KONTRAK POLITIK BAGI PEMIMPIN
Hari ini merupakan tonggak baru bagi prosesi demokrasi di Indonesia. Betapa tidak sebab hari ini, Rabo 8 Juli 2009 merupakan hari di mana masyarakat Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri yang sudah memiliki hak suara akan melakukan pencontrengan dalam rangka memilih presiden dan wakil presiden.
Dibandingkan dengan negara Amerika Serikat, maka pilpres di Indonesia tergolong lebih kompleks. Memang, di Amerika Serikat pertarungan untuk menjadi calon presiden sungguh melelahkan. Sebab seorang capres harus memenangkan konvensi di dalam partai politik di negara tersebut. Melalui model dwi partai, maka pola ini bisa dilakukan secara efektif meskipun cukup menguras tenaga dan pikiran.
Di Indonesia –meskipun pernah dilakukan—model konvensi hasilnya ternyata tidak maksimal. Ada perbedaan kultur di antara keduanya. Di Amerika Serikat, pemenang konvensi di dalam parpol akan didukung secara maksimal dan tidak memunculkan peluang orang lain dari partai tersebut untuk ikut kompetisi. Sedangkan di Indonesia hal itu agak sulit dilakukan sebab tokoh partai politik bisa bermanuver sendirian meninggalkan partainya.
Melalui sistem multi partai, maka pola konvensi tentu tidak efektif. Sebab partai politik pengusung capres mesti masih tergantung kepada parpol lain melalui sistem koalisi. Di dalam sistem koalisi partai tersebut, maka hasil konvensi internal partai akan bisa saja menjadi mentah tergantung pada sistem koalisi dengan partai lain. Pada pemilu 2009 betapa harus dilihat bahwa ketika Partai Gerindra akan mengusung Prabowo sebagai presiden, maka tergantung dengan partai koalisinya. Karena perolehan suara Partai Gerindra kecil, maka Prabowo harus mengalah dengan Megawati dari PDI-P yang kemudian dideklarasikan sebagai presiden. Contoh rumit lagi di Partai Demokrat yang berkoalisi dengan banyak partai lainnya. Ketika Susilo Bambang Yudhoyono akan memilih calon wakil presidennya, maka terdapat kesulitan luar biasa sebab tidak bisa memilih salah satu tokoh partai koalisi. Itulah sebabnya SBY lalu memilih calon wakil presiden dari kalangan independen. Demikian pula ketika Yusuf Kalla harus memilih Wiranto juga didasari oleh koalisi partai besar dan kecil.
Meskipun mengalami kesulitan tetapi yang jelas semua capres dan cawapres sudah siap untuk dipilih. Usaha yang dilakukan untuk menjadi yang layak dipilih juga sudah dilakukan. Penyampaian visi, misi dan program juga sudah dideklarasikan. Makanya, pada hari ini hanya tinggal dua kata: terpilih atau tidak.
Dalam konsepsi agama, maka ikhtiar sudah dilakukan secara maksimal dengan berbagai cara. Dana dan tenaga juga sudah dikeluarkan dengan maksimal. Strategi pemenangan dan cara untuk menarik simpati masyarakat juga sudah dilaksanakan. Jadi kiranya hanya tinggal satu kata lagi: tawakkal. Bagi yang terpilih dalam pilpres, maka tugas berat sudah menunggu. Janji juga harus ditunaikan. Dan bagi yang tidak terpilih, maka tugas dan fungsi sebagai anggota masyarakat juga masih menunggu. Tidak ada kata ”tidak berguna” atau merasa dikalahkan. Sebab sebagai orang beragama, mestilah pada akhirnya menerima takdir: terpilih atau tidak terpilih.
Oleh karena itu rasa syukur bagi terpilih bukannya dilakukan dengan pesta dan makan-makan, akan tetapi dengan merealisasikan janji yang pernah diungkapkan di dalam kampanye. Orang beragama meyakini bahwa janji adalah hutang. Dan hutang mesti dilunasi. Janji seorang pemimpin adalah menyejahterakan masyarakat. Kampanye bukan sekedar obral janji. Akan tetapi kontrak politik antara yang memilih dan yang dipilih. Jika masyarakat telah memilih berarti sudah membubuhkan tanda tangannya untuk melakukan kontrak dengan yang dipilih. Makanya, beban bagi yang terpilih tentunya sangat besar. Merealisasikan janji yang pernah terucap.
Masyarakat Indonesia sudah kenyang dengan penderitaan, baik yang terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan dan keterpurukan. Makanya untuk mengukur terealisasinya janji tersebut juga dengan mengurangi jumlah kemiskinan, keterbelakangan dan keterpurukan tersebut. Siapapun presidennya, maka tiga hal itulah yang menjadi kewajibannya untuk direalisasi selama lima tahun ke depan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.