PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (19)
PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (19)
Al Qur’an adalah pembeda antara yang haq dan bathil atau yang benar dan salah. Sebagai pattern for behavior, maka pastilah Al Qur’an menyajikan gambaran tentang jalan mana yang benar dan jalan mana yang salah.
Doa kita kepada Allah adalah “allahumma arina al haqqa haqqa wa al zuqna tiba’ah wa arina al abathila bathila wa al zuqna ijtinabah” yang artinya secara general adalah “Ya Allah tunjukkan pada kami jalan yang lurus dan berikan kami kekuatan untuk mengikutinya dan tunjukkan kami jalan yang salah adalah salah dan berikan kami kekuatan untuk menghindarinya”.
Sebagai Kitab Suci yang diturunkan untuk umat manusia, maka pastilah penjelasan tentang jalan menuju kepada Tuhan itu terbentang dengan jelas. Meskipun mujmal atau garis besar, akan tetapi Al Qur’an adalah Kitab Suci yang lengkap terkait dengan keimanan, peribadahan dan kemasyarakatan. Al Qur’an mengandung ajaran yang syumul atau komplit dan menyeluruh. Hal-hal yang ushuli dibahas tuntas, lalu untuk memperjelaskannya maka dibutuhkan petunjuk tehnisnya, yaitu melalui hadits atau sunnah Nabi Muhammad saw.
Itulah sebabnya Al Qur’an dan Sunnah disebut sebagai sumber ajaran Islam yang komplit, jelas dan konprehensif. Jika al Qur’an menggambarkan prinsip-prinsipnya, maka hadits menjelaskan hal-hal yang lengkap dan menjelaskan secara tuntas. Maka, keduanya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Untuk memperoleh penjelasan tentang bagaimana menjalankan shalat, maka mau tidak mau seseorang harus mempelajari hadits Nabi Muhammad saw.
Al Qur’an memberikan ajaran mana yang benar dan salah, makanya al Qur’an juga menjelaskan tentang sekelompok orang yang dinyatakan sebagai ashhab al yamin dan ashhab al syimal. Kelompok orang yang berada di garis kanan dan kiri. Al Qur’an memang penuh metafora. Ada banyak penggambaran tentang posisi orang per orang termasuk pada bagian yang mana.
Al ashhab al yamin tentu adalah gambaran orang yang berada di jalan Allah, orang muslim dan mukmin dan orang yang akan memperoleh kebahagiaan di kelak kemudian hari. Mereka adalah orang yang saleh, tidak hanya saleh secara ritual akan tetapi juga saleh secara sosial. Dia taat beribadah dan juga memberikan peluang untuk mengembangkan masyarakatnya ke arah yang lebih baik.
Orang yang seperti ini tidak hanya menginginkan seseorang untuk menjadi pemeluk Islam yang hanya berurusan ke atas, akan tetapi juga membangun relasi yang baik ke samping, depan, belakang dan bawah. Mereka adalah orang yang menggalang aktivisme untuk menyejahterakan masyarakatnya. Kesalehan ritual bisa saja dilakukan atas nama agama, akan tetapi tentu agak sulit menghagai orang karena factor agama, terutama agama yang berbeda.
Sedangkan yang tergolong sebagai ashhab al syimal adalah orang yang selalu ingkar kepada Allah, tidak mengindahkan moralitas agama, tidak menjalankan ajaran agamanya dan tidak mematuhi ajaran agamanya. Tentu juga orang yang tidak mau menerima hidayah Allah dengan mata batinnya. Selalu saja ditolaknya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Orang kafir, musyrik, munafik dan orang yang melakukan kedloliman terhadap sesama tentu bisa saja dikategorikan sebagai ashhab al syimal ini.
Jika orang nonmuslim tentu sudah jelas posisinya, namun terkadang ada juga orang Muslim yang melakukan tindakan memperdayakan kepada sesama manusia dengan kekuasaannya. Bisa saja seorang pejabat yang dengan semena-mena melakukan tindakan abuse of power. Kekuasaan tidak diwakafkan untuk membuat orang lain “tersenyum” akan tetapi justru digunakan untuk membuat orang lain “menangis”. Makanya, kekuasaan terkadang bisa menyelamatkan diri dan terkadang bisa membuat diri di belakang hari menderita.
Sesungguhnya Al Qur’an telah menggariskan agar kita memasuki barisan “orang yang baik”. Yaitu orang yang selalu berada di dalam koridor menjalankan amalan-amalan baik yang relevan dengan ajaran agama. Bukankah agama pasti mengajarkan akan moralitas yang baik dan menjaga harmoni di dalam kehidupan. Orang yang berbuat baik tentunya adalah orang yang selalu menjaga akal, perasaan dan hati orang lain sebagaimana dia menjaga akal, pikiran dan perasaan serta hatinya.
Jika dicubit orang sakit pastilah kala kita mencubit orang lain juga akan terasa sakit. Makanya orang baik adalah orang yang selalu mengajak orang lain tersenyum dan tertawa bukan karena terpaksa tetapi karena merasa bahagia. Kala kita tidak seperti itu, maka berarti ada yang salah di dalam diri kita. Jangan sampai terbersit perasaan senang melihat orang lain sengsara sering disingkat SMS.
Dengan demikian maka, Islam mengajarkan “jadikan tangisan berubah menjadi senyuman, dan jadikan senyuman sebagai shadaqah untuk kebahagiaan”. Allah pasti bersama orang yang seperti ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.