DEPARTEMEN AGAMA PEDULI PENDIDIKAN
Ketika Pak Muhammad Maftuh Basyuni menjadi Menteri Agama, maka seluruh konsentrasinya digunakan untuk mengembalikan imaje Departemen Agama yang sempat terpuruk karena kasus dana haji. Seluruh perhatian dicurahkan untuk membenahi manajemen haji sehingga muncul anggapan bahwa Pak Menteri dianggap hanya mengurus haji saja. Anggapan seperti ini tampaknya wajar, sebab Pak Menteri memang memfokuskan programnya untuk melakukan perubahan total terhadap manajemen dan pelayanan haji. Meskipun masih terdapat beberapa kelemahan, sebagaimana persoalan pemondokan atau katering dan transportasi, namun secara riil bahwa Pak Menteri berhasil melakukan reformasi birokrasi perhajian.
Sesungguhnya, Departemen Agama juga sudah melakukan banyak inovasi tentang program pendidikan baik formal maupun non formal. Selama kurun waktu lima tahun terakhir ada banyak pencapaian yang dilakukan oleh Departemen Agama, misalnya tentang program inovatif yang terkait dengan dunia pesantren dan pendidikan tinggi. Salah satu yang tampak menonjol adalah program mendidik santri untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi di lembaga pendidikan tinggi umum. Ribuan santri pondok pesantren telah dikirim ke berbagai universitas atau Institut terkemukan di negeri ini. Kemudian juga program diversifikasi program-program studi baru bertaraf internasional, baik untuk MTs, MA maupun PT. Ada banyak lembaga pendidikan Islam yang memasuki jenjang perintisan lembaga pendidikan internasional.
Namun demikian, yang masih dirasakan sebagai tantangan bagi pendidikan di bawah naungan Departemen Agama adalah adanya anggapan masyarakat bahwa lembaga pendidikan agama di bawah Departemen Agama masih dianggap sebagai lembaga pendidikan klas dua. Bahkan klas tiga. Lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama masih kalah klas dibanding dengan lembaga di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Di dalam pandangan masyarakat, bahwa lembaga pendidikan klas satu adalah lembaga pendidikan negeri di bawah Depdiknas, misalnya untuk PT adalah UI, ITB, UGM, Undip, Unair, UB, ITB, IPB, ITS, dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai PT klas satu. Sementara PT klas dua adalah PTS yang terkenal seperti Universitas Bina Nusantara, UK Petra, Ubaya, Universitas Trisakti, dan sebagainya. PTAI adalah PT klas tiga. UIN, IAIN, STAIN, PTAIS dan sebagainya adalah sederet contoh PT klas tiga. Makanya, kebanggan orang tentang PTAI juga berada di urutan ketiga. Orang merasa bangga jika anaknya menjadi mahasiswa PTN ternama.
Tantangan lain adalah mengenai kualitas akademik dan kelembagaan PTAI. Orang masih menyangsikan kualitas akademik dan kelembagaan PTAI meskipun sesungguhnya kualitas PTAI juga sudah mulai membaik. Meskipun di PTAI sudah banyak guru besar, doktor dan juga master, namun demikian anggapan masyarakat terhadap kualitas akademis PTAI masih dianggap kurang. Banyaknya guru besar atau doktor belum mampu mengangkat citra PTAI ke arah yang lebih positif. Demikian pula kualitas kelembagaannya. Hingga saat ini belum ada lembaga pendidikan tinggi Islam yang memiliki ranking dunia atau yang disebut world class university.
Di sisi lain juga muncul anggapan bahwa PTAI dikelola apa adanya. PTAI tidak dikelola dengan menggunakan manajemen yang modern. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa PTAI hanya mengurus pendidikan keakheratan sehingga pengelolaannya juga apa adanya. Tidak terdapat penerapan manajemen berbasis kepuasan pelanggan, mengedepankan akuntabilitas, menjunjung tinggi transparansi. Masih ada anggapan bahwa pengelolaan PTAI tidak jauh berbeda dengan pengelolaan pesantren Salaf.
Tantangan inilah yang menjadi tanggungjawab seluruh komponen PTAI di era kepemimpinan Pak Suryadharma Ali. Untuk lima tahun ke depan, maka haruslah ada program percepatan untuk mengentas PTAI dari jurang anggapan PTAI merupakan lembaga pendidikan klas bawah. Makanya, ada sejumlah program yang mesti bersentuhan dengan pemberdayaan PTAI agar meraih status sebagai lembaga pendidikan yang berwibawa. Di antara program itu adalah pemberdayaan SDM PTAI. Pemberdayaan SDM PTAI tidak hanya agar mereka meraih pendidikan lebih tinggi, akan tetapi yang lebih penting adalah mendorong agar dosen yang sudah berpendidikan tinggi tersebut dapat mengaktualkan pemikirannya dalam perdebatan akademis yang hangat. Para dosen harus terus dan terus menulis. Makanya diperlukan sarana untuk mengekspresikan pikiran para dosen melalui berbagai fasilitas yang memang harus diadakan.
Kemudian juga diperlukan peningkatan kualitas akademik dan kelembagaan PTAI. Kualitas universitas atau institut hendaknya didorong agar selaras dengan tuntutan kualitas lembaga pendidikan tinggi modern. Tentu tidak hanya status terakreditasi yang menjadi tujuan, namun jauh dari itu. Pengakuan internasional mengenai kualitas lembaga juga diperlukan. Bahkan yang lebih penting adalah mendorong agar dalam beberapa tahun ke depan harus ada suatu PTAI yang memasuki world class universiy dalam berbagai levelnya. Untuk semua itu, maka pengembangan manajemen modern juga perlu memperoleh sentuhan yang mendasar. Sekarang sudah bukan saatnya menerapkan manajemen ”wallahu a’lam”. Yang saya maksud adalah penerapan manajemen yang hanya dipertanggungjawabkan kepada Tuhan melalui ungkapan Allah pasti lebih tahu, namun juga harus dipertanggungjawabkan secara tuntas melalui pembuktian administratif yang benar dan teruji.
Dengan demikian, tugas Pak Surya tentunya tidak hanya melanjutkan capaian prestasi pak Maftuh dalam reformasi birokrasi perhajian, namun juga melalukan pembenahan secara menyeluruh terhadap lembaga pendidikan agama. Kualitas akademis dan kelembagaan, kualitas manajemen dan pengelolaan, kualitas SDM PTAI perlu menjadi prioritas untuk lima tahun mendatang.
Wallahu a’lam bi al shawab.