• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

CROSS CULTURE FESTIVAL 2009

 Surabaya sedang menyelenggarakan acara yang luar biasa. Cross culture festival yang ternyata sudah dilakukan untuk tahun ke empat. Acara meriah ini dilaksanakan di Galaxy Mall, tanggal 15 Oktober 2009. Begitu luar biasanya acara ini, sehingga sejumlah duta besar negara sahabat pun datang. Dari Pakistan, Zimbabwe, Azerbaijan, Saudi Arabia, Cina  dan lainnya. Yang menarik, tema acara ini adalah “memahami perbedaan budaya untuk menghargai keragaman.” Acara dibuka oleh Bambang DH dengan memukul drum yang diikuti oleh seluruh duta besar yang hadir. Setelah sebelumnya Pak Walikota dan para duta besar membubuhkan tandatangan di atas kanvas.

Cross culture di era globalisasi menjadi penting di tengah tekanan kehidupan masyarakat yang semakin mendunia.  Festival lintas budaya bisa menjadi sarana untuk saling memahami perbedaan, namun justru mengandung keunikan.  Tari dari Kolumbia yang disajikan  pertama menggambarkan keberadaan  dunia Amerika Latin yang erotis. Ada tari dari Ponorogo yang sedikit  kurang maskulin. Tarian dari Pekalongan yang khas Jawa tengahan. Beberapa gadis dengan gerak gemulai membawakan tari khas kaum remaja. 

Tanpa mengurangi makna festival yang bertujuan untuk membangun pemahaman yang multikultural, namun tentu ada aspek mendalam yang dituju yaitu memperkuat citra Surabaya sebagai kota yang  menjadi tujuan wisata. Keramahan Surabaya dengan dunia kesenian yang multikultural disajikan secara kolosal dan maksimal.  Kehadiran para duta besar negara sahabat dan sajian tarian negara lain tampaknya sengaja ditampilkan untuk memberi kesan masyarakat Surabaya yang open mindedness.

Masyarakat Surabaya dalam kultur Jawa memang dikategorikan sebagai Wong Pesisiran yang secara kultural sangat berbeda dengan Wong Kraton dan Wong Mataraman.  Mereka rata-rata  memiliki sikap yang keras, egaliter, terbuka dan metropolis. Dalam sejarah Jawa, mereka  juga dikenal sebagai masyarakat Jawa yang temperamental dan pemberontak. Perhatikan keseniannya yang berupa ludruk adalah pemberontakan khas pesisiran terhadap dominasi kesenian kraton yang gemulai dan feminin. Ludruk mencitrakan dunia relasi sosial yang egaliter tanpa kekentalan struktur dan menerima peran lelaki menjadi perempuan. Jadi ada dinamika penjungkirbalikan dunia keteraturan sosial khas kraton, yang menghegemoni tradisi masyarakat Jawa secara umum.

Acara cross culture festival memang perlu diapresiasi dalam rangka menjajakan Surabaya sebagai kota wisata. Sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta, Surabaya memang belum menjadi kota tujuan wisata. Surabaya baru menjadi kota transit. Bali, Surabaya, Jogyakarta atau Bali, Surabaya, Jakarta. Tentu saja ada keinginan kuat untuk menjadikan Surabaya bukan hanya sebagai kota transit para wisatawan manca negara akan tetapi menjadi tujuan wiasatawan yang sebenarnya.

Suatu ketika kita bisa membayangkan seperti di Malaysia. Di sini jumlah kunjungan wisatawan dari luar negeri jauh lebih besar. Di pusat kota Kualalumpur begitu berjubel wisatawan dari berbagai negara, khususnya dari Eropa. Mereka lalu lalang di jalan-jalan dan menikmati jalanan Malaysia yang juga sesungguhnya sama dengan Surabaya, yang penuh sesak. Namun demikian para wisatawan itu merasa nyaman berkunjung ke Malaysia karena aspek keamanan dan kenyamanannya. Belum lagi di Singapura. Suatu ketika saya berkunjung ke negara itu bertepatan dengan peringatan Imlek,  maka jalan utama di kota itu penuh sesak dengan para pelancong luar negeri sambil melihat pawai yang diselenggarakan di jalanan. Hampir seluruh negeri itu dibanjiri wisatawan asing  yang ingin menikmati atraksi dan pawai dalam menyambut  acara-acara yang disuguhkan untuk peringatan Imlek.

Saya berkeyakinan bahwa Surabaya dan juga wilayah lain di Indonesia akan bisa menarik wisatawan luar negeri. Hanya saja mungkin, aspek bangunan imej tentang Surabaya, tentang Indonesia, tentang Jakarta yang belum sehebat citra tentang Kualalumpur, Singapura dan sebagainya. Mungkin hanya Bali yang  bisa menyaingi kota-kota di Asia Tenggara lainnya, seperti Patani, Manila, Kualalumpur, Singapura dalam bangunan imej bagi para  wisatawan.

Oleh karena itu, pantaslah jika acara yang dihelat oleh Walikota Surabaya mendapatkan apresiasi dalam rangka untuk menjadikan Surabaya sebagai kota tujuan wisata dan bukan hanya kota transit wisata. Semakin banyak kunjungan wisatawan ke sini tentu akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan itu semua dapat digunakan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat Surabaya.

Wallahu a’lam bi al shawab.   

Categories: Opini