MENTERI BARU MUKA LAMA
Hingar bingar dunia perpolitikan Indonesia berakhir sudah. Setelah melewati masa panjang mulai dari pemilu legislatif, kemudian dilanjutkan dengan pilpres, kemudian diteruskan dengan pelantikan presiden dan wakil presiden, maka semalam, 21 Oktober 2009 diumumkanlah nama-nama menteri yang akan mengisi pos-pos kementerian di era Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, masa khidmat 2009-2014. Semua orang bisa berkomentar, ada yang pro dan ada yang kontra. Tetapi yang jelas –sebagaimana sambutan Presiden SBY—bahwa semuanya sudah dipertimbangkan secara matang dan penuh perhitungan.
Penentuan jabatan menteri oleh presiden memang menyita perhatian banyak orang. Tidak hanya politisi yang memang secara langsung terkait dengan jabatan politik, tetapi juga pelaku ekonomi, sosial, budaya dan agama. Makanya menjelang pengumuman nama-nama menteri banyak orang yang deg-degan. Berbeda dengan penentuan nama-nama menteri di era orde baru, maka pasca reformasi –terutama di era presiden SBY—terdapat semacam audisi atau istilah kerennya fit and proper test yang dilakukan oleh presiden terhadap calan-calon menteri. Dua hari secara berturut-turut calon menteri datang ke kediaman presiden di Puri Cikeas untuk bertemu langsung dengan presiden dan memperoleh gambaran tentang apa yang harus dilakukan di era KIB jilid II dan apa komentar calon menteri terkait dengan program-program kementeriannya.
Melalui proses fit and proper test dan kemudian penjelasan calon menteri yang bersangkutan di televisi, maka banyak orang yang memprediksi tentang jabatan apa yang akan diemban calon menteri dimaksud. Maka televisi dan koran pun seakan berlomba-lomba untuk membuat daftar calon menteri di era KIB II. Proses audisi seakan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan penilaian dan evaluasi terhadap rencana presiden menempatkan seseorang untuk menjadi menteri.
Ternyata memang ada relevansi antara apa yang disebutkan oleh televisi dan koran serta dugaan masyarakat tentang jabatan menteri yang dipilih oleh SBY. Menteri tersebut ialah: Menko Polhukam: Djoko Suyanto, Menko Perekonomian: Hatta Rajasa, Menko Kesra: Agung Laksono, Mendagri: Gamawan Fauzi, Menlu: Marty Natalegawa, Mendiknas: M. Nuh, Menkeu; Sri Mulyani, Menhan: Purnomo Yusgiantoro, Menakertrans: Muhaimin Iskandar, Menag: Surya Dharma Ali, Menbudpar: Jero Wacik, Mendag: Marie Elka Pangestu, Menkop/UKM: Syarif Hasan, Mensos: Salim Segaff al Jufri, Menhub: Freddy Numberi, MenSDM: Darwin Saleh, Menpu: Djoko Kirmanto, Menhukham: Patrialis Akbar, Menkes: Endang Rahayu Setyaningsih, Menhut: Zulkifli Hasan, Mentan: Suswono, Menkelautan/perik: Fadel Muhammad, Mensekneg: Sudi Silalahi, Menpora: Andi Mallarangeng, MenLH: Gusti M. Hatta, MenBUMN: Mustafa Abubakar, Menpera: Suharso Manoarta, MenPAN: E.E. Mangindaan, Menristek: Suharna Surapranata, MenUPW: Linda Agum Gumelar, MenPDT: Helmi Faisal Zaini, MenPPN/KepBappenas: Armida Salsiah Alisyahbana.
Kecuali beberapa orang, maka kebanyakan menteri yang diangkat oleh SBY adalah nama-nama yang cukup beken di negeri ini. Mereka adalah orang yang sudah memiliki pengalaman yang cukup memadai dalam rangka membangun negeri ini. Dari kapasitas perorangan, tentunya tidak ada yang diragukan kemampuannya terutama pengalaman dalam dunia akademik, birokrasi maupun politis. Bukankah ”pengalaman adalah guru yang terbaik”. Namun bekal pengalaman saja ternyata tidak cukup. Ada sangat banyak variabel yang menyebabkan kesuksesan seseorang dalam memimpin sebuah lembaga, apalagi lembaga kementerian.
Sebutkan tiga kendala saja yang sangat dominan: pertama, adalah birokrasi di Indonesia. Dalam banyak hal, birokrasi di Indonesia diisi oleh orang-orang yang visi dan motivasinya apa adanya. Banyak di antara birokrat di Indonesia yang lebih memahami pekerjaannya sebagai urusan administratif, sehingga dimensi pencapaian visi dan misinya terukur sejauh pemenuhan administratif. Ada banyak kerja inovatif yang sesungguhnya sangat bagus terabaikan begitu saja karena kecenderungan pemahaman administratif tersebut.
Kedua, kendala anggaran. Ada banyak departemen/kementerian negara yang anggarannya sangat kecil, padahal kebutuhan dan program yang dipanggul sangat banyak. Sebut misalnya kementerian PDT, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan tentu masih ada yang lain. Kementerian PDT memiliki tupoksi yang sangat penting terkait dengan pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal. Dengan posisi masih terdapat sebanyak 199 kabupaten tertinggal atau kira-kira 30% dari seluuh kabupaten /kota di Indonesia dan sekaligus sebagai leading sektor pemberdyaan masyarakat, kementerian ini memperoleh anggaran hanya sekitar satu trilyun. Bandingkan dengan kementerian pendidikan nasional yang memperoleh anggaran 70 trilyun lebih.
Ketiga, koordinasi, sinkronisasi dan integrasi program antar kementerian. Banyak program yang tumpang tindih antar kementerian. Program pengentasan kemiskinan ternyata ada di banyak departemen/kementerian negara. Program tersebut bisa saja saling bertabrakan antara satu dengan yang lain. Banyaknya program yang hampir sama dari departemen/kementerian yang berbeda akan menyebabkan ketiadaan fokus atau konsentrasi program dimaksud. Akibatnya anggaran pengentasan kemiskinan yang jumlahnya besar ternyata tidak mampu mengubah peta kemiskinan menjadi lebih baik secara signifikan.
Berbekal pada realitas empiris seperti ini, maka tampaknya pengalaman memimpin saja tidak cukup sebab harus dibarengi dengan kemampuan untuk menggerakkan birokrasi supaya lebih efektif dan efisien, selain mengurangi kendala anggaran dan merumuskan kebijakan satu pintu untuk penganggaran dari leading sektor kementerian yang paling berkompeten menangani masalah sosial kemasyarakatan. Meskipun demikian, kita masih bisa berharap, semoga yang ditunjuk sebagai menteri oleh presiden SBY dapat mengubah tantangan dan hambatan menjadi peluang.
Wallahu a’lam bi al shawab.