KEPAHLAWANAN BERBASIS SEMANGAT KEAGAMAAN
Kemarin, 10 Nopember 2009, merupakan peringatan Hari Pahlawan. Dan seperti biasanya peringatan ini juga ditandai dengan upacara liminal tahunan untuk mengenang jasa para pahlawan bangsa yang sudah mendarmabaktikan seluruh kehidupannya, lahir dan batin, jiwa dan raga untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak hanya mengorbankan harta tetapi juga nyawa sekaligus. Namun saya berkeyakinan, bahwa hingga hari ini tentu tidak diketahui secara pasti berapa jumlah mereka yang telah mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia itu. Jumlah mereka yang menjadi korban keganasan perang kemerdekaan tampaknya agak sulit diidentifikasi secara menyeluruh. Mereka adalah para pahlawan yang mungkin hingga hari ini tidak dikenal dan tidak pernah tercatat di dalam sejarah kemerdekaan bangsanya. Makanya, ketika kita ditanya berapa jumlah pahlawan kemerdekaan kita, jawabannya tentu sangat sulit karena tidak semua yang menjadi korban dalam perang kemerdekaan tersebut teridentifikasi.
Sejarah memang hanya mencatat yang besar-besar. Sehingga seringkali sejarah adalah catatan orang besar, apakah kegagalan atau keberhasilan. Sejarah kemerdekaan bangsa ini juga sudah mencatat nama-nama para pahawan bangsa yang jumlahnya tentu sesuai dengan catatan dan penghargaan yang diberikan pemerintah kepada yang bersangkutan. Dan salah satu tokoh yang kemudian menjadi cerita sejarah kepahlawanan tanggal 10 Nopember adalah Bung Tomo. Arek Suroboyo yang mampu menggelorakan perlawanan terhadap Belanda tanggal 10 Nopember 1945, ketika tentara Belanda yang menempel tentara Sekutu datang kembali ke Surabaya. Dalam cerita sejarah disebutkan bagaimana heroiknya Arek-Arek Suroboyo dalam menyambut tentara Belanda dan peristiwa penyobekan Bendera Belanda di Hotel Oranye. Bendera yang semula Biru Merah Putih kemudian birunya dirobek sehingga tinggal yang merah dan putih saja. Peristiwa heroik itulah yang kemudian menjadi penanda bagi sebuah peristiwa kepahlawanan nasional yang diperingati setiap tahun.
Di antara sekian peristiwa heroik kepahlawanan tersebut, tentu saya tertarik dengan cerita tentang ungkapan heroik Bung Tomo: yaitu pekikan Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Ungkapan Bung Tomo ini tentu saja bukan sebuah tindakan eksklusif yang menandai terhadap tindakan keislaman baginya. Tetapi hal ini merupakan bagian dari proses kesadaran yang sangat mendalam tentang bagaimana kalimat itu dapat dijadikan sebagai penyemangat terhadap kejuangan rakyat. Para pejuang kala itu tidak berpikir tentang apakah ungkapan tersebut Islami atau tidak Islami. Yang penting bahwa mereka memiliki kesamaan visi, yaitu memperoleh kemerdekaan. Kita tentu yakin bahwa yang berjuang kala itu adalah multietnis, multiagama, dan multisuku. Namun mereka memiliki satu tujuan yaitu membangun kemerdekaan yang didasari oleh semangat kebersamaan, satu langkah satu tujuan. Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa: Indonesia.
Beginilah hebatnya para pahlawan bangsa kita. Mereka bisa saling bahu membahu tanpa memperdulikan siapa dan dari mana. Mereka bersatu padu dalam rangka satu tujuan saja, yaitu kemerdekaan Indonesia. Semangat pluralisme dan multikulturalisme itu sedemikian kuat menghunjam di dalam pikiran dan tindakan mereka. Tentu pada waktu itu tidak ada yang bertanya, kenapa memekikkan kalimat Allahu Akbar, merdeka dan bukan dengan kalimat religious lainnya.
Semangat kepahlawanan itulah yang kemudian menghasilkan Indonesia yang merdeka dengan NKRI-nya. Indonesia yang sekarang adalah kelanjutan Indonesia masa lalu. Indonesia sekarang adalah buah perjuangan para pahlawan yang dahulu pernah berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raganya untuk masa kini. Makanya, generasi sekarang tentunya tidak boleh mencederai terhadap kesepakatan-kesepakatan kebersamaan yang pernah digalang dan diwujudkan di masa lalu. Mencederai terhadap kesepakatan kebangsaan dan nasionalisme merupakan tindakan yang tidak menghargai terhadap jasa para pahlawan bangsa. Oleh karena itu sudah sepantasnya jika generasi sekarang menjadikan para pahlawan sebagai pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak diperoleh tanpa tetesan darah dan perjuangan yang luar biasa.
Ungkapan Allahu Akbar di masa perjuangan kemerdekaan dijadikan sebagai ikon perlawanan terhadap bangsa penjajah. Ungkapan itu menjadi basis moralitas dan kekuatan untuk menyemangati para pejuang. Melalui pekikan kalimat Allahu Akbar, maka mereka yakin bahwa perjuangannya adalah untuk meraih kebahagiaan, tidak hanya saja di dunia tetapi juga di akhirat. Kalaupun mereka mati, maka mereka yakin akan menjadi syahid atau orang yang mati di jalan Allah.
Di era sekarang, tentu kalimat Allah Akbar juga harus menandai sebuah proses untuk memerdekaan masyarakat bukan dari penjajahan tetapi dari kemiskinan, ketertinggalan dan kedzaliman. Di dalam hal ini, jangan sampai terjadi reduksi makna tentang Allahu Akbar. Jika di masa lalu, Allah Akbar menjadi ikon perlawanan terhadap penjajah, maka Allahu Akbar sekarang juga harus menjadi ikon membangun bangsa. Dengan cara itu, maka kita telah menempatkan makna Allah Maha Besar pada tempat yang sesungguhnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
