AGAMA BUKAN PENYEBAB KERUSUHAN
AGAMA BUKAN PENYEBAB KERUSUHAN
Pagi ini (30/07/2016) kita dikagetkan oleh adanya berita tentang perusakan sejumlah Kelenteng dan Vihara di Tanjung Balai, Medan. Berdasarkan informasi yang kita terima ada beberapa Kelenteng dan Vihara yang dibakar. Meskipun tidak ada korban jiwa tetapi peristiwa ini tentu cukup mencekam.
Di antara Vihara dan Kelenteng yang dibakar adalah: Vihara Tri Ratna, Vihara Avalokavistara, Kelenteng Dewi Samodra, Kelenteng Ong Ya Kong, Kelenteng Tua Pek Kong, Kelenteng Tiau Hau Biao dan beberapa lainnya.
Peristiwa seperti ini memang bisa saja terjadi di tengah hiruk pikuk kehidupan agama yang plural dan mengandaikan bahwa semua agama memiliki klaim kebenaran dan emosi keagamaan yang sangat tinggi. Agama di kalangan umat beragama merupakan keyakinan dan mengandung dimensi sensivitas yang sangat kuat. Sebagai kebenaran mutlak, maka agama hanya menawarkan kebenaran tunggal, sehingga berpotensi untuk menyalahkan yang lain.
Kerusuhan yang melibatkan umat Budha dan Islam ini telah terjadi juga beberapa waktu yang lalu di Jawa Tengah, namun tidak sampai melakukan perusakan terhadap tempat ibadah seperti di Tanjung Balai ini. Gesekan antar umat beragama memang masih menjadi problem laten bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia.
Terlepas dari motif apa dan siapa yang melakukannya, akan tetapi melakukan perusakan terhadap tempat ibadah kiranya patut untuk dikecam. Pembakaran terhadap tempat ibadah bukanlah solusi yang bisa menyelesaikan masalah, akan tetapi justru akan menambah masalah. Saya kira masih ada solusi yang lebih cerdas untuk menyelesaikan persoalan antar agama seperti ini.
Pemicu kekerasan agama ini adalah sesuatu yang sangat sepele. Sesuai info yang kita terima hal ini berangkat dari protes terhadap loudspeaker Masjid Al Ma’shum yang didengar terlalu keras oleh seorang tetangga yang ketepatan beragama Budha dan dari etnis China. Peringatan agar mengecilkan suara loudspeaker itulah yang kemudian memantik reaksi yang keras dari sebagian kecil umat Islam untuk melakukan balasan dengan cara membakar tempat ibadah agama Budha.
Tentu sungguh kita sayangkan, bahwa persoalan yang sangat sederhana ini lalu berbelok arah dengan tindakan anarkhis. Bolehlah peringatan agar mengecilkan suara adzan itu sebagai sebuah kesalahan, yang saya kira bisa didialogkan, akan tetapi pembalikan arah kepada perusakan Vihara dan Kelenteng adalah sesuatu yang berlebihan dan salah sasaran.
Saya berkeyakinan bahwa informasi yang sampai kepada masyarakat tentang hal ini sudah dihiperbolakan. Sudah dieksegeret sedemikian rupa sehingga pesan yang sampai kepada sejumlah orang sudah lebih luas dan melenceng. Dapat dipastikan bahwa unsur etnis menjadi lebih dominan. Jadi bukan lagi pada pesan “mengecilkan loudspeaker” untuk adzan, akan tetapi sudah berubah menjadi pesan kebencian.
Saya kira jika pesan yang sampai kepada masyarakat tidak mengalami “pembesaran” dan “perluasan” atau pembelokan “makna pesan” maka kejadian ini tentu tidak sebesar yang terjadi. Oleh karena itu, ada tiga factor yang menyebabkan terjadinya pembakaran sarana ibadah agama Budha ini.
Pertama, factor pemicu adalah protes oleh warga Cina di sekitar masjid tentang suara adzan yang dianggap terlalu keras. Suara adzan yang menggunakan loudspeaker dinilai oleh warga Cina dapat mengganggu ketenangan mereka. Mereka meminta agar suara adzan dengan lousdspeaker tersebut diperkecil sehingga jangkaunnya menjadi lebih terbatas. Ada noise factor terkait dengan pemicu kekerasan ini.
Kedua, factor pendorong, bukan suatu ketepatan bahwa yang protes adalah warga Cina dan beragama Budha. Selama ini memang harus diakui bahwa kelompok masyarakat Cina memang mendominasi terhadap perekonomian masyarakat. Mereka yang sukses secara ekonomi adalah sebagiannya warga Cina. Jadi ada semacam kecemburuan warga pribumi terhadap economic power warga Cina ini.
Di dalam banyak hal, konflik antar Cina dan penduduk pribumi bukan karena factor agama, akan tetapi lebih banyak didorong oleh factor ekonomi. Sebagai contoh kasus kerusuhan sosial di Situbondo tahun 1990an, hakikatnya bukan kerusuhan yang dipicu oleh agama, akan tetapi oleh dominasi ekonomi kelompok Cina di wilayah tersebut.
Saya menduga bahwa factor etnis Cina yang menguasai aspek ekonomi di wilayah tersebutlah yang lebih dominan sebagai pendorong terhadap kekerasan sosial ini. Ketepatan bahwa yang melakukan protes sebagai pemicu adalah Cina yang beragama Budha. Jika pemicunya adalah Cina yang Beragama lain, maka yang dirusak tentu sarana ibadah agama lain.
Ketiga, factor penguat untuk melakukan kekerasan adalah “pembiasan informasi” kepada sebagian kecil umat Islam di sini. Di dalam banyak kasus, misalnya kekerasan di Ambon, Poso dan lain-lain hakikatnya diperkuat oleh information biased yang secara sengaja disebarkan dari individu ke individu dari kelompok ke kelompok lainnya. Dari fakta keinginan mengecilkan suara loudspeaker adzan menjadi berita yang bersearah dengan Cina, Budha, penguasaan ekonomi dan sebagainya.
Saya kira pembiasan berita ini bukan karena factor kesengajaan, akan tetapi selalu saja bahwa di dalam kasus yang melibatkan etnis dan agama, maka akan terjadi suasana hyperbolic sehingga fakta aslinya tenggelam di antara berita-berita yang simpang siur. Oleh karenanya, di dalam banyak kerusuhan, maka peran agama sebenarnya adalah penguat dan bukan penyebab.
Kita tentu bergembira bahwa pemerintah daerah sangat sigap mengatasi persoalan ini, sehingga mereka sudah bersepakat untuk menjaga kedamaian umat beragama. FKPD, MUI, FKUB dan sejumlah tokoh agama sudah membubuhkan tandatangannya untuk menandai kesepahamam bahwa mereka akan menjaga kerukunan umat beragama.
Marilah kita jadikan pembelajaran peristiwa ini, sekaligus juga mencari solusi atas akar masalah yang sebenarnya. Saya kita kita memiliki kemampuan untuk membangun kerukunan di tengah dinamika etnisitas, agama dan ekonomi di antara warga bangsa. Jadi, saya yakin kita masih bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.
