TANTANGAN KIB II
Bersamaan dengan pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, maka sejumlah pemuda dan mahasiswa di Maluku melakukan demonstrasi untuk mengungkapkan kekecewaannya, karena tidak satupun menteri dalam KIB yang berasal dari daerah tersebut. Mereka mendatangi Kantor Gubernur Maluku. Aksi ini merupakan kelanjutan dari aksi yang pernah dilakukan oleh pengurus DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di gedung DPRD Maluku, 20/10/09 lalu. Mereka sempat menyegel kantor DPRD. Target unjuk rasa pemuda dan mahasiswa tersebut, sebenarnya adalah memblokade penerbangan dari dan ke Ambon. Karena gagal demonstrasi di bandara, maka mereka pindah ke kantor Gubernur Maluku. Para pemuda dan mahasiswa tersebut berasal dari HMI, IMM, GMNI, GMKI, PMII, PMKRI, BEM IAN dan STAKPN. Yang ironis bahwa ada tuntutan agar Maluku melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (JP, 23/10/09).
Maluku dalam sejarah Indonesia modern memang terkenal sebagai wilayah yang ”agak” bermasalah, sebagaimana Papua dan Aceh. Jika di Papua ada Gerakan Papua Merdeka, di Aceh ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka di Maluku terkenal dengan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), yang hingga kini masih menyisakan masalah. Meskipun sudah agak sayup-sayup, tetapi sekali waktu masih terdengar suara gerakan ini muncul ke permukaan. Pengibaran bendera RMS masih juga terjadi, meskipun frekuensinya semakin menurun.
Bukannya saya berkesimpulan bahwa ada korelasi antara gerakan unjuk rasa pemuda dan mahasiswa dengan RMS atau lainnya, namun perlu saya tegaskan bahwa di Maluku memang masih ada masalah kebangsaan yang harus diselesaikan dengan pendekatan yang lebih arif. Tentu semua masyarakat Indonesia menginginkan agar seluruh komponen bangsa ini menjaga dengan kekuatan utuh untuk NKRI. Kebesaran dan kewibawaan bangsa ini adalah karena kemampuannya untuk bertahan dengan persatuan dan kesatuan bangsa, yaitu satu nusa, bahasa dan bangsa Indonesia melalui wadah NKRI.
Makanya, ketika sejumlah pemuda dan mahasiswa berunjuk rasa dengan tuntutan keinginan melepaskan diri dari NKRI, maka hal ini harus menjadi perhatian penuh. Saya memiliki kekhawatiran bahwa bukan hanya anak-anak muda di Ambon yang seperti itu, akan tetapi banyak pemuda yang sudah tidak lagi berpandangan pentingnya NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945. Hasil survey tentang pandangan para pemuda mengenai Pancasila beberapa waktu yang lalu tentu bisa menjadi sinyal bahwa ada perubahan mindset di kalangan anak muda tentang Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Sinyal inilah yang harus ditangkap. Jadi bukan unjuk rasa di gedung DPRD Maluku, akan tetap makna dibalik fenomena tersebut perlu diungkapkan secara cermat dan lebih luas. Benarkah bahwa desakralisasi pandangan hidup bangsa mulai terkikis sedemikian rupa pasca reformasi. Benarkah bahwa ideologi bangsa tersebut sudah menjadi ideologi yang ”kuno” dan tidak mampu lagi menjadi penyangga beban berat perubahan sosial yang semakin cepat. Benarkah bahwa ideologi lain jauh lebih menarik bagi sejumlah pemuda Indonesia terutama kalangan mahasiswa dan terdapat keinginan kuat untuk merealisasikannya. Sejumlah pertanyaan mendasar seperti ini, bukan mustahil sudah menjadi kenyataan di sebagian masyarakat kita.
Selama orde reformasi memang ada kecenderungan untuk agak ”melupakan” aspek ideologi bangsa. Hingar bingar reformasi menjadikan perbincangan tentang ideologi negara sedikit mengendor. Tetapi di sisi lain ada proses untuk berkembang dengan sangat cepat ideologi lain, seperti yang sering dikonsepsikan ”ideologi trans-nasional”. Makanya, di tengah arus pertarungan ideologi-ideologi yang sesungguhnya secara diam-diam terjadi ini, rasanya menjadi penting untuk membangun kembali ideologi nasional yang selama ini dianggap tidak berwibawa.
Para menteri KIB II, tentu sudah memiliki sejumlah referensi tentang geopolitis negeri ini. Aceh, Papua, Maluku dan wilayah lain yang memiliki potensi untuk menjadi ”masalah” terkait dengan NKRI. Namun demikian yang jauh lebih penting adalah mencermati terhadap masalah ”desakralisasi” ideologi bangsa yang sedang terjadi di hampir seluruh wilayah geopolitis bangsa ini. Jika saya boleh menyatakan bahwa dewasa ini sedang terjadi ”perlawanan” diam-diam dari sejumlah anak bangsa terhadap bangsanya sendiri. Itulah sebabnya maka tugas Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga, Andi Mallarangeng, bukan hanya meningkatkan prestasi sepak bola yang selalu jeblok di kawasan Asia Tenggara, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah mencermati dan kemudian membuat sejumlah affirmative action untuk mengembalikan para pemuda ke jalur yang relevan dengan tujuan didirikannya bangsa ini.
Menpora, harus membangun kembali citra pemuda Indonesia sebagai pelopor bangsa, sebagai penerus bangsa dan harapan bangsa Indonesia, berdasar atas Pancasila, UUD 1945 dalam wadah NKRI. Terus terang, di tangan kaum mudalah persatuan dan kesatuan bangsa ini dipertaruhkan di masa yang akan datang. Jika tidak dimanej secara memadai saya khawatir bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang terjerembab di dalam pertarungan ideologi yang seharusnya sudah tidak dipertentangkan lagi.
Wallahu a’lam bi al shawab.