AKHIRNYA KE ARAB SAUDI (6)
AKHIRNYA KE ARAB SAUDI (6)
Acara tasyakuran diakhiri dengan makan malam. Ada masakan rawon, bakso dan makanan jajanan lainnya, misalnya ote-ote, pisang goreng, tahu goreng dan sebagainya. Acara pun berakhir kira-kira pukul 10.30 malam WAS.
Malam itu juga kami harus ke Mekkah. Kami bimbang apakah malam ini, langsung atau istirahat sebentar ataukah besuk pagi. Jika besuk pagi, maka umrahnya pasti siang hari dan sangat panas. Maka pilihannya tinggal langsung setelah acara selesai atau istirahat sejenak di Wisma Haji Madinah. Akhirnya diputuskan kita akan pergi ke Mekkah malam ini dan beristirahat sejenak.
Pukul 02.00 malam WAS, saya dengan tim berangkat ke Mekkah. Perjalanan malam hari jauh lebih nikmat. Selain kendaraannya yang jarang juga bertepatan malam bulan purnama. Langit yang terang temaram dan udara gurun pasir yang kering tentu mengiringi perjalanan kami. Kendaran melaju dalam kecepatan tinggi, rata-rata 140 Km perjam. Makanya jarak Madinah Mekkah ditempuh hanya dalam waktu empat jam. Inginnya bisa berjamaah di Masjidil Haram Mekkah, akan tetapi ternyata waktunya tidak cukup, sehingga kami dengan tim shalat subuh di masjid lain.
Saya harus mengapresiasi Pak Kaharuddin, Orang Madura, yang menjadi sopir kami di dalam perjalanan panjang ini. Dia sangat stabil mengemudikan mobilnya. Sungguh fisiknya sangat kuat dan juga kelihatan ikhlas. Sering saya ajak bicara waktu mengemudi dan saya tanyakan apakah perlu istirahat. Ternyata dia menjawab “tidak usah Pak.”
Waktu berada di Mekkah ternyata sangat terbatas. Pukul 02.00 siang WAS saya dan tim harus kembali ke Jeddah untuk melakukan rapat koordinasi dengan seluruh tim yang terlibat di dalam penyelenggaraan haji. Tim TPHI, Tim Kesehatan dan juga Tim Daker.
Hadir pula pada acara ini, Ketua PPIH Dr. Ahmad Dumyati, dan Sekretaris PPIH, Burhan Hanif serta segenap timnya, Kadaker Madinah, Dr. Nasrullah Jasam, dan segenap timnya, kabiro Umum, Pak Syafrizal dan Kabiro Ortala, Pak Nur Arifin, Pak Afrizal dan Lukman serta Farid dan juga para pejabat Kementerian Agama yang sedang tugas di Arab Saudi, Pak Khorizi, Pak Ali Rahmat dan timnya serta Pak Mawardi dan segenap tim kesehatan haji.
Acara rapat diselenggarakan di kantor Daerah Kerja (Daker) Jeddah dan dimulai jam 4.30 sore WAS. Ada hal-hal menarik yang dapat dicermati dari pembicaraan dengan Tim Panitia Penyelenggaraan Haji Indonesia (TPHI). Acara ini dipimpin oleh Ketua TPHI Arab Saudi, Dr. Dumyati dan sekretarisnya.
Ada lima hal yang dapat disarikan dari pertemuan ini, yaitu: pertama, berdasarkan pemantauan tim haji bahwa penyelenggaraan ibadah haji tahun sekarang lebih baik. Tidak ada keluhan terkait dengan catering dan pemondokan. Hanya persoalan transportasi saja yang masih menjadi kendala. Tetapi jumlah bus yang rusak hanya 10 dari ratusan bus yang disewa untuk pengangkutan jamaah haji, maka sebenarnya jumlahnya kecil. Ke depan memang harus dianggarkan mengenai upgrade bus yang ternyata memang tidak bisa dihindari. Melalui kejelasan regulasi mengenai sewa bus dan sebagainya, maka diharapkan pelaksana di lapangan tidak akan merasa berada di dalam bayang-bayang kekeliruan. Mereka berharap agar jumlah petugas dapat ditambahkan sehingga akan bisa lebih efektif di dalam pemantauan jamaah haji.
Kedua, mengenai korban Mina. Jumlah korban Mina kita memang cukup banyak yaitu 125 orang. Menurut mereka bahwa kedisiplinan jamaah kita memang harus diperketat. Jangan melakukan lempar jumrah dengan mencari waktu afdhal atau lainnya. Tentukan dengan ketegasan bahwa jam lempar jumrah untuk orang Indonesia harus sesuai dengan jadwal yang sudah diatur oleh Kementerian Haji Arab Saudi. Ke depan harus ada ketegasan untuk mereka yang akan melakukan lempar jumrah di luar ketentuan harus menandatangani surat perjanjian mutlak, bahwa mereka melanggar kesepakatan.
Negara harus memiliki power di dalam mengatur terhadap jamaah haji yang melakukan tindakan di luar ketentuan yang berlaku. Kalau ada problem yang seperti ini (musibah Mina) maka yang dipersalahkan adalah pemerintah sebagai penyelanggara haji. Padahal kesalahan itu terletak pada kedisplinan jamaah haji sendiri. Ini merupakan bahan renungan bagi kita semua agar penyelenggara haji tidak hanya memberi kenyamanan melaksanakan haji tetapi juga perlindungan bagi jamaah haji.
Ketiga, untuk penentuan jamaah yang meninggal, maka yang digunakan adalah prosedur tetap (protap) yang barlaku. Ada dua cara untuk menentukan seseorang meninggal, yaitu dengan menggunakan observasi primer dan data sekunder bahkan juga bisa menggunakan data tersier. Namun demikian, prosedur yang digunakan adalah identifikasi langsung. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam membuat Certificate of Death (COD). Tidak boleh gegabah di dalam menentukam seseorang meninggal atau tidak. Makanya, mungkin diperlukan diplomasi tingkat tinggi untuk membuka akses bagi penyelesaian masalah korban ini sehingga akan lebih cepat penyelesaiannya.
Keempat, Hal-hal lain yang juga dibicarakan adalah mengenai jamaah sakit lalu harus dievakuasi dengan helicopter atau dipulangkan dengan armada lain, maka harus ada ketegasan sebab tim akan merasakan bahwa yang dilakukan tersebut benar. Ada jamaah yang sakit di Rumah Sakit di Thaif, yang tempatnya jauh sekali dan menurut tim dokter di Rumah Sakit itu, jamaah haji harus dievakuasi dengan Helicopter dan juga ada petugas yang akan dipulangkan akan tetapi harus pindah pesawat karena pesawat Garuda tidak memiliki fasilitas jamaah sakit yang harus dipulangkan dengan terlentang.
Kelima, Selain ini juga dibicarakan mengenai pengadaan barang dan jasa di luar negeri dan juga Barang Miliki Haji (BMH) yang hingga hari ini belum bisa diselesaikan. Kita berharap agar semua hal tersebut dapat dituntaskan dalam waktu yang relative singkat sehingga akan terdapat kejelasan berapa sesungguhnya BMH tersebut dan kapan bisa dijadikan sebagai Barang Milik Negara (BMN). Kiranya diperlukan Peraturan Presiden Khusus (Perpres Khusus) untuk pengadaan barang dan jasa di luar negeri, khususnya haji, karena memang ada hal-hal yang tidak tercover di dalam Perpres No. 54 dan 70. Masih ada peluang perbaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.