TANTANGAN IKATAN PESANTREN INDONESIA (IPI) (1)
TANTANGAN IKATAN PESANTREN INDONESIA (IPI) (1)
Ikatan Pesantren Indonesia (IPI), baru saja menyelenggarakan Rapat Pleno Pimpinan Pusat di Hotel Sofyan, Jakarta, 19/08/2016. Acara ini diselenggarakan untuk membahas program strategis ke depan dalam periode kepemimpinan 2016-2020.
Di dalam organisasi ini, saya didaulat untuk menjadi Ketua Dewan Penasehat IPI. Seharusnya yang menjadi Ketua Dewan Penasehatnya adalah KH. Sholahuddin Wahid, akan tetapi satu dan lain hal, maka akhirnya saya yang diminta untuk menjadi ketua Dewan Pengawasnya.
Tugas ini saya terima dengan plus minusnya. Saya menyadari bahwa seharusnya yang menjadi Ketua Dewan Penasehat adalah Kyai yang memiliki pesantren, sehingga tentu memiliki kewibawaan dan otoritas keilmuan Islam yang memadai. Tugas ini saya terima dalam kapasitas pengetahuan organisasi di mana saya tentu telah memiliki pengalaman yang cukup.
Di dalam kesempatan memberikan pengantar pertemuan ini, saya membahas tantangan IPI yang ke depan saya kira harus memperoleh jawaban yang memadai. Saya berpandangan bahwa pesantren adalah garda depan untuk menjawab tantangan yang kompleks bagi bangsa ini di masa yang akan datang. Ada lima hal yang saya sampaikan.
Pertama, tantangan pemberdayaan ekonomi pesantren dan masyarakat. Meskipun kita sebagai umat terbesar di Indonesia, namun kenyataannya justru yang terpuruk secara ekonomi. Dari 10 persen rakyat Indonesia yang berada di garis kemiskinan, saya berkeyakinan bahwa kebanyakan adalah umat Islam. Merekalah yang masih menjadi problem bagi bangsa ini.
Kemiskinan, ketertinggalan dan keterbatasan potensi ekonomi umat Islam yang disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mengakses ekonomi yang bercorak kapitalistik, menjadikan posisi mereka makin rentan di tengah persaingan sumber daya ekonomi yang makin terbatas. Persaingan ekonomi tentu makin meniadi-jadi di tengah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Di tengah ketiadaan proteksi Negara terhadap aktivitas ekonomi antar Negara, maka siapa yang kuat dialah yang akan menguasai sumber daya ekonomi.
Belum lagi problem ketenagakerjaan yang tidak sederhana. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tentu tidak akan bisa bersaing menghadapi makin ketatnya persaingan tenaga kerja. Untuk bisa bersaing maka persyaratannya ialah kompetensi dan kompetisi. Bisa dibayangkan bahwa kebanyakan dari mereka yang secara ekonomi berada di garis kemiskinan, tentu juga mesti berada di dalam kompetensi dan kompetisi yang rendah.
Di dalam kerangka memperkuat ekonomi umat ini, maka kiranya diperlukan upaya pemberdayaan ekonomi pesantren dan umat Islam di sekitarnya. Para santri harus dibekali dengan kemampuan llmu agama dan juga kemampuan mengakses ekonomi di tengah kompleksitas kehidupan. IPI saya kira harus membangun jejaring agar bisa membantu pesantren untuk menghadapi ketatnya perebutan sumber daya ekonomi melalui kerjasama terstruktur dengan dunia usaha atau lainnya.
Kedua, tantangan radikalisme dan trans-ideologi yang makin menemukan tempatnya di Indonesia. Kita merasakan bahwa radikalisme dan trans-ideologi semakin menancapkan kukunya di Indonesia. Dan yang merisaukan tentu penganutnya adalah anak-anak muda yang terdidik. Mereka menjadi simpatisan dan bahkan pengikut setia terhadap gerakan radikalisme ini dan bahkan memiliki kesiapan untuk dijadikan sebagai “pengantin” dalam bom bunuh diri yang mematikan.
Radikalisme sudah memasuki berbagai elemen masyarakat. Dunia kemahasiswaan, partai politik, parlemen, birokrasi dan bahkan angkatan bersenjata. Mereka sudah eksis dalam tataran posisi yang diduduki sekarang. Makanya, sesungguhnya tantangan radikalisme ini sudah menjadi sangat menyesakkan. Sayangnya, bahwa yang menyadari tentang tantangan ini sangat sedikit jumlahnya. Kebanyakan beranggapan atau tidak ambil peduli. Kebanyakan mereka melakukan pembiaran dan berpandangan yang penting belum mengganggu kepentingannya.
Di tengah suasana seperti ini, maka IPI dengan kekuatan pesantrennya harus menjadi garda depan yang akan membersihkan elemen pesantren dan masyarakat dari gerakan radikal dan trans-ideologi ini. Saya selalu menyatakan bahwa tantangan terbesar bangsa ini adalah jikalau kaum radikalis dan trans-ideologi makin besar jumlahnya dan kemampuan mempengaruhi masyarakat yang makin besar pula.
Pengikut radikalisme dan trans-ideologi bahkan sudah mendeklarasikan keterlibatannya dengan Gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Bukan hanya sekedar simpatisan saja akan tetapi benar-benar telah menjadi bagian dari Gerakan ISIS, baik di dalam maupun luar negeri. Jadi, saya kira kewaspadaan dini harus menjadi prioritas warga bangsa dan terutama organisasi Islam termasuk IPI.
IPI harus membangun jejaring dengan Kementerian/Lembaga atau Organisasi non Pemerintah yang memiliki kesamaan visi dan misi untuk mempertahankan konsepsi keberagamaan yang rahmatan lil alamin. IPI tidak boleh berdiam diri menghadapi tantangan yang sudah berada di depan mata ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.
