PTKIN BLU DAN UPAYA PENGUATAN ANGGARAN
PTKIN BLU DAN UPAYA PENGUATAN ANGGARAN
Di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Biro Keuangan dan BMN Sekretariat Jenderal Kementerian Agama, saya mendapatkan peluang untuk membicarakan tentang bagaimana Perguruan Tinggi Islam harus berpikir ke depan, terkait dengan tata kelola keuangan.
Acara ini diselenggarakan di Hotel Aston, Jakarta, 22/09/2016, yang diikuti oleh Para Wakil Rektor II, para Kepala Biro dan juga para pengelola Unit Usaha pada PTKIN Badan Layanan Umum (BLU). Hadir juga Kepala Biro Keuangan dan BMN Setjen Kemenag, Syihabuddin, dan jajarannya.
Saya bertemu dengan para pengambil kebijakan (WR II dan Kepala Biro) PTKIN terkait dengan peningkatan kualitas penganggaran dan juga peningkatan pemasukan dana bagi pergurun tinggi. Itulah sebabnya saya ajak mereka untuk berpikir ke depan, menjelang perubahan manajemen pemerintahan yang berbasis pada kerjasama antara dunia usaha, masyarakat dan pemerintah.
Sebagai satker BLU, maka PTKIN tidak sebagaimana yang dibayangkan sekian tahun yang lalu, bahwa pimpinan PTKIN itu orang yang sangat berwibawa di dalam dunia akademik dan hanya mengenal hal itu, akan tetapi di tengah perubahan satker menjadi PK-BLU dan bahkan PT-BH., maka seorang pimpinan perguruan tinggi harus menjadi seorang entrepreneur. Artinya, seorang pimpinan PT harus juga memiliki talenta pengembangan unit usaha perguruan tinggi.
Pada kesempatan ini, saya memberikan gambaran tentang tiga hal penting untuk menghadapi tantangan perguruan tinggi lima sampai sepuluh tahun ke depan. Pertama, penerapan SMART Governance. Dalam sepuluh tahun ke depan akan terjadi perubahan besar terkait dunia manajerial pemerintahan dan tidak terkecuali tata kelola perguruan tinggi. Terutama di dalam penggandaan anggarannya, maka PT tidak hanya bisa bertumpu pada APBN, akan tetapi harus mengembangkan program pendanaan PT melalui sinergi dengan dunia usaha. Pemerintahan tidak mencukupkan pada good governance akan tetapi harus bergerak ke SMART Governance, yaitu membangun pendanaan pembangunan berbasis pada multi sumber pendanaan, terutama dari dunia usaha. Perguruan tinggi tidak hanya bisa melipatgandakan dana dari berapa jumlah mahasiswa, akan tetapi justru mencari dana dari sumber-sumber lain yang supporting bagi pengembangan pendidikan tinggi.
Itulah sebabnya, lembaga pendidikan tinggi harus melakukan analisis potensi usaha yang riil. Jika kita sudah memiliki Rencana Bisnis Anggaran (RBA), jangan hanya RBA tersebut digunakan untuk memenuhi administrasi satker BLU saja, akan tetapi benar-benar menggambarkan potensi usaha yang akan bisa dilakukan. Pertanyaan saya, apakah sudah pernah dilakukan analisis terhadap realisasi RBA dengan kenyataan empiric dunia usaha yang bida kita raih. Jangan sampai upaya kita untuk merumuskan rencana bisnis itu hanya formalitas dan tidak sesungguhnya bisa dilakukan.
Dengan menjadi BLU berarti kita telah memasuki manajemen kelembagaan yang berbasis kewirausahaan. Semua yang bisa dijadikan sebagai sumber dana maka harus dijadikan sebagai sumber dan potensi pendanaan. Itulah sebabnya, para pimpinan perguruan tinggi harus memaksimalkan upaya untuk memperoleh tambahan anggaran sebanyak-banyak berbasis pada potensi ekonomi yang dimilikinya. Jika potensi itu tidak dimilikinya, maka pimpinan PT harus mengupayakan keberadaannya. Jika potensi itu sudah ada, maka PT harus mengoptimalkan kemanfaatannya. Saya ingin mengambil contoh, UIN Sunan Ampel yang sudah memiliki Hotel Green SA., maka mestinya akan dapat menjadi salah satu sumber pendanaan PT. Jadi jangan sampai potensi tersebut tidak terkelola dengan baik. Jangan sampai justru APBN dipakai untuk biaya perawatan hotel tersebut.
Kedua, pimpinan PTKIN harus peka terhadap dunia entrepreneurship. Di masa lalu, pimpinan PT itu cukup dengan empat syarat. Yaitu: 1) syarat kemampuan akademis unggul. Rector harus memiliki kemampuan akademik yang lebih baik dibanding sejawatnya. Harus unggul dalam riset, penulisan ilmiah dan kematangan akademis dan psikhologis. 2) syarat kemampuan manajerial. Sebagai seorang Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), maka rector harus paham tentang bagaimana mekanisme pengelolaan anggaran dan mengelola program. Dia harus tahu regulasi dasar tentang pengelolaan program dan anggaran agar tidak salah di dalam mengimplementasikannya. 3) syarat kemampuan membangun jejaring. Di tengah dunia jaringan nasional maupun internasional, maka tidak boleh dilupakan bahwa jejaring yang kuat akan menjadi ukuran keberhasilan sebuah PT. 3) Syarat kemampuan bekerja sama internal maupun eksternal. Keberhasilan seorang pimpinan PT akan sangat tergantung pada bagaimana yang bersangkutan dapat membangun soliditas internal dan kekuatan eksternal. Lalu, di era sekarang maka syarat itu harus ditambah satu, yaitu: syarat kemampuan membangun jejaring kewirusahaan. Melalui penerapan satker BLU, maka seorang pimpinan PT harus mampu untuk menggerakkan potensi unit usaha agar menjadi lebih actual. Tanpa berpikir ke arah ini, maka PT tersebut akan ketinggalan di dalam pengelolaan anggaran.
Di era “mewirausahakan kampus” dewasa ini, maka mindset pimpinan, dosen, staf tenaga kependidikan dan mahasiswa harus didorong untuk memasuki lorong entrepreneurship ini. Meskipun tidak seperti Ciputra University yang memang sedari awal didesain menjadi universitas yang menggelorakan semangat kewirausahaan, namun demikian semangat untuk mengembangkan unit usaha harus menjadi pemikiran utamanya.
Ketiga, membikin labeling usaha yang bervariasi berbasis pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Jika kita akan mengembangkan usaha yang “rasanya” tidak atau jauh dari core bisnis pendidikan, maka kaitkan unit usaha tersebut dengan lahan praktikum bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.
Di era semakin semaraknya kehidupan agama, maka masyarakat akan mengambil banyak hal yang berlabel syariah. Makanya, hotel kita harus menjadi hotel syariah, usaha kita harus berlabel syariah, bahkan jika diperlukan harus ada Unit Usaha Penjualan Bahan Bakar (pom bensin) syariah. Semua ini harus dijadikan sebagai area praktikum mahasiswa, sehingga peluang perizinan dan kedekatan dengan core pendidikan akan bisa diraih.
Rasanya, masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan PTKIN dari area bisnis ini. Itulah sebabnya semua civitas academica PTKIN harus mengubah mindset dari academic minded ke academic and entrepreneurship minded.
Wallahu a’lam bi al shawab.
