MENANTI KINERJA MENTERI BARU
Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sudah dilantik kemarin, 22-10-2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ada menteri yang diangkat kembali dan ada muka baru. Tetapi sesungguhnya semuanya sudah memiliki pengalaman yang cukup baik dalam institusi sosial, politik, dan budaya, militer, pendidikan, ekonomi dan agama. Semuanya merupakan orang yang sudah mendarmabaktikan sebagian kehidupannya di dalam berbagai organisasi yang sangat variatif. Dari sebanyak 34 menteri, maka sebagian besar adalah politisi dan sebagian lainnya para profesional.
Memang tidak mudah untuk memilih menteri tersebut. Perlu harus dilakukan seleksi yang sangat ketat agar memperoleh orang yang tepat. Meskipun memilih menteri merupakan hak prerogatif presiden, namun ternyata tekanan dari partai politik dan juga masyarakat juga luar biasa. Sebagai presiden yang didukung oleh koalisi partai, maka juga harus mengakomodasi kepentingan partai. Bahkan lebih jauh juga harus mempertimbangkan jumlah keterwakilan partai di dalam kabinet. Makanya, PKS lalu memperoleh empat menteri, PPP memperoleh tiga menteri, PKB dua menteri dan Golkar yang semula tidak ikut koalisi namun terakhir bersedia kompromi, maka diberilah jatah tiga menteri. Baru selebihnya, presiden mempertimbangkan aspek profesionalitas seseorang dalam jabatan menteri.
Para menteri yang terpilih itu tentunya tidak bisa tinggal diam. Sejumlah masalah sudah berada di pelupuk mata. Jika diambil satu saja yang paling mendasar, terutama yang terkait dengan indeks pengembangan manusia (IPM), maka terdapat tantangan yang luar biasa. Seperti diketahui bahwa untuk mengukur IPM selalu dilihat dari kemajuan tiga indikator dasar, yaitu pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan. Disebabkan oleh jebloknya tiga indikator utama ini, maka posisi IPM Indonesia selalu berada di bawah angka 100 dari sebanyak 173 negara di dunia. Tahun 2008 berada di peringkat 108 dunia. Artinya secara kualitatif bisa dinyatakan bahwa IPM Indonesia hanya menang melawan Timor Leste, Papua Nugini dan Birma. Berada jauh di bawah Singapura, Bruinei, Malaysia, bahkan Filipina.
Problema pendidikan merupakan tantangan yang tidak mudah diselesaikan. Jika diambil contoh Jawa Timur, maka lama orang Jawa Timur untuk mengikuti pendidikan baru setara lulusan SD plus atau rata-rata 6,5 tahun. Jadi untuk melangkah ke program wajar pendidikan 12 tahun tentunya harus melalui perjuangan yang ekstra keras. Memang tidak mudah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia dari aspek pendidikan. Jumlah manusia Indonesia yang sangat banyak tentu saja akan menyulitkan dalam pemerataan pendidikan.
Anggaran pendidikan memang sudah mencapai angka maksimal, 20% dari total APBN, namun pemanfaatannya masih mengalami kendala efisiensi, efektivitas dan pemerataan. Banyak program yang diberikan hanya kepada sekelompok lembaga yang memiliki kepentingan yang sama. Program pendidikan yang menyentuh kepada kepentingan rakyat secara menyeluruh belum dilaksanakan. Misalnya bagaimana mengentas buta huruf di kalangan masyarakat dan juga prioritas program pemberdayaan pendidikan untuk daerah tertinggal dan miskin.
Tugas menteri pendidikan yang baru adalah bagaimana agar anggaran pendidikan tersebut tepat sasaran, efektif, efisien dan merata kepada seluruh stake holder pendidikan. Empat tahun yang baru lalu, dihasilkan suatu torehan monumental, yaitu disahkannya anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari APBN, selain juga dihasilkan produk-produk hukum di bidang pendidikan, seperti UU Guru dan Dosen. Melalui tonggak kelahiran peraturan ini maka sertifikasi guru dan dosen sebagai wahana untuk memberikan reward setaraf lebih baik kepada guru dan dosen sudah dapat dilaksanakan. Para guru dan dosen sebagian sudah menikmati tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan. Torehan prestasi ini akan menjadi kurang bermanfaat jika tidak kemudian diikuti dengan pencermatan anggaran 20% dari APBN untuk kepentingan pemberdayaan pendidikan.
Tugas menteri pendidikan Nasional, Pak Muhammad Nuh, adalah bagaimana merumuskan kebijakan pendidikan yang pro rakyat, selain yang pro institusi. Pemberdayaan institusi pendidikan sangat penting namun demikian alokasi untuk pemberdayaan pendidikan rakyat juga sangat mendasar. Di dalam kerangka ini, maka harus ada pencermatan terhadap dunia pendidikan terutama di daerah tertinggal. Tampak bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat kemiskinan dengan tingkat pendidikan, artinya semakin miskin masyarakat maka semakin cenderung rendah pendidikannya. Maka, untuk mengurai benang kusut ekonomi dan pendidikan harus secara integral.
Menteri, tentu memiliki otoritas politik anggaran. Melalui kewenangan tersebut, maka seorang menteri akan dapat merumuskan kebijakan yang terkait dengan bagaimana memberdayakan pendidikan masyarakat secara makro, selain pemberdayaan institusi pendidikan. Jika ini dilakukan maka dalam tiga sampai tahun ke depan, kualitas pendidikan di Indonesia akan jauh lebih baik. Jangan sampai kualitas pendidikan kita selalu kalah dari negara-negara tetangga, yang dahulu pernah belajar kepada kita tentang pemberdayaan pendidikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.