GERAKAN NASIONAL REVOLUSI MENTAL (4)
GERAKAN NASIONAL REVOLUSI MENTAL (4)
Saya merasa bahwa Revolusi Mental adalah bagian dari upaya untuk melakukan reformasi birokrasi dalam konteks yang lebih luas. Reformasi birokrasi yang sudah ditabuh genderangnya semenjak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memang telah menempatkan upaya untuk melakukan pembenahan mentalitas bagi para aparat pemerintah di dalam pelayanan kepada masyarakat.
Aparat pemerintah memang layak untuk memperoleh “peringatan” di tengah isu untuk memberikan pelayanan yang lebih baik pada masyarakat. Ada semacam gambaran bahwa kebanyakan aparat pemerintah bermental dilayani dan bukan melayani. Padahal sebenarnya, aparat pemerintahlah yang posisinya justru memberikan pelayanan dan bukan sebaliknya.
Selain problem mentalitas ini, juga terdapat problem keterlambatan di dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pelayanan yang lamban sering menjadi keluhan dari masyarakat. Bahkan yang lebih mendasar kala pelayanan tersebut berbasis pada nepotisme dan uang. Sudah menjadi “rahasia” umum bahwa pelayanan aparat kita itu tergantung pada ada atau tidaknya pelican. Jika ada pelicinnya, maka lancar dan jika tidak ada memakai prosedur yang rumit.
Problem lain yang tidak kalah penting adalah birokrasi yang gemuk. Seharusnya birokrasi itu ramping tetapi kaya fungsi. Di birokrasi kita –tentu karena persoalan tenaga kerja—yang terjadi adalah birokrasi yang gemuk sehingga lamban dan tidak optimal. Bahkan juga redistribusi pegawai yang tidak merata. Di satu sisi kekurangan akan tetapi di tampat lain kelebihan. Dan rumitnya, mereka sangat sulit untuk dipindahkan terkait dengan keluarga, tempat dan juga jenis pekerjaannya.
Problem inilah yang semenjak tahun 2000-an memperoleh perhatian luar biasa dari pemerintah kita, sehingga dilakukan gerakan reformasi birokrasi yang terus digalakkan hingga sekarang. Meskipun belum maksimal tentu reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Kementerian/lembaga mulai bergerak ke arah yang lebih positif.
Melalui ukuran-ukuran performance kinerja yang terukur, misalnya dengan menggunakan Balance Scored Card, maka dapat diketahui bagaimana tingkat perkembangan kinerja para aparat Kementerian/Lembaga di dalam mengusung reformasi birokrasi. Dengan menggunakan ukuran yang eksak, tersebut, maka diketahui bahwa kekuatan performance kinerja Kementerian Agama sebesar 62 persen.
Sesungguhnya yang ingin diusung oleh Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah keinginan untuk menjadi bangsa yang memiliki kemandirian, khususnya kemandirian di dalam menghadapi modernisasi dan kehidupan global. Bangsa yang memiliki cara pandang yang positif dalam menghadapi tantangan zaman. Era modern dan global hanya akan bisa dihadapi dengan mental yang kuat, yang memiliki integritas, kerja keras dan semangat gotong royong.
Nilai yang harus diusung oleh setiap warga Negara Indonesia –khususnya Aparat Sipil Negara—adalah integritas, etos kerja dan gotong royong. Orang yang memiliki integritas ditandai dengan kejujuran, berkarakter, dan bertanggungjawab. Sedangkan orang yang memiliki etos kerja ditandai dengan kemampuan bekerja keras, memiliki daya saing, inovatif dan produktif. Sementara itu sikap gotong royong ditandai dengan kemampuan bekerja sama, solidaritas yang tinggi, berpikir komunal dan berorientasi pada kemaslahatan.
Pertanyaan dasarnya adalah apakah ASN kita bisa melakukannya dan bagaimana cara melakukannya? Terkait dengan pertanyaan ini, maka ada beberapa hal yang harus dijawab: pertama, implementasikan lima nilai budaya kerja di dalam Kemenag. Implementasi lima nilai budaya kerja tentu menjadi dasar di dalam melaksanakan program dan kegiatan di Kemenag. Nilai-nilai yang tercantum di dalamnya sarat dan relevan dengan tiga aspek dari Revolusi Mental, yaitu integritas, etos kerja dan gotong royong.
Melalui tunjangan kinerja (tukin), maka sesungguhnya setiap kementerian/lembaga (K/L) sudah berusaha secara maksimal untuk memperbaiki keinerjanya. Meskipun berdasarkan penilaian dari Kemenpan/RB bahwa upaya yang dilakukan tersebut ada yang belum memenuhi standart kualifikasi reformasi birokrasi, akan tetapi nyaris seluruh K/L sudah berupaya untuk perbaikan kinerjanya.
Kedua, yang perlu digenjot adalah mengenai public trust. Makanya integritas menjadi panduan utama di dalam gerakan Revolusi Mental. Namun senyatanya, K/L sudah merumuskan tentang Pakta Integritas (PI), menetapkan percontohan mengenai Zona Integritas (ZI), menerapkan Whistleblowing System, dan sebagainya. Artinya, bahwa K/L sudah berupaya secara regulative agar ASN-nya menepati janjinya sebagai ASN yang jujur dan berkomitmen pada kebenaran.
Oleh karena itu, nilai integritas sebagaimana dicanangkan oleh Kemenag menjadi penting untuk terus digerakkan percepatannya.
Ketiga, membangun kesadaran bekerjasama. Salah satu penyakit yang diderita oleh birokrasi kita adalah rendahnya kesadaran akan pentingnya kerja sama sebagai sarana untuk memajukan lembaga atau instansi pemerintah. Melalui kerja sama yang baik, maka kita akan sampai kepada keyakinan bahwa hal-hal yang tidak bisa diselesaikan akan bisa dituntaskan.
Melalui Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), maka akan dapat membentuk mental baru ASN, sehingga ke depan akan didapatkan profile kinerja yang jauh lebih baik dibanding masa yang lalu dan sekarang.
Sungguh masyarakat berharap bahwa melalui perbaikan mentalitas para ASN maka rakyat akan dapat memperoleh pelayanan yang lebih baik di dalam banyak hal. Pastikan bahwa kita semua telah berubah lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.