KALEIDOSKOP KEMENTERIAN AGAMA 2015 (2)
Saya akan melanjutkan tulisan saya kemarin terkait dengan Kaleidoskop Kementerian Agama (Kemenag) 2015 dalam acara Ensikla (Ensiklopedia dan Klasika) yang diselenggarakan oleh Kompas TV. Tulisan ini merupakan jawaban atas beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh Permatasari Harahap, host acara Ensikla.
Kedua, beberapa kendala di dalam pelaksanaan program unggulan Kemenag. Sebagaimana diketahui bahwa satker Kemenag itu luar biasa banyaknya. Jika di Kementerian/lembaga lainnya terkadang ada yang satkernya kurang dari sepuluh, maka di Kemenag terdapat sebanyak 4484 satker. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat koordinasi dan komunikasi yang harus dibangun dengan satker sebanyak itu. Tentu lebih sulit dibanding dengan yang satkernya hanya sedikit. Oleh karena itu, kendala atau hambatan yang dirasakan adalah bagaimana menyebarkan gagasan atau program yang lalu bisa ditangkap oleh seluruh satker dengan jumlah yang sangat banyak tersebut.
Misalnya, di dalam sosialisasi terhadap lima nilai budaya kerja, maka tentu membutuhkan ruang dan waktu yang cukup panjang. Mata rantainya adalah dari pusat ke daerah. Dari pejabat eselon satu sampai ke pejabat eselon empat di daerah dan dari pejabat structural dan fungsional di pusat lalu ke daerah. Makanya, problem sosialisasi untuk membangun integritas melalui lima nilai budaya kerja tentu bukanlah sesuatu yang gampang untuk diselesaikan.
Namun demikian kita merasa bergembira, sebab hampir seluruh satker Kemenag telah memiliki kesadaran untuk memahami mengenai lima nilai budaya kerja ini. Hampir di seluruh kantor Kemenag didapati pencanangan lima nilai budaya kerja, makanya kita berharap bahwa pada tahun 2016 akan didapati implementasi lima nilai budaya kerja yang makin baik.
Yang masih menjadi tantangan Kemenag adalah mengenai kerukunan umat beragama. Kita merasakan bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian yang sangat dinamis di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Begitu dinamisnya, maka sering kali kita lebih bersikap responsive ketimbang proaktif di dalam persoalan kerukunan umat beragama. Kita tidak pernah membayangkan tiba-tiba muncul masalah Tolikara, dan tidak kita bayangkan tiba-tiba muncul persoalan Singkil dan sebagainya.
Akan tetapi, manakala terjadi masalah kerukunan umat beragama lalu dengan cepat bisa kita atasi. Kita tidak menginginkan masalah yang sesungguhnya sangat lokal itu lalu menjadi masalah nasional atau internasional. Dalam kasus Tolikara, maka sesegera mungkin kita terjunkah tim fact finding, lalu dengan cepat kita kerjasama dengan berbagai lembaga/kementerian untuk penyelesaian persoalan dimaksud.
Aparat Kemenag di daerah kita minta untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah di daerah, seperti pemerintah daerah Kabupaten, Kepolisian, ABRI, para tokoh agama untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan ini. Sedangkan di pusat kita lakukan koordinasi dengan Menkopolhukam, Kemensos, dan kementerian lain untuk menemukan solusi yang memadai. Berkat kesigapan kita semua, masalah Tolikara segera bisa diselesaikan dengan baik.
Kita juga memiliki perangkat structural terkait dengan bagaimana membangun kerukunan umat beragama, seperti kehadiran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang di dalamnya merupakan kumpulan dari Majelis Agama-Agama. FKUB ini menyebar di seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Lalu di pusat juga terdapat Forum Koordinasi Penyelesaian Masalah Kerukunan Umat Beragama, yang merupakan kumpulan dari berbagai instansi pemerintah, yaitu Kemenag, Kemendagri, Kemenkumham, Kemendikbud, Kemensos, Kemenkoinfo, BIN, Kejaksanaan, Kepolisian, dan sebagainya. Forum ini dapat dijadikan sebagai ajang untuk membangun kesepahaman mengenai penyelesaian masalah beragama.
Yang juga sering menjadi pemicu persoalan adalah mengenai mendirikan tempat ibadah. Masih ada beberapa persoalan terkait dengan mendirikan tempat ibadah di berbagai daerah. Bisa saja kesulitan mendirikan gereja, masjid atau lainnya. Berbagai problema ini yang kiranya memerlukan penyelesaian yang memadai sehingga ke depan tidak ada lagi hambatan atau masalah yang terkait dengan mendirikan tempat ibadah ini. Masyarakat sering salah menilai bahwa yang sulit hanya membangun gereja, padahal membangun masjid dan rumah ibadah lainnya juga mengalami kesulitan kala rumah ibadah tersebut didirikan oleh kelompok minoritas.
Mengenai pelayanan Haji kita sudah bisa bersyukur, sebab terdapat kenaikan yang signifikan terhadap pelayanan jamaah haji kita. Hanya yang menjadi problem adalah bagaimana memberikan layanan umrah yang lebih baik. Itulah sebabnya pada tahun 2016 akan diberlakukan penambahan satu direktorat yang khusus menangani umrah, yaitu Direktorat Penyelenggaraan Umrah. Direktorat ini akan mengurusi persoalan regulasi, dan pengawasan, sedangkan penyelenggaraan umrah tetap akan diselenggarakan oleh masyarakat. Dengan demikian tidak perlu ada kekhawatiran bahwa pemerintah akan mengambil alih penyelenggaraan umrah. Melalui direktorat ini, maka penyelewengan dan penyalahgunaan penyelenggaraan umrah akan bisa diselesaikan. Yang diharapkan agar masyarakat berada di dalam kepastian untuk melaksanakan umrah. Sudah dicanangkan Lima Pasti Umrah, yaitu kepastian biro travelnya, pasti paspornya, pasti visanya, pasti hotelnya, dan pasti berangkatnya.
Ke depan tentu kita harapkan bahwa kehadiran Kemenag semakin dirasakan oleh masyarakat dan hal itu akan dapat diketahui dari bagaimana integritas dibangun, bagaimana pelayanan KUA makin bersih dan melayani, bagaimana pelayanan haji makin transparan dan akuntabel, bagaimana reformasi birokrasi digalakkan dan yang sangat mendasar adalah bagaimana kerukunan umat beragama makin baik.
Kita selalu mengharap bahwa Indonesia menjadi laboratorium kerukunan umat beragama. Jika ada orang bertanya, di mana contoh kerukunan umat beragama mewujud, maka jawabannya “Lihatlah Indonesia”.
Wallahu a’lam bi al shawab