MENGAPA MAHASISWA TERLIBAT KEKERASAN AGAMA?
Ketika tiga orang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fajar Firdaus, Sony Djajadi dan Ahmad Ramadlan, dinyatakan terlibat di dalam menyembunyikan buron nomor wahid, Syaifuddin Zuhri, bagi khususnya Densus 88 dan juga masyarakat Indonesia umumnya, maka menjadikan kita semua yakin bahwa jaringan terorisme di Indonesia sudah memasuki kawasan yang variatif. Yang saya maksud di sini, bahwa jaringan terorisme atau sekurang-kurangnya tafsir agama yang mengandung kekerasan sudah memasuki kawasan paling sentral bagi bangsa Indonesia, yaitu para mahasiswa atau para pemuda. Noordin M Top dan berikutnya Syaifuddin Zuhri dkk., mengetahui betul bahwa para pemuda sebagai penerus bangsa ini dapat dijadikan sebagai sasaran utama dalam kerangka pengembangan ajaran agamanya yang bercorak kekerasan dimaksud.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pemuda adalah harapan bangsa. Di pundak pemuda harapan dan angan-angan pelanjut kemerdekaan bangsa digantungkan. Di tangan kawula muda seluruh keinginan menjadi bangsa yang beradab dipertaruhkan. Bukankah juga terdapat teks agama yang menyatakan bahwa: “syubban al yaum rijal al ghad” atau anak-anak muda sekarang adalah manusia dewasa yang akan datang”. Teks ini mengandung makna bahwa di tangan kaum muda sekarang nasib masa depan dipertaruhkan. Jadi kalau banyak orang yang mendambakan masa depan bangsa yang lebih baik kepada generasi muda tentunya bukan sesuatu yang salah.
Syaifuddin Zuhri adalah orang yang memiliki paham keagamaan yang baik dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang dengan bahasa agama juga luar biasa. Dia pernah hidup di kawasan pusat agama Islam, Timur Tengah. Namun seperti diketahui bahwa paham keagamaannya berbasis tafsir teks yang menghalalkan kekerasan. Jihad lebih dimaknai sebagai “perang” dengan cara yang ofensif. Di dalam tafsir keagamaannya bahwa bom bunuh diri adalah jihad fi sabillah yang langsung berpahala surga. Yang melakukannya akan mati syahid. Berbekal penguasaan bahasa agama yang sangat baik, maka Syaifuddin Zuhri dapat menyakinkan “para pengantin”nya untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Sonny Djajadi dan Afham Ramadlan pun pernah ditawari untuk menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz Carlton dan J.W. Mariott, Mega Kuningan. Sonny dan Afham tidak siap melakukan, sehingga dialihkan kepada Dani Dwi Permana dan Ikhwan Maulana, yang kemudian menjadi pelaku bom bunuh diri tersebut. Dani adalah aktivis keislaman sebelum menjadi pelaku bom bunuh diri. Sonny Djayadi adalah anak muda yang memiliki keahlian Information Technology (IT), dan dua lainnya juga anak-anak muda yang cerdas. Mereka memang belajar di bidang studi sains, yang dalam banyak hal memang terdiri dari anak-anak muda yang cerdas.
Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki keinginan untuk mendalami dan mengamalkan ajaran agamanya. Kemudian bertemulah mereka bertiga dengan pengajian yang dikelola oleh Syaifuddin. Penguasaan bahasa agama yang baik dari Syaifuddin dkk ternyata memikat ketiganya untuk menjadi pengikutnya. Mereka menjadi kagum dengan semangat keagamaan Syaifuddin dkk. Semangat beragama yang chauvinistik. Beragama dengan ego sentrisme yang luar biasa. Semuanya salah kecuali agama berdasarkan atas tafsirnya sendiri. Pada saat anak-anak muda ini berada di dalam fase ”pencarian” identitas diri, maka bertemulah dengan dengan Syaifuddin Zuhri yang menggelorakan semangat agama yang antikemapanan dan antibarat.
Tentu saja dapat diduga bahwa pengajian yag digelorakan oleh Syaifuddin adalah tentang dominasi barat yang tidak tertahankan. Kedzaliman Amerika dkk di wilayah Islam, seperti di Afghanistan, Jalur Gaza, Filipina Selatan, Chechnya, dan wilayah lain. Slide-slide kekerasan negara barat terhadap Islam dijadikan sebagai penguat argumentasi yang disajikan. Melalui kemampuan retorika yang luar biasa dan dipadukan dengan pengalaman di lapangan ketika di Afghanistan dan juga Filipina Selatan serta dibumbui dengan ”kedalaman” perasaan yang artikulatif, maka Syaifuddin dkk akan dapat mempengaruhi jamaah pengajiannya secara signifikan.
Berdasar atas kasus ini, maka bisa saja muncul pertanyaan: ”jangan-jangan masih banyak mahasiswa atau generasi muda yang memiliki rasa simpati dengan Noordin M Top dan Syaifuddin dkk”. Atau bahkan ”ada di antara generasi muda atau mahasiswa yang menjadi bagian dari jaringan Islam garis keras”. Dan tentu saja masih banyak pertanyaan yang bisa dikembangkan dari keterlibatan tiga orang mahasiswa UIN Jakarta itu. Dan yang bisa memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini tidak lain adalah mahasiswa sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.