PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (20)
PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (20)
Al Qur’an tidak hanya mengandung ajaran tentang ritual, akan tetapi juga mengandung ajaran sosial kemasyarakatan. Di antara yang mendasar adalah tentang “kehidupan kebersamaan” tanpa membedakan apa latar belakang mereka masing-masing.
Al Qur’an menjelaskan tentang sunnatullah yang terkait dengan penciptaan alam dan manusia secara berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Dan inilah justru keindahan penciptaan dunia dengan segenap isinya. Tidak ada yang tunggal dan semuanya selalu bervariasi dalam bentuk dan jumlahnya.
Pepohonan, binatang melata, binatang memamah biak, binatang laut, ikan, binatang buas dan sebagainya semuanya bervariasi dalam bentuk dan jumlahnya. Demikian pula manusia juga bervariasi di dalam bentuk tubuh, warna kulit, kecerdasan, religiositas, bentuk dan warna rambut serta ukuran tubuh dan sifatnya. Semua menggambarkan betapa sunnatullah memang diciptakan untuk varian-varian dimaksud.
Menarik memang mencermati bukti kekuasaan Allah lewat ciptaannya. Terlepas dari pemikiran filsafat tentang prima causa atau penyebab utama atau teori penciptaan dari berbagai elemen duniawi lainnya, akan tetapi ternyata memang bahwa dunia diciptakan Allah dengan berbagai kewenangan yang melekat kepadanya.
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifahnya. Pemberian status sebagai khalifah tentu bukan sembarangan. Tidak sia-sia. Diciptakan manusia untuk mengatur kehidupan di dunia ini dengan akal, perasaan dan hatinya. Makhluk lainnya tidak dilengkapi dengan kelengkapan struktur fisik, pikiran dan hati. Itulah sebabnya manusia memiliki beban yang berat untuk “menyejahterakan” dunia ini dan bukan merusaknya.
Manusia tidak boleh mengeksploitasi alam ini untuk memenuhi nafsu biologisnya seperti menjadi kaya, melebihi kapasitas makan dan minum. Manusia tidak boleh larut di dalam nafsu ketamakan yang menghalalkan semua cara. Allah memberikan batasan tentang bagaimana seharusnya menjaga syahwat berkuasa dan hasrat untuk menghamburkan SDA dan sebagainya.
Kerusakan hutan yang disebabkan oleh illegal logging, kerusakan habitat laut karena illegal fishing dan juga kehancuran hutan tentu berdampak bagi kehidupan manusia. Di sinilah arti penting moralitas agama untuk menjaga agar manusia berada di dalam koridor kebenaran.
Di banyak ayat, Allah menegaskan agar manusia menggunakan pikirannya dan akalnya, “afala tatafakkarun” atau “afala ta’qilun” . Allah memacu agar manusia memanfaatkan pikirannya dan akalnya, sebab disinilah sesungguhnya manusia memiliki kelebihan dibanding makhluk Allah lainnya. Jadi, dengan kemampuan yang diberikan oleh Allah, maka manusia tentunya bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah.
Al Qur’an menjelaskan di kala Allah akan menciptakan manusia dan akan menjadikannya sebagai khalifahnya, dan keduanya diminta untuk bersujud kepada Adam, maka terdapat keberatan dari Malaikat dan juga Syetan. Malaikat beralasan bahwa nanti dengan dijadikannya manusia sebagai khalifah, maka manusia berpeluang membuat kerusakan dan malapetaka, sedangkan Syetan beranggapan bahwa dirinya lebih cocok menjadi khalifah karena diciptakan dari sinar api yang cemerlang. Dia beralasan bahwa dia lebih unggul dibandingkan dengan manusia yang diciptakan dari tanah.
Akan tetapi penciptaan manusia yang dibebani untuk menjadi khalifah Allah tentu mengandung konsekuensi yang berat. Yaitu kewajiban untuk menjaga agar alam menjadi terpelihara dan berkelanjutan. Dan sebagaimana diketahui bahwa ada sebagian manusia yang memang berkeinginan menjaga alam ini agar terpelihara secara baik dan ada sebagian lainnya yang melakukan kerusakan terhadap alam,
Manusia juga harus menjaga kelangsungan kehidupan manusia secara keseluruhan. Tidak boleh ada saling menghancurkan dan merusak. Manusia harus menjaga keharmonisan antara satu dengan lainnya. Makanya, Islam mengajarkan agar manusia saling mengenal satu dengan lainnya dan menjaga persaudaraan antara satu dengan lainnya. Di dalam membangun persaudaraan ini, maka Islam bahkan juga menganjurkan pesaudaraan berbasis pada dimensi kemanusiaan dan tidak hanya pada aspek keberagamaan.
Jadi Islam menegaskan bukan hanya hablum min al muslim atau hablum min al mu’min akan tetapi hablum min al nas. Oleh karena itu basis persaudaraan adalah sesama manusia sebagai ciptaan Allah. Itulah makna Islam dalam konteks membangun persaudaraan. Islam bukan agama yang eksklusif tetapi agama yang inklusif. Islam tidak hanya mengajarkan perlunya membangun kebaikan untuk sesama umat Islam saja akan tetapi juga untuk sesama manusia.
Alangkah indahnya pesan al Qur’an bahwa kita harus membangun silaturrahim jika ita meyakini akan hadirnya hari kiyamat. Nabi bersabda “man kana yu’minu billahi wa al yaum al akhiri fa al yashil rahimah”. Yang artinya kurang lebih “barang siapa memoerayai adanya Allah dan hari akhir, maka hendaknya menyambung tali silaturrahim”.
Jadi sesungguhnya persaudaraan adalah inti ajaran Islam. Jika di dalam hidup justru yang terjadi adalah kebalikannya, maka berarti ada yang salah di antara kita. Jalinlah tali persaudaraan agar Allah menurunkan rahmatnya kepada kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.