• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBANGUN KOORDINASI EFEKTIF PENGELOLAAN WAKAF

MEMBANGUN KOORDINASI EFEKTIF PENGELOLAAN WAKAF
Saya beruntung bisa memberikan presentasi terkait dengan upaya untuk membangun koordinasi yang efektif di dalam kerangka untuk mengembangkan peran wakaf yang lebih optimal di masa yang akan datang. Saya menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf pada Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, 19/08/2016 di Hotel Arya Duta Jakarta.
Acara ini dihadiri sebagai narasumber Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, Sesdirjen Bimas Islam, dan peserta Direktur Pemberdayaan Wakaf, Dr. Suwardi Abbas, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia, Dr. Slamet Riyanto, dan sejumlah pimpinan BWI Pusat dan daerah serta para pimpinan Perbankan Syariah dan lain-lain. Tema yang didiskusikan adalah mengenai bagaimana peran Kementerian Agama dan BWI di dalam mendorong koordinasi optimal antar kelembagaan.
Pada kesampatan ini, maka saya sampaikan tiga hal yang saya kira menjadi hal utama untuk didiskusikan, yaitu: pertama, apresiasi terhadap acara yang menarik ini, sebab koordinasi merupakan bagian penting di dalam system manajemen yang mendasar. Koordinasi merupakan jantung bagi manajemen modern. Tanpa koordinasi yang baik, maka dipastikan bahwa upaya untuk mengembangkan program akan dipastikan tidak dapat dilaksanakan.
Di era kerjasama dan jaringan yang sangat penting di era manejemen modern, maka membangun koordinasi vertical maupun horizontal sangatlah penting. Sebagaimana diketahui bahwa BWI adalah lembaga semi pemerintah yang keberadaannya sangat tergantung pada bagaimana pimpinan BWI dapat membangun jejaring dengan instansi vertical seperti Kementerian Agama, Kementerian Pertanahan, Kementerian Dalam Negeri dan sebagainya, serta jejaring horizontal dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan kemasyarakatan dan sebagainya, baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, acara ini menjadi penting untuk memetakan bagaimana koordinasi jejaring itu makin efektif dan optimal.
Kedua, saya melihat bahwa ada sejulah problem yang perlu dicarikan solusinya. Di antara problem koordinasi tersebut sebagaimana tergambar sebagai berikut: 1) perlunya mempertegas kewenangan atau otoritas antara BWI dan Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama. Bisa jadi, bahwa ada tumpang tindih di antara keduanya. Ada program atau kegiatan yang bisa sama antara BWI dan Kemenag. Sesungguhnya Kemenag berada di dalam posisi sebagai regulator dan BWI sebagai eksekutor. Sebagai regulator, maka Kemenag memiliki kewenangan untuk membangun regulasi-regulasi yang mengarah kepada bagaimana mengembangkan wakaf untuk kepentingan umat. Sedangkan BWI dalam posisi sebagai eksekutor tentu saja akan mengambil posisi untuk mengembangkan program yang selaras dengan pengembangan peran wakaf untuk kepentingan umat. Di dalam konteks ini, maka keduanya harus selalu duduk bareng untuk membahas, mana yang akan menjadi kewenangan dan aksi program di antara keduanya, sehingga tidak akan terjadi duplikasi dan tumpang tindih dimaksud.
2) saya melihat bahwa relasi dan koordinasi di antara BWI Pusat dan Daerah dan Pemerintah Pusat dan Daerah bercorak fluktuatif. Artinya, bahwa selalu ada dimensi tarikan politik dan kekuasaan di dalam relasi di antara mereka. Jadi, selalu saja tergantung kepada pejabat pemerintah daerah di dalam memberikan dukungan terhadap BWI ini. Sebagaimana di DKI, sebagaimana penuturan pimpinan BWI DKI, bahwa BWI DKI baru didirikan dua tahun yang lalu, sementara itu terdapat Peraturan Daerah yang memberikan amanah bahwa organisasi sosial kemasyarakatan baru bisa diberikan bantuan operasional jika sudah berdiri selama tiga tahun. Hal ini merupakan sesuatu yang aneh, sebab BWI didirikan dalam mandate khusus Undang-Undang, yang tentu berbeda dengan organisasi yang dibikin oleh masyarakat. Dengan demikian, BWI ini disamakan misalnya dengan organisasi atau perkumpulan informal yang didirikan oleh masyarakat.
Tekanan politik birokrasi terkadang juga menjadi variabel yang menghambat terhadap bangunan koordinasi antar kelembagaan. Misalnya, jika di dalam pilkada bertepatan bahwa yang memenangkan pertarungan adalah lawan politik pimpinan BWI, maka akan dapat dipastikan bahwa akan terjadi kerenggangan komunikasi dan koordinasi tersebut. Dengan demikian, upaya membangun jejaring, komunikasi dan kordinasi tersebut harus benar-benat berada di dalam ruang yang aman dan independen. Jika tidak maka dipastikan akan mengganggu terhadap jalannya organisasi ini.
3) kerjasama program dengan dunia usaha. Sebagaimana dipahami bahwa dewasa ini terdapat pemikiran bahwa diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Di era sekarang, maka penyelenggaraan pemerintahan dan juga organisasi sangat tergantung kepada bagaimana penyelenggaraan programnya didasarkan atas kerjasama antar kelembagaan, masyarakat dan dunia usaha. Bagi saya, bahwa kerjasama kelembagaan tidak seharusnya menggunakan basis etnis atau agama. Maka menurut saya, sah saja BWI menjaring kerjasama dengan dunia usaha yang didirikan oleh pengusaha beretnis Cina atau perusahaan nasional lainnya. Perusahaan memiliki CSR yang saya kira di dalam Undang-Undangnya tidak membatasi kepada siapa CSR tersebut akan diberikan, selama procedural dan memenuhi persyaratan.
Kita memahami bahwa hanya sedikit pengusaha muslim yang kita miliki. Di dalam Top 100 Pengusaha Indonesia, maka tidak lebih 10 jumlah pengusaha muslim. Hanya ada, misalnya Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Aksa Mahmud, Muryati Sudibyo, Masyfuk, dan lain-lain. Jadi yang lebih banyak adalah para pengusaha non Muslim dan kebanyakan beretnis Tionghoa. Di dalam hal ini, maka menjalin program untuk mengembangkan program perwakafan tentu bisa dilakukan dengan siapa saja dengan catatan saling menguntungkan.
Ketiga, program pendampingan terhadap para nadzir saya kira sangat penting. Berdasarkan pengalaman banyaknya program pemberdayaan wakaf produktif yang gagal karena perselisihan di antara nadzir, maka BWI baik pusat maupun daerah seharusnya memiliki tim yang kuat untuk program pendampingan wakaf produktif. Jika ada masalah yang dihadapinya, maka tim ini akan bekerja untuk memberikan solusi yang cerdas tentang bagaimana wakaf produktif tersebut dapat didayagunakan. Jangan kita biarkan upaya kaum pengembang yang akan memanfaatkan tanah wakaf produktif kemudian mundur teratur karena ketidakjelasan mekanisme kerjasama yang seharusnya bisa dilakukan.
Dengan demikian, program ke depan, saya kira yang sangat mendasar adalah bagaimana BWI dan Ditjen Bimas Islam dapat membangun dinamika kerjasama, membangun koordinasi yang efektif dan optimal berbasis pada prinsip saling menguntungkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..