalu berada di garis depan untuk mempertahankan dan memperjuangkan terhadap diterapkannya Pancasila sebagai dasar negara, NKRI, UUD 1945 dan kebinekaan di dalam berbangsa dan bernegara. Dari KH. Wahid Hasyim, sampai KH. Hasyim Muzadi dan KH. Said Aqil Siraj di dalam konteks mempertahankan pilar kebangsaan ini tidak pernah goyah.
NU melihat bahwa di dalam berbagai aksi akhir-akhir ini terdapat sekelompok orang yang menginginkan lebih dari pelaksanaan syariah Islam secara kaffah, akan tetapi mengusung Khilafah Islamiyah. Inilah yang tentu menjadi penyebab mengapa NU tidak mau terlibat di dalam gerakan aksi dan aksi yang dilakukan akhir-akhir ini. Jadi berdasarkan analisis dan pencermatan mendalam, bahwa tujuan aksi itu telah dibelokkan untuk hal-hal yang secara fundamental bertentangan dengan prinsip NU yang asasi.
Hasil analisis NU atas penyelenggaraan aksi yang bermuatan Islam kaffah dalam konteks Khilafah Islamiyah itulah yang menjadikan NU lebih baik di luar panggung. NU tetap konsisten dengan sikap kebangsaannya sebagaimana dinyatakan oleh KH. Sahal Mahfudz, yang menyatakan bahwa “Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sudah final bagi NU”. Artinya sudah tidak perlu untuk diperdebatkan dan yang perlu untuk diamalkan.
Di dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh pesantren, sebagaimana acara di Pesantren Al Ikhlas Pasuruan, KH. Muslim Ihram di dalam pidatonya menyatakan bahwa “NKRI Harga Mati”. Di WA para Rektor PTKIN juga sering ditulis “NKRI Harga Mati”. Hal ini menandakan bahwa secara diam-diam, NU sudah mengumandangkan “perlawanan” terhadap gerakan “Khilafah Islamiyah” yang juga nyaring dipertontonkan.
Bahkan melalui gerakan Aksi Damai itu juga akhirnya terkuak apa yang menjadi agenda sesungguhnya. Jika di Aksi Super Damai 2/12/2016 terasa tidak terdapat ceramah-ceramah yang mengedepankan khilafah, maka pada acara Aksi 4/11/2016 terasa betul keinginan untuk menegakkan khilafah itu dengan sangat kentara. Ada orasi-orasi yang dikemukakan dengan menggunakan idiom-idiom khilafah tersebut.
Berbasis pada kenyataan seperti ini, maka NU menarik diri dari gerakan ini. Tentu bukan tidak setuju bahwa penegakan hukum dan keadilan hukum harus dijunjung tinggi, tetapi semata-mata karena ketidaksutujuannya atas sikap beberapa orang yang sengaja ingin menggerakkan khilafah di tengah semangat umat Islam ini. Dengan demikian secara positioning, bahwa NU berada di dalam barisan “NKRI Harga Mati” sementara itu beberapa eksponen –tidak seluruhnya—dari Aksi umat Islam itu terdapat realiatas politik yang akan mendirikan khilafah Islamiyah.
Mengamati sikap NU akhir-akhir ini, saya jadi teringat akan konsepsi James Scott, tentang “pembangkangan dalam diam”. Hanya saja jika para petani melakukan “perlawanan dalam diam” terhadap pemerintah, akan tetapi NU melakukannya terhadap eksponen organisasi yang mengatasnamakan Islam, dalam bentuk ketidakterlibatannya dalam acara aksi demi aksi yang mereka lakukan. NU secara organisasi tidak menggerakkan aksi tandingan, akan tetapi hanya tidak terlibat di dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh organisasi yang menyatakan mewakili umat Islam.
NU memang selama ini dikenal sebagai organisasi Islam yang seluruh nadi dan darahnya berisi Islam Keindonesiaan yang bersatu menyatu dengan sikap kebangsaan dan kenegaraan. Jadi, NU akan selalu mengambil sikap yang berbeda dengan organisasi apapun yang ingin merobohkan pilar kebangsaan. Di dalam hal ini kelihatannya sikap NU konsisten.
Wallahu a’lam bi al shawab.
