MAHASISWA DAN GERAKAN KEKERASAN AGAMA
Gerakan kekerasan agama menjadi mengedepan pasca reformasi. Pada waktu Orde Baru berkuasa, negara sangat represif terhadap kelompok-kelompok yang diidentifikasi sebagai gerakan agama yang disebut sebagai fundamental. Begitu powerfullnya peran pemerintah dalam menghadapi gerakan Islam garis keras, maka begitu terdapat gejala mengenai hal itu, maka segera saja ditumpas habis. Makanya, berbagai gerakan Islam garis keras, seperti Komando Jihad, Teror Warman, dan sebagainya langsung bisa dipadamkan. Kasus yang paling heroik, peristiwa kekerasan Tanjung Priok yang melibatkan Amir Biki dan kawan-kawan pun dapat dipadamkan dengan kekuatan militer. Orde Baru memang tidak memberikan ruang sedikitpun untuk bernafas terhadap gerakan-gerakan Islam garis keras yang mengusung ideologi lain selain ideologi negara yang dianggap paling sah, Pancasila.
Reformasi memang mengusung “keterbukaan, demokratisasi dan Hak Asasi Manusia” makanya di era reformasi ditandai dengan pemberian ruang gerak yang luar biasa lebar bagi setiap komponen bangsa ini untuk berekspresi dalam berbagai wadah atau organisasi baik sosial, politik, ekonomi maupun agama. Jika di era Orde Baru negara sangat powerfull dalam menentukan asas organisasi, maka di era Orde reformasi terjadi kelonggaran bagi setiap organisasi untuk menentukan asas organisasinya. Oleh karena itu, di tengah era keterbukaan tersebut orang bisa saja mengekpresikan apa saja. Mantan nara pidana ideologis –tokoh komunis—lalu menulis memoar yang memberikan klarifikasi tentang peran dirinya di era itu. Ada banyak tulisan yang ditulis oleh eks PKI yang menggambarkan apa yang diketahui dan bagaimana pengalamannya tentang masa paling suram dalam sejarah kemerdekaan tersebut.
Jika tulisan memoar tentang tokoh PKI bisa saja ditulis, namun dari sisi ideologi masih ada alergi luar biasa tentang komunisme. Ideologi komunisme masih menjadi momok luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Lain halnya dengan ideologi trans-nasionalisme yang lain, yang kebanyakan diusung oleh tokoh-tokoh Islam, sepertinya memperoleh ladang yang sangat subur. Ideologi Islam trans-nasional yang semula dikembangkan di Libanon, Mesir, Pakistan dan sebagainya dalam bentuk organisasi Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Jamaati Islami dan lainnya kemudian memasuki kawasan Indonesia melalui jalur pendidikan.
Di kampus-kampus umum kemudian berkembang pesat gerakan-gerakan usrah dan tarbiyah. Di ITB, UI, IPB, UGM, ITS, dan kampus-kampus umum lainnya sangat kuat berkembang gerakan-gerakan Islam fundamental tersebut. Gerakan Islam yang berpusat di masjid-masjid kampus, kemudian menjelma menjadi gerakan keagamaan yang fundamental. Dari sini kemudian muncullah “kritisisme” yang berdasarkan atas realitas sosial bahwa kemunduran umat Islam dalam banyak hal disebabkan oleh barat dan kawan-kawannya. Kegagalan umat Islam untuk menyejahterakan masyarakat adalah akibat peminggiran dan dualisme kebijakan barat terhadapnya.
Ketika Munawir Syadzali menjadi menteri agama, beliau pernah mensinyalir bahwa Islam garis keras akan muncul di lembaga pendidikan tinggi umum terutama dari program ilmu eksakta. Pernyataan itu menimbulkan polemik. Ada yang pro dan kontra. Pak Munawir tentu saja tidak asal bicara. Tetapi tentunya sudah berdasarkan pengamatan yang jeli. Dan secara empiris memang sudah dibuktikan bahwa di antara yang mendukung terhadap Islam garis keras, adalah mereka yang belajar di program studi ilmu eksakta. Bahkan juga dapat dinyatakan bahwa yang kebanyakan menjadi eksponen organisasi yang mengembangkan ideologi Islam trans-nasional adalah para mahasiswa yang berasal dari program studi ilmu eksakta. Meskipun agak sulit untuk memprediksi angkanya, namun jika dibandingkan antara mereka yang menjadi Islam fundamental dibanding dengan lainnya, maka jumlahnya tetaplah mahasiswa progam ilmu eksakta jauh lebih banyak.
Mahasiswa program ilmu keagamaan tampaknya dianggap bisa steril dari Islam garis keras ini. Akan tetapi, sekarang sudah lain keadaannya. Islam garis keras sudah memasuki hampir keseluruhan masyarakat di Indonesia ini.
Akhir-akhir ini kita disibukkan oleh keterlibatan tiga mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam gerakan kekarasan agama. Mereka adalah mahasiswa Program Studi Sains. Mereka terlibat dalam penyembunyian Syaefuddin yang kemudian terbunuh oleh Densus 88. Keterlibatan tiga orang mahasiswa UIN Jakarta tentu mengagetkan semuanya. Selama ini masih ada anggapan bahwa UIN, IAIN, STAIN masih steril dari gerakan Islam garis keras. Namun dengan ditemukannya keterlibatan tiga orang mahasiswa tersebut, maka asumsi itu menjadi terpatahkan.
Melalui kejadian tersebut, maka ada satu pesan yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama bahwa gerakan Islam garis keras sudah bukan lagi menjadi ranah perguruan tinggi umum, tetapi juga sudah merambah di perguruan tinggi agama. Jadi semuanya harus kembali merenungkan bahwa sesungguhnya Islam garis keras sudah berada di semua lini kehidupan kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.