GERAKAN NASIONAL REVOLUSI MENTAL (1)
GERAKAN NASIONAL REVOLUSI MENTAL (1)
Sebagaimana kata “pembangunan” yang menjadi idiom di Era Pemerintahan Soeharto atau Era Orde Baru, maka di Era Pak Presiden Joko Widodo, maka suatu terma yang menjadi ikonnya adalah “Revolusi Mental”. Kata ini menjadi idiom baru di tengah arus reformasi birokrasi yang sesungguhnya sudah dimulai di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa saat yang lalu.
Kata Revolusi Mental diungkapkan pertama kali oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963. Jika merujuk pada tahunnya, tentu tahun itu adalah tahun gejolak politik kebangsaan yang luar biasa. Di era di mana pertarungan ideologi menjadi luar biasa kuat. Pertarungan ideologi antara Islam, Komunisme dan Nasionalisme. Islam dan Nasionalisme tentu bisa menyatu, akan tetapi Islam dan Komunisme memang dua hal yang sangat berbeda.
Hari Senin, 09/11/2015 diselenggarakan acara pertemuan antara pejabat Kementerian Agama dengan Kemenko Pembangunan Manusia dan kebudayaan di dalam kerangka untuk membahas mengenai rencana implementasi Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Acara ini diperlukan untuk mendapatkan kepastian mengenai dukungan Kemenag mengenai GNRM melalui program dan penganggaran di tahun 2016.
Hadir di dalam acara ini adalah pejabat Eselon II Kementerian Agama dan juga Pejabat Eselon II Kemenko-PMK. Di dalam acara ini juga hadir Prof. Dr. Agus Sartono, Deputi Pendidikan dan Agama dan sekaligus merangkap jabatan Sesmenko-PMK. Pak Sugihartatmo, Sesmenko-PMK, sedang memasuki masa pensiun.
Saya diminta untuk menjadi narasumber di dalam acara penting ini. Oleh karena itu, saya paparkan empat hal yang saya anggap urgen untuk dibicarakan: pertama, bahwa GNRM diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo pada saat Upacara HUT Korpri ke-43 pada tanggal 1 Desember 2014. Konsep ini diungkapkan untuk mengingatkan kembali mengenai Trisakti yang pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963, yaitu: pilar Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya.
Menurut Soekarno, bahwa Revolusi Mental adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Hakikat revolusi Mental adalah untuk mencetak manusia Indonesia baru yang memiliki mentalitas dan etos kerja yang tinggi agar bisa bersejajar dengan bangsa lain di dunia ini.
Kedua, Revolusi Mental memang sungguh-sungguh diperlukan bagi bangsa Indonesia sebab disinyalir bahwa kita sedang krisis karakter, intoleransi yang makin meningkat, pemerintah ada tetapi tidak hadir dan rakyat yang selalu dianggap sebagai obyek pembangunan. Di dalam konteks ini, maka respon pemerintah dianggap lama dalam menyelesaikan masalah, sehingga masyarakat sering menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Ke depan, pemerintah harus hadir di tengah masyarakat dan bersama masyarakat di dalam kehidupannya. Untuk ini yang diperlukan adalah : “Dari Kami menuju Kita.”
Ketiga, yang diperlukan adalah mengembangkan nilai Strategis-instrumental yang meliputi: Kewargaan, dapat dipercaya, mandiri, kreatif, gotong royong dan saling menghargai. Masyarakat kewargaan atau civil society atau masyarakat madani adalah masyarakat yang sedikit berbicara keakuan akan tetapi yang banyak adalah bicara kekitaan. Lebih mementingkan kebersamaan dari pada keakuan.
Yang juga hilang dari masyarakat kita adalah dapat dipercaya. Masyarakat kehilangan trust. Sebuah kata yang sesungguhnya sangat sakti untuk membangun kebersamaan. Tanpa trust, maka tidak akan pernah terjadi kebersamaan. Yang tidak kalah menarik adalah mengenai gotong royong. Di masa lalu, gotong royong adalah nilai budaya masyarakat yang dijunjung tinggi. Ada yang disebut sambatan, gugur gunung dan sebagainya. Jika dan anggota masyarakat yang membangun rumah, maka tanpa diundang warga sekitar akan datang dengan tanpa upah. Namun demikian, sekarang semua sudah hilang melalui perubahan sistem upah kerja.
Di masa depan, para birokrat harus mengembangkan Indonesia ramah. Dari birokrasi yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani. Harus dikembangkan “senyum, salam dan sapa”. Para pengusaha harus menjadikan Indonesia mandiri. Untuk hal ini harus dikembangkan kemitraan, yang kuat antara pengusaha besar, menengah dan kecil. Jadi, penting juga kiranya untuk membangun kemitraan ABG (Akademisi, Businessman dan Government). Dan jangan pernah dilupakan mengenai “Indonesia Kita”. Di sini yang diperlukana adalah program yang mendorong “kebersamaan” di antara berbagai elemen bangsa tanpa memperhitungkan suku, etnis, ras dan agama. Semua yang dikerjakan adalah untuk “Keindonesiaan Kita”.
Keempat, agar GNRM ini berhasil, maka ada delapan prinsip yang harus dikembangkan, yaitu: 1) menjadikan setiap program kita sebagai gerakan sosial. Bukan proyek tetapi gerakan. 2) ada tekad untuk menjamin kesungguhan pemerintah. 3) harus bersifat lintas sektoral. 4) bersifat partisipatoris. 5) diawali dengan pemicu. 6) desain program harus ramah pengguna. 7) mengembangkan nilai moralitas public dan 8) dapat diukur dampaknya.
Kita tentu ingin agar GNRM bukan hanya sebagai penanda perbedaan antara satu pemimpin dengan pemimpin lainnya. Oleh karena itu diperlukan kesungguhan kita semua untuk menjadikan GNRM sebagai mentalitas mendalam dan bukan sekedar ungkapan tanpa makna.
Wallahu a’lam bi al shawab.