ACIS PUN BICARA TERORISME
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) IX ternyata memang menarik untuk disimak. Hal ini terkait dengan banyaknya pembicara yang mendiskusikan tentang tema kebangsaan dalam relasinya dengan realitas sosial dewasa ini. Ada kecenderungan yang kuat untuk tidak lagi menganggap wawasan kebangsaan, nasionalisme dan NKRI sebagai bagian penting bagi bangsa ini di tengah gemuruh munculnya berbagai gerakan sosial yang mengatasnamakan ideologi agama. ACIS pun perlu membahas kearifan lokal melalui penerapan konsepsi Islam moderat atau Islam rahmatan lil alamin.
Pak Masykuri Abdillah, misalnya mengungkapkan tentang betapa di sekeliling kita sudah muncul gerakan-gerakan agama garis keras yang salah satu visinya adalah mendirikan negara agama. Gerakan ini mesti dicermati secara mendasar, sebab kebanyakan penganutnya adalah para generasi muda, khususnya para mahasiswa. Mencermati terhadap kenyataan sosial seperti itu maka sudah selayaknya pengembangan Islam yang moderat dilakukan ke depan. Ungkapan senada juga diungkapkan oleh Pak Bambang Pranowo yang bersetuju bahwa agar bangsa ini kembali kepada local wisdom, selama local wisdom tersebut tidak bertentangan dengan tauhid. Misalnya cerita pewayangan di India, di mana Dewi Drupadi merupakan istri dari lima Pandawa. Di India diperbolehkan –di masa lalu—untuk melakukan poliandri. Makanya, di Jawa diislamisasikan bahwa Dewi Drupadi bukan istri lima Pandawa, tetapi masing-masing Pandawa memiliki istrinya sendiri-sendiri. Jadi, bukan sinkretisasi tetapi islamisasi.
Memang sebagaimana dipahami bahwa gerakan Islam garis keras dewasa ini sedang menuai masa awal kejayaannya. Ada dua aliran dalam Islam garis keras, yaitu Salafi Jihadi dan Salafi Wahabi. Salafi Jihadi adalah gerakan Islam radikal yang sangat keras dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politis dan ekonominya. Bahkan juga melalui teror bom. Kelompok ini banyak dinisbahkan kepada Osamah Ben Laden. Salafi Wahabi sesungguhnya lebih lunak, sebab orientasinya lebih pada penerapan Islam ala Wahabi. Namun demikian, keduanya sama-sama memiliki ikatan ideologis, yaitu ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah dan penerapan Islam sebagai ideologi negara. Visi dan misi seperti inilah yang kemudian menakutkan banyak pihak, tidak hanya orang di luar Islam, tetapi juga orang Islam sendiri yang selama ini identik dengan Islam moderat.
Ketakutan itu bukan tanpa alasan. Di kalangan orang non Islam tentu takut bahwa dengan menjadikan Indonesia sebagai negara agama, maka akan terjadi polarisasi yang luar biasa. Ada kekhawatiran bahwa dengan menjadi negara Islam, maka tidak ada lagi perlindungan kepada umat non Islam. Sementara di kalangan umat Islam yang selama ini menjadi arus utama Islam moderat mengkhawatirkan bahwa dengan semakin kuatnya aliran keagamaan yan fundamental akan menyebabkan rusaknya tatanan keagamaan yang selama ini sudah mapan. Dikhawatirkan bahwa tradisi-tradisi religiositas yang selama ini menjadi penyangga kehidupan keagamaan akan dihancurkan. Ada semacam trauma terhadap gerakan Wahabi yang meluluhlantakkan tradisi keberagamaan di awal proses pemantapan ideologisnya.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Duta Besar Indonesia untuk Mesir, M. Fachir, bahwa aliran keagamaan yang fundamental seperti Ikhwanul Muslimin dilarang keras di Mesir. Akibatnya semua aktivitas yang dapat dikaitkan dengan gerakan ini juga diawasi dengan ketat. Makanya, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir juga melakukan pembinaan kepada seluruh mahasiswa Indonesia di Mesir agar tidak mengikuti dan menjadi aktivis gerakan ini. Memang Kedutaan Besar Indonesia di Mesir pernah kecolongan, ketika terjadi pengiriman mahasiswa Indonesia di Mesir untuk terlibat dalam konflik di Afghanistan. Namun sekarang mereka diawasi dan dibina dengan sangat tegas agar mereka tidak terjebak di dalam organisasi yang bertentangan dengan pemerintah.
Dengan demikian, sesungguhnya kesadaran akan kejahatan terorisme sudah menjadi kesadaran bersama dari berbagai lapisan masyarakat. Hanya saja seperti yang kita ketahui bahwa gerakan kesadaran ini perlu ditindaklanjuti dengan tindakan untuk melakukan tindakan preventif dan bukan sekedar kuratif. Tindakan preventif itu sebagaimana dinyatakan oleh banyak orang adalah melalui pendidikan, misalnya dengan merumuskan kurikulum yang peka terhadap keagamaan radikal atau juga sosialisasi gerakan radikal yang harus diwaspadai oleh masyarakat. Sudah bukan saatnya lagi mewacanakan tentang radikalisme atau lainnya sebab selayaknya sudah dilakukan tindakan yang mengarah agar bagaimana tindakan kekerasan atas nama agama tersebut dapat direm dan kemudian diarahkan untuk kepentingan keindonesiaan.
Jadi, semuanya harus melakukan tindakan agar masa depan Indonesia dengan NKRI, Pancasila dan UUD 1945 yang sudah merupakan komitmen bangsa di masa awal tidak dicederai oleh kepentingan sekelompok orang yang berkeinginan lain.
Wallahu a’lam bi al shawab.
