HARI SANTRI ANTARA PENGAKUAN STRUKTUR DAN BUDAYA (2)
HARI SANTRI ANTARA PENGAKUAN STRUKTUR DAN BUDAYA (2)
Santri sebagai struktur sosial merupakan sebuah komunitas yang memiliki kesadaran terbaik di dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Seseorang memperoleh labeling sebagai santri adalah karena ketaatannya kepada ajaran Islam. Meskipun makna santri memiliki perluasan kategori, akan tetapi tetap saja bahwa dia melekat dengan dunia pesantren secara general.
Di dalam konteks ini, maka Santri pernah dibedakan secara ketat dengan mereka yang disebut Abangan, meskipun terdapat kontradiksi kategorikal sebab penggolongannya agak bercorak kurang lebih. Sebagai penggolongan sosial, Santri merupakan penggolongan ketaatan beragama, sedangkan Abangan merupakan penggolongan sosial berbasis pada kategori penggolongan budaya.
Dewasa ini, penggolongan tersebut sudah tidak didapatkan lagi seirama dengan perubahan sosial yang terus terjadi. Andaikan Geertz datang lagi ke Pare Jawa Timur, maka Beliau tentu akan melihat betapa konsepsi penggolongan sosial yang pernah dibuatnya itu sudah tinggal sebagai konsep teoritik yang tidak lagi relevan dengan kenyataan empiris dewasa ini.
Meskipun terjadi penggolongan sosial “kurang lebih” di dalam memahami santri tersebut, akan tetapi sesungguhnya kita berhutang budi kepada Geertz dan seluruh pengkaji tentang santri dan pesantren di dalam melakukan kajian empiris tersebut, sebab merekalah yang menggemakan label santri di dalam kajian akademik yang luar biasa. Saya kira dunia santri dan pesantren dikenal di dalam literature seluruh dunia adalah berkat kajian-kajian menarik yang dilakukan para ahlinya. Demikian pula pengakuan santri sebagai sebuah struktur sosial dan budaya juga terlahir berkat kajian-kajian mereka itu.
Melalui pengakuan Hari Santri sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, maka penguatan akan label santri dalam struktur sosial masyarakat Indonesia tentu menjadi semakin kuat dan tidak tertandingi. Sesungguhnya, melalui pengakuan structural itu juga menjadi indikasi bahwa dunia pesantren dengan santrinya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam jaringan struktur masyarakat Indonesia di dalam berbagai penggolongannya secara konprehensip.
Santri dewasa ini bukan hanya menjadi suatu struktur sosial tersendiri sebagaimana masa lalu, akan tetapi basis budaya santri telah memasuki hampir seluruh penggolongan sosial secara generic. Santri merupakan suatu kultur berbasis agama yang memasuki berbagai penggolongan sosial, seperti struktur sosial ekonomi, politik, militer dan sebagainya. Budaya santri telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari semua struktur sosial dalam berbagai variannya. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai perluasan makna santri di dalam perubahan sosial budaya yang terus berkembang. Jika di masa lalu, Santri vis a vis Abangan, Santri vis a vis Priyayi, maka sekarang tentu sudah berubah luar biasa.
Perubahan dan perluasan makna itu tentu terkait dengan kecerdasan dunia pesantren dalam merespon terhadap perubahan sosial. Dan salah satu instrument pentingnya adalah pendidikan. Jika di masa lalu, pesantren hanya sebagai tempat mengembangkan ilmu agama, maka dengan terbukanya pesantren untuk menerima perubahan dari luar dengan mengadaptasi berbagai dinamika dan tuntutan masyarakat, maka perlahan tetapi pasti lalu para alumninya bisa mengakses berbagai peluang kehidupan dan jadilah mereka itu berada di mana-mana di dalam penggolongan sosial dimaksud.
Yang tidak kalah menarik tentu dengan perluasan pendidikan pesantren, yang semula merupakan pendidikan nonformal, kemudian menjadi pendidikan formal, tentu berakibat terhadap dinamika akses itu sendiri. Di tengah dominasi ijazah formal sebagai bagian dari proses untuk mengakses berbagai peluang kehidupan, maka dengan menyediakan pendidikan formal di dunia pesantren, maka peluang untuk terjadinya mobilitas vertical itu terjamin secara memadai.
Apalagi dengan terbukanya pendidikan seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) bahkan kemudian Universitas Islam Negeri (UIN) dan berbagai Lembaga Pendidikan Tinggi Islam Swasta di berbagai pesantren dan wilayah lainnya, tentu semakin memberikan peluang untuk terjadinya dinamika mobilitas vertical tersebut. Tentu tidak terbayangkan Sarjana Ahli Agama (SAg) menjadi Menteri, menjadi Jenderal, menjadi Bupati, Gubernur, Politisi dan bahkan memasuki Badan Anggaran DPR, menjadi Pengusaha, menjadi birokrat, sebuah tempat yang di masa lalu sepertinya mustahil dimasuki oleh kaum santri.
Dunia ini merupakan proses pembelajaran. Jadi dengan program pendidikan yang diupayakan untuk mengentaskan diri dari kebodohan dan ketertinggalan, maka kala itu proses achievement tersebut sudah berhasil untuk ditanamkan. Jadi sesungguhnya terjadinya mobilitas sosial kaum santri dewasa ini, menurut saya tentu tidak terlepas dari keterbukaan dan perluasan program pendidikan agama dan keagamaan yang terus berbenah.
Dengan demikian, makna Hari Santri bagi bangsa Indonesia adalah sebuah pengakuan akan peran lebih luas dari kaum santri di dalam mengemban tugas sebagai bagian dari bangsa Indonesia di dalam pengabdiannya kepada Nusa, Bangsa dan Agama.
Wallahu a’lam bi al shawab.
