MESYUARAT PEGAWAI-PEGAWAI KANAN (SOM) KE 40 (3)
MESYUARAT PEGAWAI-PEGAWAI KANAN (SOM) KE 40 (3)
Akhirnya saya bisa datang tepat waktu untuk mengikuti acara Senior of Meeting (SOM) ke 40 di Brunei Darussalam. Pembincangan mengenai kertas kerja dengan tajuk “Jaminan Pengiktarafan Halal Negara Anggota MABIMS”dapat saya ikuti semenjak awal. Tema ini dibahas oleh Delegasi Indonesia, yang dibacakan oleh Dr. Muchtar Ali, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Kementerian Agama RI, lalu delegasi Malaysia, Brunei Darussalam dan juga Singapura.
Di dalam pemaparannya, Dr. Muchtar Ali menggambarkan tentang bagaimana UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dapat dijadikan sebagai pijakan untuk menjamin produk halal. Melalui UU ini, maka penjaminan produk halal yang selama ini dilakukan otoritasnya oleh MUI, maka ke depan akan beralih menjadi urusan negara. Jika selama ini program sertifikasi halal dilakukan sepenuhnya oleh MUI, maka ke depan tidak lagi seperti ini. MUI hanya memiliki kewenangan untuk menentukan kehalalan produk atau barang dan mensertifikasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sedangkan proses penjaminan halal atau penerbitan sertifikasi halal dilakukan oleh negara.
Berdasarkan Undang-Undang ini, setiap produsen bahan-bahan makanan, minuman, barang gunaan dan produk lainnya wajib melakukan sertifikasi. Hukumnya adalah mandatory. Namun demikian karena persoalan teknik yang perlu kesiapan matang, maka diperlukan waktu lima tahun untuk menyiapkannya. Dengan demikian masih ada waktu selama empat tahun untuk menyiapkan segala sesuatunya terkait dengan implementasi mandatori sertifikasi dimaksud.
Di dalam konteks ini, maka untuk menentukan kriteria apa saja barang atau bahan untuk kepentingan umat Islam menjadi sangat penting. Misalnya, bahan gunaan seperti sepatu, ikat pinggang, baju, celana, piring, garpu, sendok dan sebagainya tentu juga harus memenuhi kriteria halal. Termasuk juga bahan-bahan kosmetik dan obat-obatan.
Yang paling krusial adalah mengenai obat-obatan. Hal ini disebabkan masih banyaknya bahan obat yang menggunakan bahan yang diragukan kehalalannya atau bahkan tidak halal. Lalu, bahan tersebut belum bisa tergantikan oleh bahan lain yang memiliki kualitas yang sama sebagai bahan obat. Di sinilah sebenarnya keberatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk mencantumkan label halal atau sertifikasi produk obat di dalam konteks halal. Dengan demikian, untuk kepentingan pengobatan atau medis, masih perlu ditangguhkan pelaksanaan sertifikasi halal dimaksud.
Di dalam konteks ini, Majelis Fatwa Malaysia menentukan bahwa untuk kepentingan medis, maka ditetapkanlah fatwa madharat untuk penggunaan obat atau kepentingan medis. Hal ini tentu dipengaruhi oleh faktor ketiadaan pengganti bahan non halal untuk produk obat-obatan.
Saya kira fatwa ini juga relevan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di dalam persoalan kehalalan obat. Sebab dikahwatirkan jika sertifikasi halal menjadi sangat ketat diterapkan di Indonesia, maka akan terjadi kelangkaan obat untuk kepentingan pengobatan. Tentu saja hokum madharat dapat diterapkan untuk kasus obat selama memang belum didapati pengganti sumber bahan obat halal yang jelas.
Pemerintah Malaysia sangat mengapresiasi terhadap terbitnya UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini. Bahkan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) sangat antusias ingin belajar kepada pemerintah Indonesia mengenai terbitnya Undang-Undang dimaksud.
Dari empat makalah yang dipresentasikan tersebut, maka diambil kesimpulan tentang pengiktirafan halal untuk kepentingan bersama negara-negara anggota MABIMS. Jika diringkas, dari delapan kesimpulan ini, maka dapat digambarkan dalam tiga hal saja, yaitu: pertama, tentang pentingnya membangun kerjasama antar negara anggota MABIMS untuk kepentingan jaminan halal. MoU antar menteri anggota MABIMS akan dilaksanakan tahun 2016. Tahun 2015 sampai pertengahan tahun 2016 akan digunakan sebagai penyiapan bahan-bahan MoU antar menteri dimaksud.
Kedua, kerjasama untuk penguatan jaminan produk halal akan dilaksanakan oleh Jawatankuasa Teknikal Bidang Khas Pembangunan Halal Negara-Negara Anggota MABIMS. Untuk kepentingan ini, maka akan diutamakan pentingnya mengenai jaminan kehalalalan, kesehatan dan kebersihan. Selain juga harus mengutamakan tanggungjawab syariah. Ketiga, menyediakan mekanisme terbaik untuk mendekatkan perbedaan tentang kriteria, standart, fatwa dan sistem sertifikasi antar Negara MABIMS.
Negara anggota MABIMS sangat berkepentingan untuk membangun MoU agar penetapan kriteria atau standart halal suatu barang atau produk memiliki kesamaan. Semua menginginkan agar antar anggota Negara MABIMS memiliki standart yang kurang lebih sama, sehingga akan memiliki kekuatan untuk menjadi pusat jaminan produk halal.
Semuanya menyadari bahwa ketiadaan kesamaan standart dan fatwa mengenai produk halal akan bisa menjadi penyebab masih banyaknya sertifikat halal yang tertolak di beberapa negara lain, misalnya Negara Timur Tengah. Salah satu keluhan dari delegasi Republik Indonesia adalah masih adanya sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI lalu ditolak di Uni Emirat Aran (UEA).
Melalui kesepahaman antar negara anggota MABIMS diharapkan akan dapat mengurangi kesenjangan dimaksud dan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh negara anggota MABIMS akan memiliki kekuatan yang sama dihadapan negara-negara lain yang melakukan kerjasama perdagangan dengan negara anggota MABIMS.
Wallahu a’lam bi al shawab.