KETIKA APARAT NEGARA BEREBUT KEBENARAN
Dunia pemberitaan di media, terutama televisi, akhir-akhir ini dipenuhi dengan tayangan kasus perseteruan antara Kepolisian dan KPK. Dua stasiun televisi, TVOne dan MetroTV tampaknya memang sedang beradu kejelian dalam menayangkan berita yang menghebohkan tersebut. Acara persidangan, testimoni, diskusi yang membahas tentang kasus ini menjadi topik hangat yang tidak ada henti-hentinya untuk ditayangkan. Luar biasa, sehingga berita lainnya tentang “pembangunan” atau bahkan dunia gosip artis pun bisa dikalahkan oleh drama pengadilan di negeri ini. Hampir semua pemirsa televisi menyaksikan drama heboh perseteruan antar dua aparat penegak keadilan, yang kemudian melibatkan Kejaksaan, TPF, DPR dan Para Ahli Hukum serta LSM dan Masyarakat lainnya untuk bersilang sengketa di dalamnya. Pro kontra, pokoknya lengkap.
Memang seperti yang kita dengar atau baca, bahwa persoalan ini sepertinya sudah ada ujung pangkalnya. Dan sebagaimana dinyatakan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) bahwa memang ada “kejanggalan” dalam proses hukum yang dilampuai oleh penyidik atau Polri dengan fakta empiris yang terkait dengan dugaan “pemerasan” atau “korupsi” yang dituduhkan kepada Bibit dan Candra. Benang ruwet tersebut mulai terurai dari pengakuan secara meyakinkan dari Ari Muladi yang menyatakan bahwa dia tidak langsung menyerahkan uang kepada dua orang petinggi KPK atau lainnya. Ia menyerahkan kepada Yulianto atau Anto yang hingga sekarang belum diketahui ujung rimbanya. Apalagi, bahwa seorang makelar hukum atau markum yang dianggap banyak mengetahui hal ini, ternyata sudah meninggal empat bulan lalu. Jadi, Yulianto yang dianggap sebagai kunci pengurai masalah ini juga sudah raib entah kemana. Artinya ada missing link yang tidak secepatnya akan terjawab.
Apalagi, Antasari yang dianggap sebagai orang pertama yang menggelindingkan dugaan tentang kemungkinan adanya suap atau apapun namanya ternyata dalam testimoninya kepada TPF juga menyatakan tidak yakin ada hal tersebut. Jika demikian halnya, maka pokok persoalan tentunya sudah berada di tangan TPF yang akan dapat memberikan rekomendasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi kepada presiden. Kita memang berharap banyak kepada TPF mengenai persoalan hukum dan keadilan yang ruwet ini.
Babak paling menentukan di dalam drama pertarungan KPK melawan Kepolisian justru hadir di hari ini. Sebab pertarungan menjadi semakin melebar.TPF sudah mengumumkan kesimpulan sementara bahwa dugaan suap, pemerasan dan penyalahgunaan wewenang tidak terbukti meyakinkan. Artinya jika direkomendasikan maka akan dinyatakan bahwa perkara Bibit dan Candra tidak layak disidangkan. Namun Kejaksaan Agung dan Kepolisian kelihatannya sudah satu bahasa bahwa bukti suap dan pemerasan tersebut sangat meyakinkan meskipun bukan bukti mutlak. Namun demikian, justru sekaranglah masalah baru muncul. Siapakah yang akan memutuskan perkara Bibit dan Candra ini. Kiranya, Pak SBY harus segera menentukan apa yang sebaiknya dilakukan bagi kelangsungan bangsa ini. Tidak boleh ada keraguan untuk berbuat sesuatu di tengah suasana yang semakin tidak kondusif bagi kelangsungan pembangunan.
Melalui perseteruan antara KPK dengan Kepolisian, kita juga menjadi tahu tentang bagaimana hukum dan keadilan ternyata masih jauh, sejauh mata memandang. Terlihat nanar. Kadang terlihat dan kadang tidak. Keadilan yang sesungguhnya sangat dekat dengan hati dan perasaan kita sebagai manusia, ternyata menjadi sangat jauh dari pelupuk mata, hati dan perasaan. Hukum bisa direkayasa. Keadilan juga bisa direkayasa. Semua bisa direkayasa. Manusia dengan kemampuan akalnya yang luar biasa ternyata bisa merekayasa segala sesuatu. Tentu tidak sia-sia Tuhan memberikan kemampuan kepada manusia melebihi makhluk lainnya. Hanya saja kemampuan akal yang luar biasa tersebut digunakan bukan untuk membangun peradaban manusia berbasis kemakrufan tetapi membangun peradaban berbasis kemungkaran.
Saya lalu menjadi teringat dengan Firman Allah: “wamakaru wamakarullah, wallahu khairul makirin” . Meskipun ayat ini tidak relevan benar dengan pokok pembicaraan ini, tetapi bahwa Allah sudah mengingatkan bahwa sehebat apapun manusia membuat rekayasa, pastilah rekayasa Allah jauh berada di atasnya. Jadi seandainya, kepolisian, Anggoro, KPK, Kejagung, MK, DPR dan TPF membuat rekayasa apapun tentang hukum, tentang keadilan, tentang apa saja maka sesungguhnya Allah bisa saja membuat rekayasa yang jauh lebih hebat. Cara berpikir normatif seperti ini menjadi penting, sebab jika kita tidak sama sekali mengingat bahwa di atas sana ada suatu kekuatan adikodrati yang maha segalanya, maka kita bisa saja menjadi lupa tentang siapa kita ini sesungguhnya. Boleh saja kita membuat rekayasa tentang apa saja tetapi jangan sampai pernah lupa bahwa yang kita lakukan itu selalu berada di dalam kontrol lainnya: bisa manusia, alam atau terakhir adalah kontrolnya Tuhan Yang Maha Kuasa.
Itulah arti pentingnya kita kembali kepada agama, sebab agama adalah nasehat bagi diri kita. Jika semua kembali kepada agama maka benang ruwet kasus ini akan sedikit bisa dirunut. Caranya adalah dengan bertanya kepada hati nurani dan kemudian berkata jujur sebagaimana adanya. Dan setelah itu, semuanya legowo menerima kenyataan yang memang benar apa adanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
