NATIONAL SUMMIT: DORONG KERUKUNAN BERAGAMA
Salah satu point penting di dalam pembicaraan para peserta National Summit adalah membangun kerukunan umat beragama. Hampir semua pembicara menyatakan betapa pentingnya kerukunan umat beragama tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari negeri Indonesia yang plural dan multikultural. Kerukunan beragama adalah modal dasar dalam membangun bangsa dan negara Indonesia. Tanpa kerukunan beragama maka tidak mungkin akan ada pembangunan tersebut. Contoh yang dapat dijadikan model betapa kerukunan itu sangat penting adalah konflik Poso dan Ambon yang pada akhirnya menyeret agama untuk masuk ke dalamnya, maka dua daerah tersebut mundur 30 tahun ke belakang. Fasilitas-fasilitas sosial dan agama menjadi berantakan karena konflik berkepanjangan. Untunglah bahwa konflik tersebut dapat diredakan bahkan diselesaikan pada waktunya.
Secara umum, Indonesia memang berhasil dalam rangka membangun kerukunan umat beragama. Hal itu dapat ditunjukkan dalam realitas sosial yang mengedepankan kerukunan umat beragama. Ada sekian banyak dialog antar umat beragama, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, organisasi sosial keagamaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tujuan semuanya adalah dalam rangka memperoleh mutual understanding tentang relasi agama-agama. Pemahaman keberagamaan di antara para elit keagamaan memang jauh sudah lebih baik. Berbagai dialog antar umat beragama juga sudah menjadi tradisi di antara mereka. Hanya saja yang perlu dipertimbangkan adalah jangan sampai tradisi tersebut menjadi boutique multiculturalism. Menurut Stanley Fish, bahwa multikulturalisme butik adalah pandangan tentang multikulturalisme yang sebatas pada permukaannya saja. Multikulturalisme dirayakan dengan duduk bersama, maka bersama, berbincang bersama tetapi hanya sebatas luarnya saja. Yang di dalam masih tetap bergemuruh perbedaan dalam arti luas. Makanya, yang perlu dikembangkan adalah membangun kebersamaan dalam menghadapi kehidupan yang riil. Multikulturalisme tidak hanya di dalam perayaan kebersamaan melalui co-eksistensi tetapi juga pro-eksistensi. Jika di dalam co-eksistensi yang ada adalah saling pemahaman tentang keberadaan mereka, maka di dalam pro-eksistensi yang ada adalah menjalin kerja sama untuk memperbaiki dunia kemanusiaan kita.
Ada sekian banyak tantangan di dalam membangun masyarakat Indonesia yang bermartabat, beradab dan berkesejahteraan. Makanya umat beragama dapat melakukannya melalui kesepahaman pro-eksistensi di antara umat beragama. Proyek ini tidak berbicara atas nama agama tertentu tetapi berbicara atas nama kemanusiaan. Di dalam program pro eksistensi, maka yang ditonjolkan adalah kebersamaan dan kemanusiaan bukan ego masing-masing pemeluk agama. Oleh karena itu, program kerukunan beragama semestinya dilanjutkan tidak hanya di dalam kerangka membangun co-eksistensi tetapi mengarah ke pro-eksistensi.
Yang masih menyisakan masalah adalah kekuatan ego di masing-masing pemeluk agama. Problem utama di dalam membangun kerukunan umat beragama adalah masih tingginya ego-religiositas yang berpangkal dari teologi perbedaan. Seperti apa yang dinyatakan oleh Pak Hasyim Muzadi, bahwa yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan. Artinya bahwa perbedaan teologis, ritual dan lainnya yang memang dari konsepsi agamanya memang berbeda jangan lalu atas nama kerukunan beragama ingin disamakan. Demikian pula sebaliknya.
Hanya saja, akhir-akhir ini terdapat tantangan yang cukup kuat yakni melalui perkembangan sekelompok orang yang mengatasnamakan agamanya dengan ideologi Islam trans-nasional. Kelompok ini memiliki kekuatan ideologis yang luar biasa untuk menjadikan Indonesia sebagai basis gerakan Islam-Negara. Secara perlahan tetapi pasti, kelompok ini telah memperoleh tempat yang sedemikian kuat di dalam kehidupan masyarakat. Makanya salah satu tantangan ke depan gerakan kerukunan umat beragama adalah ketika harus berhadapan dengan gerakan fundamentalisme Islam yang terus tumbuh dengan subur. Kelompok ini memiliki semangat beragama yang sering berbicara minna atau minhum. Klaim hanya mereka yang benar dan lainnya salah, akan dapat menjadi problem utama di dalam membangun kerukunan umat beragama.
Oleh karena itu, membangun Islam moderat yang selama ini menjadi arus utama Islam Indonesia adalah suatu hal yang tidak bisa diabaikan. Organisasi sosial keagamaan yang selama ini membangun Islam dalam pengertian tersebut harus begandeng tangan untuk melanjutkan model Islam yang sudah teruji dalam puluhan tahun di Indonesia. Di tangan organisasi Islam moderatlah nasib Indonesia ke depan dengan NKRI, Pancasila dan UUD 1945 sesungguhnya dipertaruhkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.