MENGELOLA KRITISISME MAHASISWA
Mahasiswa merupakan kelompok paling kritis di antara generasi muda lainnya. Tentu saja kritisisme tersebut diperoleh dari bangku kuliahnya. Bukankah mereka diajari agar memiliki kemampuan kritis dan analitis tentang masalah yang ada di sekitarnya. Melalui proses pembelajaran, diskusi dengan teman sejawat dan berbagai aktivitas yang dilakukannya baik melalui organisasi intra maupun ekstra kampus, maka mereka menjadi kelompok yang memiliki kesadaran kritis (critical awareness).
Presiden Soekarno bahkan pernah membuat semacam tipologi mahasiswa Indonesia dan kemudian membaginya menjadi empat kelompok, yaitu: kelompok mahasiswa yang menjadi kutu buku, artinya mereka hanya kuliah dan membaca buku. Kemudian kelompok mahasiswa yang hanya berfoya-foya saja, kuliah hanya menjadi simbol belaka. Lalu, mahasiswa yang hanya aktif di organisasi dan hanya memperhatikan lingkungan sosial sekelilingnya. Dan berikutnya adalah mahasiswa yang kutu buku tetapi juga selalu memperhatikan dunia sekelilingnya. Tipologi keempat inilah yang diidamkan oleh Soekarno sebagai mahasiswa ideal yang kelak akan dapat menjadi pemimpin bangsa.
Mahasiswa memang harus kritis. Kemampuan kritis tersebut akan menjadi garis pembeda antara mahasiswa dengan kelompok lainnya. Mahasiswa adalah kelompok yang paling sadar tentang situasi dan kondisi bangsanya. Melalui kemampuan analisisnya, maka mereka merupakan kelompok yang paling sadar akan nasib bangsanya di masa depan. Makanya, jika dilakukan pengamatan terhadap berbagai protes atau demonstrasi tentang berbagai masalah bangsa, maka yang pasti melibatkan mahasiswa.
Dunia mahasiswa merupakan wadah pencarian dalam banyak aspek kehidupan. Bisa saja aspek politik, sosial, budaya dan juga agama. Mereka sedang dalam proses mencari dan terus mencari. Makanya, siapa yang bisa memberikan solusi yang memadai di dalam proses pencarian tersebut, maka dialah yang akan menuai hasilnya. Apakah mereka akan dijadikan orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, kritis terhadap politisi, kritis terhadap para pejabat, kritis terhadap nasib umatnya atau bahkan kritis terhadap nasib bangsanya. Proses pencarian dan penemuan atas pemikiran kritisnya inilah yang disebut sebagai fase menentukan di dalam perjalanan kehidupan mahasiswa.
Dalam kasus keterlibatan mahasiswa pada gerakan Islam garis keras, sesungguhnya juga diakibatkan oleh proses pencarian dan penemuan dimaksud. Ketika mahasiswa kritis terhadap nasib umat Islam di berbagai belahan dunia, nasib umat Islam yang selalu terpinggirkan dan nasib bangsanya yang tidak menentu di kemudian hari, maka bertemulah mereka dengan orang yang pernah berjuang dan mengalami fase pendzaliman di negara-negara Islam, seperti: Afghanistan, Palestina, Irak, dan lain-lainnya. Pengalaman yang luar biasa menyesakkan tersebut yang dipadukan dengan kefasihan menyampaikan ajaran agama yang luar biasa akan menjadi daya tarik yang sangat kuat untuk menjadi pengikut setia.
Penderitaan umat Islam di Irak yang diinvasi oleh Amerika dan penderitaan umat Islam di Afghanistan, yang secara langsung dialami oleh mereka yang pernah berjihad di dalamnya, akan menjadi cerita tragedi-dramatis kemanusiaan yang tidak akan terlupakan. Jika cerita tersebut dirangkai ulang dan disampaikan dalam retorika yang menarik, maka akan menyebabkan ketertarikan dan pembenaran yang memadai.
Tokoh-tokoh Islam garis keras dapat memanfaatkan situasi tersebut. Makanya kemudian banyak anak kampus yang tertarik dengan ajarannya. Mereka adalah anak-anak kampus yang cerdas dan memiliki kemampuan kritis yang sangat baik. Anak-anak pintar ini memang secara sengaja dibidik agar mengikuti ajarannya. Dan sekarang tentunya sudah banyak di antara anak-anak kampus yang pintar itu menjadi simpatisan gerakan Islam keras dimaksud. Memang agak sulit melakukan identifikasi secara keseluruhan terhadap mereka ini.
Dunia mahasiswa yang kritis tersebut mestinya memperoleh ruang gerak yang memadai agar tumbuh menjadi persemaian yang bermanfaat. Keterlibatan mereka terhadap gerakan Islam garis keras, rasanya disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa mereka tidak menemukan sesuatu yang menantang di organisasi kemahasiswaan yang ada. Bisa saja dianggapnya, bahwa organisasi kemahasiswaan yang ada tidak mampu menghadirkan kepuasan bagi gelegak pencarian identitas dan praksis kehidupannya. Mereka justru menemukannya di ajaran Islam garis keras. Tawaran solutif yang diwacanakan di kalangan pengikut Islam garis keras dianggapnya sebagai cara instan yang dapat menyelesaikan masalah bangsa dan negara. Sementara organisasi kemahasiswaan hanya menjadi ajang ketemu dan berbicara wacana tanpa solusi dan tindakan praksis.
Oleh karena itu, diperlukan suatu cara baru dalam pembinaan kemahasiswaan di saat standing recidency. Perlu ada pembinaan jangka panjang yang dipersiapkan secara sistematik dan terstruktur. Dan bagi mereka yang akan menjadi pendamping atau pembina mahasiswa tahun pertama adalah mereka yang sudah teruji di dalam banyak hal termasuk nasionalisme dan kebangsaannya. Jika hal ini bisa dilakukan secara menyeluruh, maka sekurang-kurangnya akan dapat menjadi solusi bagi proses pencarian diri di kalangan mahasiswa dimaksud.
Wallahu a’lam bi al shawab.