EKONOMI KERAKYATAN, APA KABAR?
Ketika Pak Boediono mencalonkan diri menjadi pendamping Pak SBY, maka lawan-lawan politiknya menyerang melalui pernyataan bahwa Pak Boed, demikian orang memanggilnya, akan kembali mengembangkan sistem ekonomi Neo Liberal, yang salah satunya ditandai dengan mengemukanya sistem kapitalisme dalam sistem perekonomian di Indonesia. Liberalisme atau Neo Liberalisme hakikatnya sama yaitu penguatan akumulasi modal untuk pertumbuhan. Strategi pertumbuhan ekonomi pernah menjadi titik tekan dalam pengembangan ekonomi di Indonesia. Meskipun pertumbuhan ekonomi pernah mencapai angka ideal, sayangnya bahwa pertumbuhan itu menjadi hancur seirama dengan krisis ekonomi yang mendera dunia. Dampak krisis ekonomi tersebut hingga sekarang masih dirasakan oleh banyak negara, khususnya di negara-negara berkembang.
Kapitalisme memang pernah menjadi arus utama sistem perekonomian dunia. Melalui sistem pertumbuhan yang tinggi, maka negara-negara barat menjadi sangat diuntungkan. Sampai kemudian di akhir tahun 2000-an, maka dunia kapitalisme dikejutkan dengan rontoknya beberapa perusahaan besar keuangan di Amerika, Inggris dan juga negara barat lainnya, sehingga sistem ini pun kemudian dipertanyakan kesaktiannya. Khusus di Indonesia sebenarnya, sistem pertumbuhan sudah tidak lagi dipercaya seirama dengan hancurnya pondasi ekonomi di awal tahun 2000-an. Waktu itu lalu orang mendemontrasikan yang disebut dengan “ekonomi kerakyatan” yang dalam anggapan sekelompok orang tersebut akan dapat menjadi penyelamat ekonomi Indonesia.
Ekonomi kerakyatan lalu menjadi mainstream dalam praksis perkembangan sistem ekonomi di Indonesia. Di saat itu orang mempertanyakan kesahihan sistem kapitalisme, sistem developmentalisme, sistem pertumbuhan dan sebagainya. Ada anggapan bahwa berbagai sistem tersebut ternyata tidak manjadikan masyarakat menjadi sejahtera. Sistem itu hanya menguntungkan sebagian kecil rakyat Indonesia. Trickle down effect yang digadang-gadang akan terjadi ternyata tidak sama sekali. Jurang yang kaya dan miskin juga semakin menganga. Maka, para pakar lalu mengamini bahwa perlu ada perubahan dalam arah pengembangan perekonomian di Indonesia. Sistem itu ialah ekonomi kerakyatan. Tetapi sistem ini juga semakin tidak ada kabarnya setelah kira-kira sepuluh tahun perjalanan reformasi bangsa ini.
Makanya, Pak Boed ketika diserang oleh lawan politiknya hanya mengatakan: bahwa: “sistem apapun dan dengan nama apapun, yang penting adalah rakyat sejahtera”. Ya, nama dan sistem apapun tidak penting, sebab yang penting adalah rakyat bisa merasakan kesejahteraan yang jauh lebih baik. Dalam bahasanya Pak Muhammad Noer, mantan Gubernur Jawa Timur: “wong cilik iso melu gumuyu”. Rakyat kecil yang jumlahnya sangat besar di Indonesia memang merupakan kelompok yang belum diuntungkan dalam kurun waktu kemerdekaan bangsa ini. Uang hanya mengalir di kota besar, orang kaya, kelompok elit bangsa dan belum bergulir atau muncrat kepada kaum miskin di negei ini.
Kiranya yang dibutuhkan adalah orang yang seperti Muhammad Yunus yang mendirikan Grameen Bank. Banknya kaum miskin di pedesaan. Yunus yang alumni pendidikan ekonomi barat yang kapitalistis dan dosen yang mengajarkan teori-teori ekonomi barat itupun kemudian melihat realilitas masyarakatnya yang ternyata tidak relevan dengan teori-teori yang diperolehnya dari barat. Ada semacam lack of culture antara apa yang diajarkan di lembaga pendidikan dengan kenyataan di masyarakat.
Muhammad Yunus kemudian mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang sangat sederhana, tidak berdasar atas teori yang sophisticated, tidak menggunakan konsep-konsep yang abstrak, tetapi back to the reality. Rakyat perlu diberdayakan ekonominya agar kesejahteraan bisa didapatkannya. Melalui Bank yang didirikannya maka Yunus bisa membuat masyarakat yang doing nothing menjadi doing something. Yunus berhasil mengangkat masyarakat pedesaan Bangladesh yang selama ini terjerat dengan bank titil menjadi tidak lagi tergantung kepada bank titil. Bahkan yang lebih penting adalah masyarakat bisa mengakses usaha untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Di era KIB II, Hatta Radjasa menjabat sebagai Menko Perekonomian, yang tugasnya adalah mengkoordinir Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, dan Menteri Perindustrian M.S. Hidayat tampaknya masih akan mengembangkan sistem pertumbuhan, sehingga adopsi pola pengembangan ekonomi berbasis rakyat belumlah memperoleh ruang pengembangan yang memadai. Arah pengembangan perekonomian yang pro rakyat tampaknya masih menjadi tanda tanya. Kiranya, di Indonesia diperlukan orang seperti Muhammad Yunus agar kebijakan ekonomi pro rakyat akan dapat dilaksanakan.
Wallahu a’lam bi al shawab.