BUTUH KEBIJAKAN KONTEKSTUAL
Pada awal kepemimpinan SBY dan Boediono dan pasca pelantikan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, maka diikuti dengan keinginan untuk menaikkan gaji pejabat, seperti Presiden, Wapres, Gubernur,Wagub, Bupati, Wabup dan Walikota dan Wawalikota. Para pejabat ini dinilai layak untuk memperoleh tambahan penghasilan di tengah sudah sangat lama sistem penggajian tersebut diberlakukan. Ada ragam pendapat tentang rencana kenaikan gaji pejabat tersebut. Dari sisi penerima, tentu terbesit rasa kesenangan sebab memang gajinya belum pernah naik, sedangkan dari sisi pengamat ada kecenderungan untuk mempertanyakan kenaikan gaji tersebut, apalagi di tengah masih belum membaiknya perekonomian nasional. Ketika kritikan tersebut belum reda, maka pemberitaan di koran juga diramaikan lagi dengan berita renovasi pagar istana presiden yang menelan anggaran cukup besar, yaitu Rp. 22,5 milyar. Kritikan pun mencuat lagi seirama dengan pemberitaan tersebut, dan suaranya jauh lebih keras, sebab dinilai bahwa renovasi tersebut tidak memperhatikan jeritan rakyat yang masih terhimpit dengan penderitaan kemiskinan dan ketertinggalan lainnya. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan agar renovasi pagar istana terseut dibatalkan karena terlalu mahal. Dikhawatirkan bahwa renovasi pagar istana negara tersebut menjadi ajang korupsi (JP, 7/11/09).
Memang kenaikan gaji adalah suatu yang wajar di tengah perubahan-perubahan tentang kebutuhan pokok yang terus meningkat. Kenaikan gaji merupakan kelayakan di dalam sistem kepegawaian. Makanya, ketika ada rencana untuk menaikkan gaji para pejabat tersebut, sontak para pejabat menyambutnya dengan kegembiraan. Sebagai pejabat memang gaji atau tunjangan adalah sebagian dari pendapatan, sebab masih ada pendapatan lain seperti biaya perjalanan, biaya kesehatan, biaya perumahan dan sebagainya yang jumlahnya tidak bisa ditentukan seberapa besar, sebab tergantung kepada kuantitasnya masing-masing. Jadi, sesungguhnya tidak ada kesalahan sedikitpun tentang kenaikan gaji para pejabat yang memang menjadi haknya tersebut.
Demikian pula tentang renovasi pagar istana presiden yang juga memang dibutuhkan. Pagar istana presiden juga sudah lama tidak direnovasi dan bahkan juga sudah tidak lagi mampu menjadi penyangga utama keselamatan istana negara. Bangunan pagar istana tersebut sudah tidak dapat lagi digunakan untuk peralatan-peralatan pengamanan yang modern. Di tengah semakin kuatnya keinginan untuk memberikan keselamatan secara maksimal kepada presiden, maka renovasi bangunan pagar istana dirasakan sangat mendasar dan penting. Makanya, keinginan untuk merenovasi terhadap pagar istana negara juga sangat rasional. Bukankah serangan-serangan mendadak terhadap istana negara bisa saja terjadi di tengah gelegak kekerasan atau tindakan terorisme yang semakin berani. Melalui tertangkapnya teroris yang hanya berjarak 5 km dari Cikeas, tempat tinggal presiden, maka dugaan terhadap tindakan terorisme yang semakin berani seakan memperoleh pembenaran. Berdasarkan realitas seperti ini, maka sangat rasional jika ada keinginan kuat untuk merenovasi bangunan pagar istana dengan tujuan memberikan jaminan lebih besar untuk keselamatan presiden.
Persoalan menjadi lain, ketika semua itu di tangan pengamat. Berdasarkan pemahaman mereka bahwa kenaikan gaji pejabat dan renovasi dinding istana dilakukan pada saat yang kurang tepat. Pengumuman kenaikan gaji ini dilakukan secara tergesa-tegas ketika baru saja para pejabat negara tersebut dilantik. Demikian pula juga ketika presiden baru dilantik, kemudian ada upaya untuk merenovasi pagar istana. Ketika semua ini direncanakan, di Indonesia baru saja terkena musibah gempa di Jawa Barat dan kemudian di Sumatera Barat. Ketika semua mata ditujukan di dua tempat tersebut, tiba-tiba saja diberitakan bahwa gaji pejabat negara dan renovasi pagar istana dengan jumlah rupiah yang besar. Berita inilah yang dalam banyak hal menyebabkan adanya kritik yang tajam terkait dengan ketidakpekaan para pejabat negara tentang penderitaan rakyatnya.
Oleh karena itu, yang sesungguhnya dibutuhkan adalah ketepatan waktu dan konteks sosial yang melatarbelakangi berbagai kebijakan tersebut. Ketidaktepatan waktu dan konteks sosial menjadi variabel yang sangat penting dalam perumusan kebijakan. Jika waktu dan konteksnya tepat maka kemungkinan reaksi keras tentang kebijakan tersebut akan dapat diminimalisasikan. Makanya, di dalam perumusan kebijakan sangat diperlukan kepekaan. Kepekaan tersebut bersumber dari pendengaran dan pengamatan terhadap dunia sekelilingnya. Harus ada analisis situasi sosial yang kuat untuk mendasari kebijakan tersebut. Jika pembacaan tersebut gagal maka dapat dipastikan kebijakan tersebut akan menuai kecaman dari masyarakat.
Oleh karena itu, di lain kesempatan jika akan melakukan perubahan atas kebijakan yang sudah ada maka ada sebuah keharusan yang dilakukan oleh policy maker, yaitu mengamati terhadap konteks sosial yang sedang terjadi. Kita tidak akan menolak terhadap kebijakan yang memang rasional, hanya saja timing dan konteks sosialnya harus mendukung terhadap kebijakan tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.
