SOLIDARITAS UMAT ISLAM 212 (1)
SOLIDARITAS UMAT ISLAM 212 (1)
Pagi itu, Jum’at, 2/12/2016, pada jam 8.00 Wib, saya harus menyelenggarakan rapat di Kantor Kementerian Agama, Jl. Lapangan Banteng 3-4 Jakarta untuk membahas tentang serapan anggaran Tunjangan Profesi Guru (TPG). Selain rapat ini juga sedianya akan ada meeting dengan Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, untuk membicarakan tentang persiapan acara Informal Meeting Menteri-Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) yang akan dilaksanakan di Malaysia, tanggal 5-7 Desember 2016 dan Senior of Meeting (SOM) MABIMS, 3-5 Desember 2016.
Pada hari itu memang bertepatan dengan pelaksanaan dzikir bersama umat Islam Indonesia yang dikonsentrasikan di Lapangan Monas. Acara yang sudah disepakati antara pemerintah dengan insiator gerakan dzikir bersama ini, Ustadz Habieb Riziq Syihab dkk., memang dibersamakan waktunya dengan shalat Jum’at. Jadilah, umat Islam datang dari berbagai daerah untuk mengikuti dzikir bersama. Acara ini memang dikemas sangat berbeda dengan acara demonstrasi tanggal 4/11/2016 lalu, di mana memang mereka melakukan long march di jalan menuju istana dan juga di seputar istana.
Sungguh mereka, para inisiator gerakan dzikir nasional, menjanjikan bahwa format acara ini memang dikemas bukan sebagai demonstrasi, akan tetapi sebagai dzikir umat Islam untuk bangsa. Jika pada acara tanggal 4/11/2016 lalu terdapat orasi-orasi yang “sedikit” memprovokasi, maka di dalam acara ini, sesuai rencana, tidak akan melakukan hal yang sama. Nama yang dilabelkan pada acara ini “gerakan super damai”.
Saya harus berangkat pagi untuk mengantisipasi kemacetan di jalan menuju ke kantor. Saya juga sadar bahwa kemacetan pasti luar biasa. Makanya, saya meminta kepada driver saya agar membawa sepeda motor saja untuk mengantarkan saya ke kantor. Benar sekali dugaan saya itu. Baru masuk ke wilayah dekat BRI Cut Mutia, maka jalanan sudah penuh sesak dengan manusia. Mereka berbaju putih, berkopyah dan juga menggunakan lambang-lambang dan pamphlet beraneka ragam.
Yang paling banyak adalah spanduk atau umbul-umbul dengan tulisan “La Ilaha illa-Allah”. Ada yang benderanya berwarna putih dan ada yang berwarna hitam. Rasanya yang warna hitam jauh lebih banyak. Di antara tulisan di dalam umbul-umbul itu yang terbanyak adalah Hukum Ahok, Gantung Ahok, polisi harus jujur dan hakim harus jujur, dan lain-lain. Sebagaimana yang menjadi tuntutan lahiriyahnya adalah agar Ahok dituntut dengan adil, agar Ahok dihukum secara adil.
Selain itu juga umbul-umbul organisasi yang terlibat di dalamnya, misalnya Front Pembela Islam (FPI), Jamaah Ta’lim Adz Dzikro, dan Jam’iyah lokal lainnya. Ada yang dari Bangil Jawa Timur, dari Kuningan, Ciamis, Bandung, Banten dan bahkan dari Lampung dan wilayah luar Jawa lainnya. Semua bersepaham untuk meminta keadilan dalam kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Cahaya Purnama (Ahok).
Mereka memang melakukan long march dari berbagai wilayah. Bisa dibayangkan bahwa ada di antara mereka yang melakukan perjalanan panjang dari Ciamis ke Jakarta. Mereka berjalan dari Ciamis ke Jakarta (Lapangan Monas) sepanjang 300 kilo meter. Mereka rela melakukan perjalanan panjang berkilo-kilo meter untuk melakukan ritual memohon keadilan. Makanya, banyak jamaah yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya juga melakukan long march ini. Konon katanya malu kepada orang Ciamis.
Untuk bisa ke kantor, maka saya harus kembali menyusuri jalan di wilayah Menteng untuk menuju ke Cikini dan terus ke jalan Kramat Raya dan memutar hingga akhirnya sampai di kantor. Semua jalan sudah penuh sesak. Sepanjang jalan Kramat Raya, berbagai rombongan yang akan menuju ke Monas sudah tumplek blek. Sangat panjang long march ini. Laki-laki, perempuan, tua dan muda semuanya berjalan dengan tertib. Meskipun mereka melewati jalan-jalan utama, akan tetapi mereka semuanya berjalan dalam ketertiban.
Sebagaimana lomba gerak jalan, maka mereka juga meneriakkan yel-yel. Ada yang shalawatan, ada yang berteriak Allahu Akbar, ada yang menyanyikan mars-mars perjuangan. Yang juga menarik adalah warna-warni ikat kepalanya. Kebanyakan menggunakan ikat kepala “Merah Putih”, jika mereka bersorban, maka ikatan luarnya adalah ikatan “Merah Putih”. Dengan demikian, sesungguhnya dapat dipahami bahwa acara dzikir nasional ini senyatanya adalah pertemuan berbagai kepentingan yang menjadi satu ikatan berbasis pada keinginan menuntut keadilan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
