GURU HARUS DIEVALUASI KINERJANYA
GURU HARUS DIEVALUASI KINERJANYA
Rasanya sudah cukup lama saya tidak bertemu dengan para aktivis pendidikan di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Banyak undangan dari Ditjen Pendidikan Islam namun karena waktu dan tugas lain, sehingga setiap kesempatan untuk mengundang saya, selalu saja tidak kesampaian. Bahkan acara sebesar AICIS di Lampung dan Acara POSPENAS di Banten juga saya tidak bisa hadir. Meskipun demikian, karena POSPENAS bersamaan momentumnya dengan Hari Santri, maka saya sempatkan untuk menulis beberapa edisi.
Akhirnya momentum untuk bertemu para guru bisa saya dapatkan ketika ada acara Bimbingan Teknis Penyiapan Assesor PKG Unsur Guru IV yang diselenggarakan di Hotel Lumere, 10/11/2016. Saya diundang oleh Kasubdit PTK, Pak Kidup Supriyadi untuk memberikan taushiyah bagi para assessor untuk pelaksanaan tugas pendidikan.
Saya sampaikan tiga hal mendasar yaitu: pertama, hingga saat ini masih ada asumsi, yang saya kira perlu dipikirkan, yaitu: 1) adanya anggapan yang menyatakan bahwa para guru makin professional, akan tetapi kualitas pendidikan tetap saja rendah. 2) guru makin tinggi pendidikannya, akan tetapi kualitas pendidikan di Indonesia juga tetap saja stagnan. 3) guru makin sejahtera, akan tetapi kualitas pendidikan di Indonesia sama saja dengan sebelumnya. Asumsi ini bisa benar dan bisa juga salah, akan tetapi berbagai survey tentang kualitas pendidikan belumlah memadai. Misalnya, tidak ada perbedaan antara para guru yang sudah lulus sertifikasi dengan yang belum bersertifikasi dalam program pembelajaran dan hasil pembelajarannya.
Kedua, para guru memang sudah menjadi guru yang professional. Hal itu tentu ditandai dengan kelulusan yang bersangkutan dalam prosesi sertifikasi pendidikan. Mereka telah memiliki sejumlah kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Tolok ukur kualitas profesi akan ditentukan apakah mereka sudah memiliki kompetensi tersebut atau belum. Dan ternyata mereka sudah lulus, artinya secara kualifikasi mereka tentu sudah memenuhi syarat minimal sebagai guru professional.
Guru professional tentu akan bekerja dengan kesungguhan. Mereka harus menghormati profesinya itu. Profesi guru sangat berbeda dengan profesi lainnya, disebabkan oleh sentuhan kemanusiaan yang sangat mendasar. Seorang guru harus memperlakukan siswanya dengan sangat baik. Dia harus dididik untuk memperoleh pencerahan di dalam kehidupannya. Guru yang baik pasti akan dikenang oleh siswanya dengan sangat baik.
Saya hingga hari ini masih sangat mengenal wajah-wajah guru saya. Saya masih mengenal beberapa pernyataan yang penting dan mengarahkan kehidupan saya sekarang. Saya masih ingat terhadap guru-guru saya mulai SD sampai program Doktoral. Hal ini tentu karena sentuhan kemanusiaan yang ditanamkannya di dalam kehidupan saya. Bahkan mengarahkan saya untuk bisa menjadi seperti ini. Guru yang baik akan memberikan kesan yang baik dan tidak akan terlupakan sepanjang kehidupan.
Saya kira guru yang professional tentu juga harus memberikan kesan yang baik itu kepada siswanya. Jika para guru bisa melakukannya, maka sesungguhnya itulah makna pendidikan dan bukan sekedar pembelajaran. Para guru dituntut memiliki kesadaran humanitas yang sangat tinggi di dalam kerangka mendidik anak bangsa.
Ketiga, untuk kepentingan membangun profesionalitas yang tinggi, maka para guru juga harus dievaluasi kinerjanya. Harus dicheck apakah profesionalitas tersebut melazimi seluruh rangkaian kependidikannya. Makanya, para assessor adalah mitra Kementerian Agama yang paling strategis untuk kelanjutan bangsa ini. Para assessor tentu menyadari bahwa keberhasilan pembangunan di Indonesia sangat tergantung kepada kiprah para guru.
Para guru harus dididik kejujuran agar kelak menghasilkan kebaikan dan kebenaran. Anak harus dididik dengan kesungguhan agar kelak bisa bekerja keras. Anak harus dididik dengan ketulusan agar kelak bisa mencintai dan menyayangi sesamanya. Dan anak juga harus diajarkan keikhlasan agar kelak menjadi pemberi dan penolong.
Agar semangat seperti ini terus terjaga di kalangan guru professional, maka mereka harus dievaluasi dengan baik. Para guru harus membuat perjanjian kinerja dengan pimpinannya. Mereka harus merumuskan sasaran kinerjanya, harus merumuskan indicator kinerjanya, harus membuat target kinerjanya dan akhirnya juga membuat capaian kinerjanya.
Sasaran kinerja tersebut harus dirumuskan dengan jelas misalnya anak didik harus bisa membaca dengan lancar terhadap ayat tertentu di dalam Al Qur’an, maka indikatornya adalah berapa anak yang bisa melafalkannya, berapa anak yang mendapatkan nilai optimal, bagaimana anak bisa menjelaskan secara tuntas terhadap ayat dimaksud, dan sebagainya. Lalu juga ditentukan berapa target pencapaiannya, misalnya 100 persen dan berapa persen yang bisa dicapainya, mungkin 80 persen atau 90 persen.
Para assessor dapat menilai terhadap kinerja ini, sehingga bisa menjustifikasi bahwa yang bersangkutan professional atau tidak di dalam pekerjaannya. Jika perjanjian kinerja ini diterapkan dengan maksimal, rasanya setiap guru akan bekerja untuk mencapai kinerjanya. Jadi semua akan memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyukseskan pendidikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
