• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRADISI MUHARRAM (SUROAN) DI NUSANTARA (3)

TRADISI MUHARRAM (SUROAN) DI NUSANTARA (3)

Saya secara khusus akan menulis mengenai Orang Jawa. Pada Orang Jawa  banyak hal yang bisa dicermati dan dikaji terkait dengan bulan Muharram atau wulan Suro. Orang Jawa memiliki tradisinya sendiri di dalam merayakan bulan Muharram atau bulan Suro.

Berbeda dengan umat Islam pada umumnya yang merayakan bulan Muharram, misalnya dengan Puasa, Baca doa, Baca Yasin atau Baca Surat Al Ikhlas, sampai sedekah kepada fakir miskin dan anak yatim, maka Orang Jawa menyelenggarakan upacara Suroan dengan tradisi yang lebih unik.

Memang,  masih ada sekelopompok orang yang  membedakan antara Islam dan Jawa. Bagi mereka Jawa dan Islam merupakan  dua entitas yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Islam adalah suatu hal tersendiri, demikian juga Jawa adalah sesuatu hal yang lain. Sebagai entitas kebudayaan, maka Islam dan Jawa merupakan suatu hal yang berbeda. Sementara itu juga ada sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa Islam dan Jawa merupakan dua entitas yang sudah menjadi satu. Keduanya telah lama membangun dialog kebudayaan yang saling memberi dan menerima. Pandangan kedua inilah yang kiranya menjadi arus utama akhir-akhir ini.

Dengan demikian, antara Islam dan Jawa sudah merupakan suatu entitas kebudayaan yang menyatu, dan tidak terpisahkan. Ibaratnya mata uang koin, maka sisi yang satu adalah Islam dan sisi lainnya adalah Jawa. Jadi tidak bisa dipisahkan. Dalam pandangan seperti ini,  maka Islam dapat berkolaborasi dengan tradisi Jawa, sehingga Islam dan Jawa dapat membangun demokrasi dan kemoderenan. Keduanya saling memberikan sumbangannya dalam satu kesatuan untuk membangun peradaban yang agung dan mendunia.

Islam dan Jawa memang merupakan entitas budaya yang dapat memberikan warna khusus Islam dibanding dengan Islam di tempat lain. Kekhususan itu terletak pada berbagai upacara yang dalam banyak hal tidak dijumpai pada praktek Islam di tempat lain, bahkan di pusat sumber orisinalitas Islam di Timur Tengah.  Makanya, ada beberapa hal yang kiranya dapat dipahami mengenai perilaku Orang Islam Jawa,  terkait dengan perayaan tanggal 1 Muharram atau 1 Suro.

1) Tradisi mencintai dan menghormati  keris atau benda-benda pusaka lainnya. Keris atau benda-benda pusaka lainnya tentu bukanlah tradisi genuine Islam. Hampir di semua kerajaan Islam dijumpai benda-benda pusaka. Bahkan para Wali juga memiliki benda-benda pusaka. Di dalam cerita, misalnya Kanjeng Sunan Giri memiliki Kyai Kolomunyeng, kemudian Raja Mataram memiliki Kyai Sengkelat, ada juga Kyai Nogososro Sabuk Inten dan sebagainya. Ini tentu melengkapi kehebatan para empu (pembuat keris) seperti Empu Gandring dalam cerita Kerajaan Tumapel, atau Empu Supo dalam cerita Walisongo dan sebagainya. Bahkan di setiap wilayah juga menyimpan tradisi senjata-senjata sakti, seperti Rencong di Aceh, Tombak dan Keris di Jawa, dan sebagainya.

2) Tradisi melakukan puasa-puasa khas. Misalnya pada bulan Suro penganut Islam Jawa melakukan puasa patigeni, puasa mutih, puasa ngrowot, puasa ngebleng dan sebagainya. Puasa patigeni dilakukan dengan cara tidak memakan makanan hasil perapian, puasa mutih artinya hanya makan nasi putih dan air putih saja saat berbuka, puasa ngrowot dilakukan dengan hanya memakan buah-buahan, puasa ngebleng dilakukan dengan menanam dirinya di tanah dan sebagainya. Puasa-puasa ini tentu saja dilakukan dengan tujuan untuk melatih kejiwaan dan kekuatan batin agar dekat dengan Allah sing agawe urip (Tuhan yang mencipta kehidupan). Urip iku urup artinya bahwa hidup itu adalah pengabdian kepada Tuhan untuk kepentingan kemanusiaan.

Bulan Suro di kalangan Orang Jawa dikenal sebagai bulan tirakatan. Tirakat yang dilakukan oleh Orang Jawa tentu agak berbeda dengan tarekat dalam pengertian organisasi kaum sufi. Tirakatan artinya adalah tindakan untuk pendekatan khusus kepada Allah swt, melalui puasa, berdzikir atau eling kepada Allah, melanggengkan ritual-ritual khusus yang dianggap sebagai cara atau jalan agar bisa berdekatan dengan Tuhan.

3) Tradisi memandikan pusaka yang dianggap memiliki kesaktian. Mungkin ada di antara kita yang tidak meyakini bahwa pusaka (keris, tombak, bahkan batu akik) memiliki kekuatannya sendiri. Kekuatan khusus yang hanya dimiliki oleh benda-benda tersebut. Kekuatan itu adalah anugerah Allah kepada alam. Ada keistimewaan yang dimiliki oleh benda-benda tersebut karena sesungguhnya adalah representasi dari kekuasaan Allah. Orang Jawa meyakini bahwa ada representasi kekuasaan Allah pada benda-benda di alam ini.

Saya kira keyakinan tersebut  tidak sama dengan konsep dinamisme di dalam agama-agama primitive, yang beranggapan bahwa setiap benda memiliki kekuatan sehingga bisa disembah.  Di   dalam tradisi Islam-Jawa, bahwa benda-benda itu adalah representasi Tuhan untuk menunjukkan tentang tanda-tanda kebesaran Allah bisa terdapat di antara kita semua. Bukan untuk disembah,  akan tetapi dijadikan sebagai bukti bahwa Allah itu maha kuasa dan berkuasa untuk menjadikan benda atau apa saja  bisa memiliki ciri khas yang berbeda dengan lainnya.

Para empu yang  membuat keris atau tombak atau senjata lainnya tentu tidak hanya  menggunakan kekuatan fisikalnya, akan tetapi dengan lelaku atau tirakat atau riyadhah yang sangat mendasar. Mereka mencipta pusaka tersebut dengan semedi (upacara-upacara khas) untuk meminta kepada Allah agar yang diciptakannya menjadi penjaga alami bagi yang memilikinya. Di dalam tradisi Jawa, maka pembuatan pusaka-pusaka istimewa dilakukan sampai berbulan-bulan karena banyaknya upacara ritual yang harus diselenggarakan. Orang Jawa sangat menghargai prosesi itu, sehingga memuliakannya.

3)  Tradisi Ziarah kubur para Orang Suci. Ziarah kubur sekarang sudah merupakan bagian dari tradisi Islam Indonesia. Tidak hanya Orang Jawa yang melakukan ritual ziarah kubur para wali atau penyebar Islam. Akan tetapi makin banyak orang yang melakukan ziarah Wali. Di Jawa dikenal ziarah Wali Songo ( Wali Sembilan). Wisata ziarah ini dilakukan secara berjamaah. Meskipun dewasa ini ziarah Maqam Wali tidak terbatas pada bulan-bulan tertentu, namun demikian khusus bulan Muharram kuantitas peziarahnya semakin banyak. Ritual ziarah makam suci dilakukan dengan harapan bahwa Allah akan memberikan keselamatan dan keberkahan hidup selama setahun berlangsung. Mereka mempercayai bahwa para Waliyullah adalah washilah yang baik agar doanya diterima oleh Allah. Mereka bukan berdoa kepada arwah Waliyullah, akan tetapi menjadikan orang suci ini sebagai perantara yang baik untuk doa yang dilantunkannya kepada Allah swt.

4) Tradisi sedekah juga mewarnai bulan Suro. Ada keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat baik untuk sedekah. Orang yang banyak sedekah kepada orang miskin dan anak yatim akan dihindarkan oleh Allah dari marabahaya. Mereka meyakini bahwa melalui sedekah kepada anak yatim pada tanggal 10 Muharram,  maka Allah akan menurunkan keselamatan dan keberkahan kepada yang melakukannya. Itulah sebabnya, banyak orang yang berlomba-lomba mengeluarkan sedekah pada bulan Muharram ini.

Bulan Suro atau Bulan Muharram merupakan bulan yang dianggap sebagai bulan  keramat. Makanya,  orang Jawa banyak melakukan ritual-ritual untuk memperoleh keselamatan dan keberkahan.

Kita tentu tidak bisa memvonis apakah pelaksanaan upacara-upacara ini memiliki dalil naqli atau tidak, akan tetapi satu hal yang penting adalah adanya keyakinan bahwa di bulan Suro ini segala keprihatinan dan tirakatan harus dilakukan.

Keyakinan tersebut terus dijaga oleh Orang Jawa yang  tentu menggambarkan bahwa Orang Jawa memang memiliki ritualitas yang menarik untuk dicermati.

Wallahu a’lam bi al shawab

Categories: Opini