• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BULAN TERTUTUP AWAN

BULAN TERTUTUP AWAN
Saat saya menggendong cucuku, Yufika Farnaz Adzkiya, dan dia saya perlihatkan bulan purnama, maka dari mulutnya terlintas kata-kata indah: “bulan tertutup awan.” Saya tentu saja terkejut mendengar kata-kata cucuku itu. Dia yang berumur dua tahun tiga bulan itu ternyata bisa mengucapkan kata-kata itu dengan sangat fasih dalam ukuran usianya. Betapa bahagianya saya mendengar ucapannya itu.
Bulan purnama di Jakarta tentu tidak kelihatan indah, sebab berbaur dengan sudut terang kota yang penuh dengan cahaya lampu berpendar di setiap bangunan dan tentu saja berpengaruh terhadap sinar bulan yang semestinya memancarkan keindahan itu. Cahaya yang temaram di tengah kegelapan malam dengan cahaya kerlap-kerlip bintang gemintang tentu tidak tampak keasliannya.
Sehari berikutnya, saya berkesempatan menikmati nuansa malam hari di desa kelahiranku, Dusun Semampir, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Tuban, Jawa Timur. Desa ini tentu tidak sebagaimana perkembangan kampung-kampung di dalam kota, yang lebih cepat perubahannya. Di desa ini memang sudah berubah, misalnya rumah-rumah penduduk yang makin baik dan permanen. Bahkan hampir tidak lagi dijumpai rumah semi permanen atau bahkan rumah bambu seperti ketika saya kecil dulu. Selain jalannya semua sudah beraspal juga rumah-rumah penduduk yang memberikan kesan bahwa perubahan itu meskipun lambat, akan tetapi sudah terjadi.
Saya sungguh menikmati kepulangan saya ini. Jarang rasanya bisa menikmati keindahan malam di saat tanggal 16 atau 17 bulan Qamariyah, seperti Bulan Dzulhijjah 1437 Hijriyah ini. Bahkan akhir-akhir ini jarang rasanya saya menginap di rumah orang tuaku itu. Saya selalu tergesa-gesa untuk kembali ke Surabaya atau ke Jakarta, jika pulang ke sini. Tetapi kepulanganku ini benar-benar terasa special.
Aku merasa bisa menikmati bulan seperti kala aku masih kecil. Temaram sinar bulan terselubung dengan awan yang terus bergerak. Di masa kecilku, sering kali orang tuaku mengajakku berbaring di depan rumah dengan menggelar tikar. Dan aku merasa ketakutan khawatir awan itu akan jatuh menimpaku.
Jika musim kemarau, Hampir setiap bulan purnama kami menggelar tikar di depan rumah. Maklum saat itu belum ada televisi, sehingga halaman depan rumah menjadi tempat yang menyenangkan untuk berkumpul. Keluarga saya dan tetangga kami sering bersama-sama nongkrong di halaman rumah saya. Makanya, halaman depan rumah bisa menjadi sarana sosialisasi bagi kami yang masih kanak-kanak dengan anggota masyarakat di sekitar rumah.
Sudah menjadi kepercayaan masyarakat bahwa di bulan itulah Baginda Sayyidina Ali berada. Saya sering diceritai bahwa lekukan-lekukan gambar yang terdapat di bulan purnama itu adalah Sayyidina Ali. Saya sampai sekarang tidak mengetahui bagaimana cerita itu ada dan bagaimana kepercayaan itu masih berada di tengah kehidupan masyarakat. Saya pun sampai pada keyakinan bahwa anak-anak sekarang sudah tidak mengenal lagi cerita itu, sebab memang sudah jarang ada peluang untuk menikmati temaram sinar bulan purnama di halaman rumah.
Saya kira televisi memiliki pengaruh besar terhadap ketidaksukaan anak-anak untuk melihat keindahan bulan di dalam kebersamaan dengan keluarga itu. Jam-jam di saat bulan bersinar terang adalah masa anak-anak nonton televisi. Dan sebagaimana diketahui jam 19-21 malam merupakan saat prime time bagi pemirsa televisi. Makanya, pada jam itu seluruh media televisi berupaya untuk menyajikan siaran terbaiknya. Jadilah tradisi melihat keindahan bulan bersama keluarga menjadi hilang dan bulan tidak lagi menarik bagi anak-anak kita.
Saya sempat melihat bagaimana bulan seakan berjalan beriringan dengan awan yang berkejar-kejaran. Saling ingin menguasai. Ada kalanya bulan kelihatan bersinar jernih dan ada kalanya dibayangi oleh awan yang putih berkilauan. Di saat seperti itu, maka ungkapan cucuku, “bulan tertutup awan” memang sedang terjadi. Saya nikmati sinar bulan dengan awan yang berkejaran di halaman belakang rumah saya, sambil duduk di “dingklik” atau kursi kayu sambil mengingat masa lalu, 49 tahun yang lalu. Sungguh saya merasakan bahwa kebersamaan dengan keluarga di saat bulan purnama dulu merupakan bagian dari sejarah kehidupan yang sulit rasanya untuk dilupakan.
Kepulangan saya juga terkait dengan tasyakuran dan peresmian tempat belajar bagi sejumlah siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selama ini PAUD itu ditempatkan di bangunan desa di wilayah utara desa, sementara itu Taman Kanak-Kanak (TK) Al Hikmah, yang sesungguhnya merupakan satu kesatuan dengannya terletak di wilayah selatan desa. Itulah sebabnya, maka diupayakan untuk bisa membangun ruang kelas khusus untuk PAUD yang menyatu dengan TK Al Hikmah.
Saya tentu bersyukur sebab bangunan ruang kelas ini sudah selesai dank e depan antara PUD dan TK ini sudah menyatu dalam ruang yang berdekatan, sehingga kesulitan guru-gurunya segera akan bisa teratasi. Pembangunan ruang kelas ini sesungguhnya difasilitasi oleh berbagai keluhan para guru TK dan PAUD tentang jarak di antara dua pendidikan ini yang agak berjauhan.
Sekarang kelas baru itu sudah ada dan tentunya para guru dan orang tua juga bisa bersama-sama untuk mendampingi anaknya. Saya kira memang harus ada orang yang memfasilitasi kebersamaan di dalam pendidikan itu, terutama untuk PAUD, karena memang upaya pendidikan itu tidak boleh ada “kata berhenti”.
Saya berharap bahwa melalui pendidikan yang benar, maka ke depan akan dihasilkan anak yang benar. Kegembiraan yang tiada taranya itu bukan karena harta yang banyak, akan tetapi ditentukan oleh kenyataan bahwa anak-anak kita adalah anak ang saleh dan salihah.
Wallahu bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..