PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (18)
PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (18)
Al Qur’an juga disebut sebagai petunjuk atau pembeda antara yang benar dan salah. Al Qur’an itu “huda li al nasi wabayyinati min al huda wa al furqon” (Al Baqarah: 183). Sebagai petunjuk pastilah al Qur’an memiliki kualitas untuk menjadi pedoman di dalam kehidupan umat manusia, khususnya umat Islam. Di dalam ayat ini disebutnya sebagai “petunjuk bagi umat manusia, dan juga berisi penjelasan-penjelasan tentang petunjuk dan pembeda antara yang haq dan bathil”.
Sebagai petunjuk tentang agama, maka al Qur’an tentu memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana beragama itu. Al Qur’an memberikan penjelasan tentang Iman kepada Allah dan juga alam gaib lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian juga berisi tentang seluruh tata peribadahan kepada Allah dan bagaimana manusia harus hidup di dalam kehidupan dunia dengan segala konsekuensinya.
Manusia harus memiliki keyakinan bahwa hanya Allah swt yang wajib disembah dan meyakinkan dirinya bahwa tidak ada illah lain yang menyamainya atau tidak ada hal atau dzat lain yang menyerupainya. Keimanan itu harus utuh dan tidak terfragmentasi ke dalam unsur-unsur yang ada di dalamnya. Iman di dalam Islam itu merupakan satu keutuhan yang harus benar-benar menyatu.
Tuhan itu ahad. Bukan hanya sekedar wahid. Tuhan itu satu dzat, sifat dan af’al. Meskipun ada bermacam-macam sifat yang bisa dilabelkan kepada Allah, akan tetapi sesungguhnya sifatnya itu “manunggal” atau merupakan satu kesatuan. Demikian pula af’al Allah yang berdasarkan sifatnya bervariatif. Dengan demikian, sifat dan af’al Allah juga satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sama sekali tidak ada unsur yang saling berkesatuan.
Jika di dalam agama lain Tuhan bisa terdiri dari unsur yang menyatu, maka di dalam Islam hal itu tidak dikenal. Dzat, sifat dan af’al Tuhan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketiganya bukan merupakan unsur, akan tetapi merupakan kebersatuan yang utuh. Ketiganya hanya label saja untuk memberikan gambaran bahwa Tuhan pastilah memiliki dzat, sifat dan af’al, sebagaimana gambaran kita tentang sesuatu. Namun sesungguhnya Tuhan bukan sesuatu yang berlabel dengan pembagian tugas seperti itu.
Jika alam ciptaannya ini mengenal hukum pasangan, misalnya siang dan malam, lelaki dan perempuan, bumi dan langit dan seterusnya, maka sebagai pencipta alam ini, maka Tuhan itu tidak mengenal pasangan. Dia itu “laisa kamitslihi syaiun” dan “qiyamuhu binafsihi”. Dia itu sungguh berbeda dengan sesuatu lainnya dan berdiri dengan dirinya sendiri. Disebut berdiri dengan dirinya sendiri, sebab alam dengan hukum pasangannya itu saling menopang, berkaitan dan berkelanjutan. Yang lain atau makhluk itu saling bersebab akibat. Ada prima kausanya.
Coba kita perhatikan tetumbuhan, maka dia ada karena ada bumi yang menjadi pijakannya dan dia akan hidup kala ada air sebagai penyebab kehidupannya. Sama dengan manusia, untuk hidup maka manusia harus makan yang bersumber dari hewan atau tumbuhan dan keduanya bisa hidup juga karena ditopang oleh adanya bumi dan air. Itulah yang disebut bahwa Allah itu beda dengan makhluk lainnya dan berdiri dengan dirinya sendiri.
Al Qur’an memang menjadi pedoman bagi manusia untuk mengenal Tuhan lewat firman-firmannya. Berdasarkan sejarah perjalanan Nabi Muhammad saw untuk menyebarkan ajaran tauhid selama di Makkah dan beratnya tantangan untuk melaluinya, maka sesungguhnya memberikan gambaran betapa beratnya untuk menyebarkan ajaran ketauhidan tersebut. Mengubah keyakinan orang kepada yang baru bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Apalagi jika keyakinan lama itu telah memberikan privilege yang kuat. Bayangkan bagaimana posisi kaum Qurays yang telah memiliki sejumlah otoritas di dalam keyakinan lama dan kemudian akan terkikis oleh keyakinan baru meskipun itu dilakukan oleh kerabat mereka sendiri.
Jadi menurut saya mereka bukanlah ketakutan kehilangan kepercayaannya yang lama, akan tetapi ketakutan kehilangan implikasi kayakinan yang telah membangun jejaring kekuasaan yang demikian kuat.
Kepercayaan paganism yang dianut oleh masyarakat Arab Jahiliyah tidaklah memiliki kekuatan yang mendasar. Makanya jika mereka menolak sedemikian kuat terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw sesungguhnya adalah kekhawatiran akan kehilangan otoritas untuk menguasai masyarakat Arab kala itu. Itulah sebabnya dalam waktu hanya 23 tahun akhirnya dapat diubah oleh Rasulullah Muhammad saw.
Al Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw akhirnya memang menjadi pedoman bagi masyarakat Arab dan kemudian berkembang ke seluruh penjuru dunia. Al Qur’an bukan hanya menjadi pedoman di kalangan orang Arab, akan tetapi telah menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia.
Al Qur’an yang berisi ajaran untuk bertauhid, beribadah dan bermasyarakat memang menjadi kitab Suci yang paling orisinal, sehingga tidak ada keraguan sedikitpun tentang keabsahannya. Dengan demikian, turunnya Al Qur’an tentu menandai kebangkitan peradaban baru berbasis pada spirit ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an.
Jadi, sudah saatnya jika makin digalakkan berbagai program dan kegiatan yang mendukung upaya untuk memasyarakatkan Al Qur’an di dalam kehidupan. Ke depan, tidak ada kata lain kecuali pernyataan “hidupkan Al Qur’an untuk mendorong perubahan ke arah peradaban baru yang Islami”.
Wallahu a’lam bi al shawab.