MEMBINCANG AGAMA DALAM NATIONAL SUMMIT
Agama memang selalu menjadi topik menarik dalam setiap even membahas relevansinya bagi kehidupan masyarakat, pemerintah dan negara. Tidak terkecuali adalah ketika agama dipertanyakan kembali relevansinya bagi pembangunan nasional. Agama memang menjadi pattern for behavior di dalam kehidupan manusia dan juga masyarakat. Sebagai pedoman di dalam kehidupan manusia, agama sering menjadi sasaran ketika tafsir agama dimaksud menyebabkan terjadinya permasalahan di dalam masyarakat tersebut. Tidak terkecuali di dalam acara National Summit yang dilaksanakan selama dua hari, Kamis –Jum’at, 29-30 Oktober 2009. Di dalam National Summit ini juga banyak yang mempertanyakan bagaimana agama dapat dijadikan sebagai spirit dalam membangun masyarakat Indonesia.
Ada tiga fokus pembicaraan tentang relasi agama dan masyarakat, yaitu agama dalam relasinya dengan kerukunan umat, agama dalam relevansinya dengan peningkatan kehidupan umat dan agama dalam relevansinya dengan tantangan pembangunan secara menyeluruh atau menjadikan agama sebagai spirit pembangunan. Tentu yang saya tulis ini bisa saja tidak sama dengan rekomendasi sidang Komisi VI yang membincang tentang “agama dan Pembangunan Nasional”. Tetapi yang jelas bahwa perbincangan dari para diskusan dapatlah diresume dalam tiga fokus pembicaraan tersebut. Tulisan ini baru membincangkan tentang relasi antara agama dengan tantangan pembangunan keberagamaan ke depan.
Yang menarik bahwa persoalan kekerasan agama menjadi tema pembahasan yang sangat mendasar. Memang akhir-akhir ini ada fenomena keagamaan yang cukup menarik. Di satu sisi ada tarikan agama yang fundamental bahkan cenderung keras, dan di sisi lain juga ada tarikan ke arah lokalisasi agama. Peserta National Summit, banyak mengungkap tentang kekerasan agama dalam bentuk teror yang terjadi akhir-akhir ini. Bagi mereka, terorisme merupakan sebuah kejahatan yang tidak bisa dinisbahkan dengan ajaran agama. Agama bagi mereka mengajarkan kerukunan dan keselamatan. Agama tidak mengajarkan umatnya untuk saling membunuh. Agama justru sebaliknya mengajarkan kasih sayang dan keselamatan. Makanya, perlu ada kurikulum yang mengajarkan kepada generasi muda tentang kejahatan teorisme tersebut. Bagi lembaga pendidikan hendaknya menjadikan terorisme sebagai bagian yang harus diajarkan kepada siswa atau mahasiswa. Demikian pula institusi sosial keagamaan juga harus menjadi penyangga agar masyarakat tidak terjerumus ke dalam pengamalan agama yang salah. Institusi ini harus mendorong agar umat mengamalkan ajaran agama yang penuh kasih sayang dan perdamaian.
Di satu sisi juga terdapat lokalisasi agama, misalnya dapat dilihat dari semakin banyaknya aliran-aliran agama yang dianggap menyimpang atau splinter group. Di Jawa Timur, misalnya muncul aliran agama di Mojokerto yang tidak mewajibkan shalat, zakat dan sebagainya. Sementera di Tulungangung juga terdapat aliran Baha’i yang pengikutnya cukup banyak. Sedikitnya sebanyak 117 orang. Pusat keagamaan ini di desa Ringinpitu, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung. Pimpinan sekte ini adalah Slamet Riyadi. Menurut aliran ini bahwa puasa dilakukan hanya 18 hari pada bulan Maret. Ibadah dapat diawali semenjak matahari terbit dan penganutnya bisa memilih waktu yang diinginkan. Untuk bacaan ritualnya tergantung bahasa negara yang bersangkutan. Kaum Baha’i berkeyakinan sebagai penerus Nabi Muhammad yang sudah selesai masa tugasnya. Kaum Baha’i yang meneruskan. Tetapi prinsip ajaran Baha’i adalah mengajarkan perdamaian (Surabaya Post, 29/10/09).
Dua hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus menjamin kemerdekaan beragama bagi pemeluknya, akan tetapi kebebasan tersebut harus tetap berada dalam kawasan aturan perundang-undangan yang ada. Makanya, kiranya diperlukan undang-undang ”kebebasan beragama” yang dapat menjadi jaminan pelaksanaan kebebasan beragama dimaksud. Melalui aturan perundang-undangan ini, maka negara memberikan jaminan bagi pemeluk agama dan masyarakat juga merasa ada jaminan untuk melakukan agama sebagaimana yang disepakati bersama.
Oleh karena itu ke depan diperlukan pemahaman yang benar tentang agama. Dan tidak ada lain kecuali mengamalkan ajatan agama dalam bentuknya yang moderat. Agama yang rahmatan lil alamin. Agama yang dapat memberikan jaminan kehidupan umat manusia berada di dalam perdamaian dan keselamatan. Agama yang bebas dilakukan akan tetapi harus selalu berada di dalam koridor aturan yang disepakati bersama. Baik agama yang berdasar atas ideologi trans-nasional atau agama lokal, keduanya harus kembali kepada agama yang moderat sebagaimana yang diajarkan oleh para pendahulu tentang agama.
Wallahu a’lam bi al shawab.