MENYOROTI RASIONALITAS PEMUDA
Sejumlah pemuda yang tergabung di dalam organisasi ekstra kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Aliansi Pemuda Indonesia (API) melakukan demonstrasi terkait dengan peringatan Sumpah Pemuda. Di dalam acara memperingati Sumpah Pemuda tersebut, para mahasiswa melakukannya dengan menggelar unjuk rasa dan berorasi di Depan pintu gerbang Kantor Dewan Pimpinan Rakyat Kabupaten Malang. Sayangnya unjuk rasa tersebut diwarnai dengan bentrok dengan aparat keamanan. Ketika mahasiswa mendesak untuk masuk ke gedung DPRD, maka aparat keamanan mencegahnya, sehingga bentrokan fisik pun tidak dapat dihindarkan. Karena itu terjadilah aksi dorong mendorong antara mahasiswa dan aparat keamanan.
Sesungguhnya tuntutan mahasiswa tersebut adalah agar pemerintah memberikan lapangan pekerjaan bagi pemuda, agar pemerintah mencabut UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), agar pemerintah memberikan pendidikan gratis, agar terdapat kebebasan berorganisasi di dalam kampus dan menolak kenaikan gaji menteri (Surabaya Pos, 29/10/09). Sementara itu, di Semarang juga terdapat mahasiswa yang terpaksa diinterogasi oleh polisi ketika melakukan peringatan hari Sumpah Pemuda dengan cara menyajikan acara teatrikal dengan menyobek bendera merah putih (JP, 29/10/09).
Ada banyal hal yang dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok individu dalam mengekspresikan peringatan apa pun. Ada yang mengekspresikan melalui upacara bendera, ada yang melakukannya melalui pagelaran seni atau tari dan ada juga yang melaksanakannya dengan orasi di tempat khusus atau umum. Semuanya dilakukan sebagai perwujudan dari kecintaan, kekaguman atau kebanggaannya atas peristiwa yang diperingatinya tersebut. namun demikian menjadi agak ironis jika peringatan hari Sumpah Pemuda yang seharusnya diwarnai dengan introspeksi dan ekstrospeksi tentang makna peristiwa tersebut kemudian menjadi peristiwa yang “mengenaskan” yaitu bentrokan dengan aparat keamanan yang semestinya tidak terjadi.
Di negara yang demokratis, di mana keterbukaan, HAM dan kebebasan menjadi pilar utamanya, maka melakukan unjuk rasa atau apapun namanya tentu bukan hal yang aneh. Unjuk rasa adalah bagian dari ekspresi seseorang atau sekelompok orng untuk menyampaikan aspirasinya kepada penguasa atau pemerintah. Di mana ada sistem pemerintahan demokratis, maka di situ terdapat kegiatan rakyat untuk melakukan unjuk rasa. Di negara-negara barat yang selama ini dianggap sebagai kampiunnya demokrasi, maka demonstrasi bukan sesuatu yang aneh. Namun dalam banyak hal, demonstrasi di barat terkesan tertib. Bahkan dalam suatu kesempatan, Pak Hasyim Muzadi ketika menanggapi kenapa tidak ikut demonstrasi di Jakarta, beliau menyatakan kalau demontrasi di negara barat dia akan ikut, sebab demonstrasinya dilakukan secara tertib, sedangkan demonstrasi di Indonesia dilakukan secara tidak tertib dan anarkhis.
Pernyataan Pak Hasyim bisa jadi benar, sebab dalam kasus unjuk rasa yang dilakukan di Indonesia kebanyakan berakhir dengan kericuhan. Coba kalau diamati, kebanyakan unjuk rasa di Makasar, kota-kota di Jawa, terakhir di Kupang, maka demonstras tersebut dilakukan secara brutal dan merusak fasilitas umum. Demonstrasi identik dengan pentungan, gas airmata, bahkan senjata tajam. Ini semua menandai bahwa unjuk rasa yang dilakukan memang bisa berakibat fatal. Akibatnya ada banyak yang terluka sebagai akibat keterlibatannya di dalam demonstrasi tersebut.
Sebagai mantan aktivis mahasiswa, saya terkadang jadi merenung. Apakah perilaku kita ini memang semakin permisif terhadap kekerasan. Apakah ketika melakukan unjuk rasa tanpa melakukan kekerasan tersebut berarti unjuk rasanya kurang bermakna. Ataukah, perilaku kita banyak bersentuhan dengan pemaksaan kehendak ataukah aparat keamanan yang terlalu gegabah dalam menghadapi para pendemo. Ya, ada sejumlah pertanyaan yang dapat dikemukakan terkait dengan perilaku demonstrasi yang sering terjadi akhir-akhir ini.
Semestinya, manusia memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan rasional bertujuan. Artinya bahwa setiap tindakan akan selalu dikonsultasikan apakah tindakan tersebut masuk akal atau tidak dalam kaitannya dengan proses pencapaian tujuan. dengan demikian setiap tindakan harus dikalkulasi secara cermat proses dan produknya. Mahasiswa adalah kelompok pemuda yang paling rasional. Artinya, bahwa dibandingkan dengan sejumlah pemuda lainnya, maka mahasiswa adalah yang paling unggul. Di antara keunggulan itu adalah kemampuan rasionalitas dan daya nalar kritis yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka ketika mahasiswe melakukan tindakan dalam bentuk apapun maka yang mengedepan adalah pertimbangan rasionalitas tersebut.
Makanya, jika mahasiswa melakukan demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkhis maka sesungguhnya yang bersangkutan jauh dari pertimbangan kemasukakalan tindakan dimaksud. Semua di antara kita tentu berkeinginan agar mahasiswa Indonesia menjadi manusia Indonesia yang cerdas, kompetitif dan kritis. Namun kekritisan dalam menghadapi persoalan tersebut perlu untuk didukung dengan peritmbangan logis dan akuntabel, sehingga apa yang dilakukannya memiliki dampak positif bagi pencitraan diri dan juga besentuhan dengan kebutuhan masyarakat secara general.
Wallahu a’lam bi al-shawab.