MENAKAR PERAN NEGARA DALAM IMPLEMENTASI ZAKAT (2)
Agak lama jarak antara penulisan pertama mengenai tema ini dengan tema kedua disebabkan oleh beberapa faktor. Tentu saja saya tidak akan membahas tentang faktor penyebab lamanya jarak tersebut, tetapi saya akan fokus membahas tentang solusi problem implementasi zakat dimaksud, agar korelasi antara tulisan pertama dan kedua segera akan bisa dipahami.
Terhadap problem pertama, saya berpikir bahwa rendahnya kesadaran untuk membayar zakat melalui lembaga resmi yang dibentuk oleh pemerintah, sesungguhnya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang mekanisme pembayaran zakat melalui lembaga yang dibentuk oleh pemerintah. Jumlah umat Islam yang demikian banyak belum seluruhnya tersentuh oleh sosialisasi implementasi zakat melalui lembaga-lembaga resmi ini.
BAZ dan LAZ belum menjadi destinasi orang membayar zakat. Orang masih lebih suka untuk membayar zakat melalui pribadi (tokoh-tokoh agama) atau lembaga-lembaga tidak resmi di sekutar rumahnya. Melalui pembayaran zakat seperti ini, maka mereka mengetahui secara langsung kepada siapa zakat tersebut didistribusikan dan kapan didistribusikannya.
Rasanya memang ada problem trust yang masih cukup kental di kalangan masyarakat. Public trust inilah yang masih menjadi ganjalan di dalam implementasi UU No 25 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Saya kira peran negara perlu diaktifkan terkait dengan implementasi zakat ini melalui para aparat Kementerian Agama bekerja sama dengan para tokoh agama dan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Saya menduga bahwa keterlibatan Kakankemanag Kabupaten/kota serta kepala KUA di daerah-daerah untuk sosialisasi implementasi zakat masih belum terjadi secara maksimal.
Mengenai sosialisasi implementasi UU No 25 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di masjid-masjid, pertemuan organisasi keagamaan, seperti “laylatul Ijtima’ di NU atau forum-forum pertemuan di organisasi sosial keagamaan lainnya. Rasanya perlu desain khusus mengenai komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dapat digunakan sebagai instrument untuk menyelenggarakan kegiatan sosialisasi mengenai regulasi ini.
Saya yakin bahwa problemnya adalah mengenai anggaran yang minim sehingga pendesainan program ini agar lebih massif atau menjangkau terhadap masyarakat secara lebih luas agak sulit dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan anggaran yang cukup di dalam kerangka mempersiapkan KIE yang lebih berdaya guna. Saya kira Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam perlu untuk melakukan pemetaan anggaran dan juga merumuskan teknik KIE dimaksud dalam kerjasamanya dengan BAZ dan LAZ.
Keberhasilan program KIE sangat tergantung kepada agen-agen dan konten sosialisasi. Makanya, keberadaan agen-agen yang akan membawakan peran sebagai sosialisator haruslah mereka yang teruji untuk kepentingan membangun komunikasi yang efektif dan efisien. Selain komunikator yang bagus juga konten juga harus bagus, sehingga desain konten yang baik akan mempengaruhi terhadap audience kita.
Program sosialisasi ini tentu harus mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Pemerintah daerah sangat penting untuk dilibatkan di dalam aktivitas ini. Demikian pula para ulama yang memiliki pengaruh di masyarakat. Mereka adalah orang yang memiliki kewenangan spiritual terkait dengan agama dan masyarakat. Hampir tidak ada yang menggugat mengenai pengaruh ini. Jika kita mengkaca pada program Keluarga Berencana, maka keterlibatan para Kyai tentu menjadi variabel utama keberhasilan program ini. Maka tidak salah jika pada masa itu, pemerintah daerah menggandeng para ulama untuk menjadi agen bagi kesuksesan program Keluarga Berencana. Kita tidak bisa membayangkan bahwa tanpa program Keluarga Berencana, maka jumlah penduduk Indonesia tentu akan jauh lebih besar jumlahnya sekarang ini.
Di dalam kerangka membangun trust masyarakat, maka bisa kiranya didesain program yang memang memiliki kaitan langsung dengan masyarakat. Misalnya zakat dari wilayah tertentu, maka konsekuensinya adalah dikembalikan berapapun besarnya untuk wilayah tersebut. Mungkin zona kecamatan bisa menjadi ukuran terkecil wilayah pengembalian zakat bagi masyarakat. LAZ atau BAZ di Kabupaten harus memiliki data yang kuat di dalam pengelolaan zakat ini. Dengan demikian, maka program Zakat Request (ZR) akan bisa dikembalikan ke daerah tersebut melalui program yang nyata dan bukan konsumtif. Misalnya Program Bedah Rumah Zakat (PBRZ), atau Beasiswa Pendidikan Rumah Zakat (BPRZ) atau program lain yang relevan dengan pengembangam zakat.
Yang tidak kalah menarik adalah tentang pemberdayaan masyarakat. Melalui basis Zakat Request (ZR), maka zakat juga dikembalikan kepada masyarakat untuk tujuan pemberdayaan ekonomi. Program Zakat Usaha Mikro (PZUM) untuk para pengusaha kecil dengan memperkenalkan pada perbankan syariah dan produsen langsung, maka mereka akan memiliki akses untuk bisa berkembang. Dengan demikian, maka program pengelolaan zakat akan dirasakan oleh masyarakat secara berkelanjutan.
Desain-desain program unggulan harus terus diupayakan di dalam penguatan public trust. Hal ini dilakukan semata-mata agar masyarakat mempercayai bahwa zakat yang dikelola oleh negara atau lembaga swasta yang dipercayainya ternyata memang benar untuk kepentingan masyarakat.
Gerakan Nasional Pembayaran Zakat (GNPZ), saya kira merupakan program strategis yang akan membawa kemanfaatan zakat ke depan. Saya kira semuanya harus mendukung program ini, sehingga zakat akan dapat menjadi alternative untuk pembangunan masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.