GOOD GOVERNANCE, SAATNYA KINI
Dalam salah satu wawancara, Setya Novanto, Ketua Fraksi Partai Golkar menyatakan: “para menteri kabinet dituntut untuk mampu menciptakan birokrasi yang efisien dan berkualitas tinggi serta menjadikan departemen atau kementerian yang dipimpinnya bersih dari para birokrat yang korup” (Suara karya, 23/10/09).
Memang, salah satu di antara problem berat yang dihadapi oleh Menteri KIB II adalah mengenai good governance. Hal ini tentu saja terkait dengan problem utama birokrasi di Indonesia yang di masa lalu menjadi ladang KKN yang luar biasa. Dalam bidang KKN, maka birokrasi di Indonesia kira-kira menempati urutan pertama, artinya paling banyak terjadi penyimpangan. Sistem familialisme telah menjadi bagian penting di dalam sistem rekruitmen pegawai dalam rentang waktu yang sangat lama. Usianya kira-kira sama dengan lamanya pemerintahan Orde Baru.
Sesungguhnya, semenjak Orde Reformasi digulirkan, maka yang program utama di dalam sistem pemerintahan adalah melakukan reformasi birokrasi agar relevan dengan birokrasi modern. Reformasi birokrasi adalah perubahan radikal dalam sistem pemerintahan untuk mengarah kepada birokrasi modern. Perubahan tersebut terkait dengan bagaimana birokrasi dapat menjalankan perannya secara maksimal sesuai dengan kaidah birokrasi yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu sistem pemerintahan yang bersih, baik dan berdaya guna bagi peningkatan kinerjanya dan untuk mencapai tujuan. Pemerintahan yang baik diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang bertanggung jawab sejalan dengan prinsip demokrasi, efektif dan efisien, tegaknya supremasi hukum, transparansi, dan akuntabel.
Asas reformasi birokrasi yang dikenal dengan istilah prinsip good governance, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 20 UU No. 32/2004 sebagai berikut:
- Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan per-UU-an, kepatuhan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
- Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara;
- Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum daripada kepentingan individu atau kelompok dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
- Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yg benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
- Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara
- Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kompetensi, kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan per-UU-an yang berlaku.
- Asas Efektifitas, adalah asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna
- Asas Efisiensi, adalah asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pola rekruitmen calon pegawai negeri sipil (PNS) di era Orde Baru sarat dengan KKN. Akibatnya sumber daya manusia yang menjadi penyangga birokrasi di Indonesia juga dalam banyak hal tidak memenuhi persyaratan kompetisi di dalam birokrasi modern. Banyak di antara orang yang memasuki dunia birokrasi dengan cara kolusi dan nepotisme. Dan akibatnya baru dirasakan di era reformasi ketika pencanangan dan praksis reformasi birokrasi tersebut akan diterapkan.
Kendala paling besar terkait dengan implementasi reformasi birokrasi adalah ketidaksiapan para birokrat dalam mengembangkan tugas percepatan reformasi birokrasi. Dalam banyak hal, mental para birokrat adalah mental yang tidak kondusif untuk bekerja keras dan cerdas. Banyak pekerjaan yang dikerjakan tanpa memperhitungkan efektivitas dan efisiensi. Cobalah sekali waktu lakukan pengamatan terhadap kinerja para pegawai negeri. Maka akan didapati nuansa kerja yang apa adanya. Bekerja tanpa target pencapaian yang jelas dan tanpa motivasi yang kuat untuk menghasilkan produk kerja yang maksimal. Mereka memang datang ke kantor akan tetapi lebih banyak waktunya yang digunakan untuk kepentingan selain pekerjaannya. Seandainya dilakukan penghitungan secara kasar berapa jam mereka bekerja serius untuk pekerjaannya, maka kira-kira hanya tiga sampai empat jam dari yang seharusnya delapan jam. Bahkan bisa saja jauh lebih kecil.
Untuk mencapai target efisiensi dan efektivitas, maka pemerintah sudah menyelenggarakan sistem renumerasi. Jika kita inginkan dunia birokrasi kita efektif dan efisien, maka salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah melalui pengarusutamaan program sistem renumerasi. Secara lambat tetapi pasti akan didapati beberapa struktur yang dianggap tidak penting atau mungkin juga ada pegawai yang tidak efisien, maka konsekuensinya adalah tidak mengisi formasi baru untuk struktur dimaksud. Jika diperlukan maka dapat dilakukan percepatan penghapusan struktur yang dianggap tidak perlu.
Makanya, tugas Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, E.E. Mangindaan, sungguh berat berhadapan dengan realitas lapangan bahwa kebanyakan pegawai negeri di Indonesia memang tidak kompetitif dalam menghadapi dunia global yang membutuhkan kemampuan profesional dan kompetitif. Jadi, dalam lima tahun ke depan, rasanya belum akan ada perubahan signifikan di bidang reformasi birokrasi jika tidak dilakukan langkah percepatan untuk menata sistem birokrasi melalui renumerasi secara tuntas.
Undang-undang tentang reformasi birokrasi juga hanya akan menjadi macan kertas jika tidak dilakukan percepatan untuk menerapkan prinsip reformasi birokrasi secara tuntas dan berani.
Wallahu a’lam bi al shawab.