MEMBANGUN INDONESIA KE DEPAN (2)
Indonesia tidak hanya bisa dibangun dengan slogan-slogan. Indonesia harus dibangun dengan darah, daging dan tulang. Artinya, Indonesia harus dibangun dengan sungguhan, kerja keras dan semangat pantang mundur. Pembangunan adalah jihad dalam pengertian yang sesungguhnya.
Jihad untuk mencerdaskan, menyejahterakan, perlindungan dan perdamaian. Tidak jihad sebagaimana pengertian orang yang menyatakan sama dengan perang atau saling memusnahkan. Jihad yang didasari oleh kesadaran akan arti pentingnya mewujudkan cita-cita bangsa yang luhur sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945.
Lima tahun ke depan kita pastilah memasuki pasar bebas Asia dengan segala konsekuensinya. Orang professional, tenaga ahli dengan berbagai variannya akan deras memasuki kawsan Indonesia. Pastilah tidak bisa dihadang kedatangan mereka ke Indonesia. Disinilah arti pentingnya menempatkan “nation competitiveness” sebagai bagian yang harus terus dikembangkan di Indonesia.
Beberapa tahun yang lalu, pendidikan tinggi diarahkan untuk memperkuat hal ini dalam strategic planningnya. Di dalam Long Term Strategy yang dicanangkan, maka pendidikan tinggi sebagai kawah candradimuka untuk memperkuat SDM diarahkan untuk memperkuat kompetisi nasional ini. Sayangnya bahwa terjemahan terhadap strategi ini kurang kuat di kalangan lembaga pendidikan tinggi. Meskipun di dalam renstra disebutkan tentang peningkatan kualitas, relevansi dan daya saing, namun kenyataannya masih kurang menggigit.
Pendidikan adalah kata kunci peningkatan kualitas SDM. Oleh karena itu, kekuatan SDM tentu sangat tergantung kepada bagaimana kualitas pendidikannya. Visi pendidikan mestilah diarahkan untuk peningkatan daya saing ini di era pasar bebas seperti yang akan datang.
Negara lain, misalnya Thailand dan India sudah merasakan atmosfir pasar bebas tersebut dan melihat potensi Indonesia yang luar biasa sebagai pasar tenaga kerja. Makanya, Bahasa Indonesia dijadikan sebagai mata kuliah yang diajarkan di universitas-universitas di Thailand dan India, bahkan juga Korea Selatan dan Jepang.
Pembangunan industri di kawasan Bekasi, Cikarang dan sekitarnya sudah menghadirkan puluhan ribu ekspatriat yang menjadi tenaga kerja professional di sini. Mereka datang untuk bekerja dengan gaji yang memadai. Mereka adalah orang ahli yang bekerja untuk pengembangan perusahaan-perusahaan. Indonesia adalah surga bagi para pekerja luar negeri. Bahkan para desainer dan perancang busana juga sudah menggunakan perempuan-perempuan asing sebagai model rancangannya.
Demikian pula dunia kedokteran juga sudah dirasuki oleh dokter dari luar negeri. Mereka bekerja di beberapa rumah sakit di sini. Mereka tentu datang atas nama pasar bebas yang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari dunia global ini. Di beberapa rumah sakit di Jakarta sudah menggunakan dokter asing sebagai tenaga medis di rumah sakit, terutama rumah sakit swasta.
Pertanyaannya adalah lalu apa yang tersisa dari kenyataan ini? Yang tersisa adalah peningkatan daya saing bangsa melalui pendidikan. Lalu bagaimana meningkatkan kualitas SDM kita tersebut? Caranya adalah dengan memperkuat pendidikan yang bersearah dengan kebutuhan ketenagakerjaan baik di dalam maupun luar negeri. Jawaban seperti ini tampak klise saja. Siapapun bisa menyatakan seperti ini. Tetapi yang jelas, bahwa educations competitiveness perlu memperoleh aksentuasi yang memadai bagi pendidikan kita.
Akses pendidikan kita sudah membaik. Peluang bagi si miskin untuk berpendidikan tinggi sudah diberikan secara memadai. Anak tukang becak bisa menjadi dokter. Anak buruh petani bisa menjadi sarjana tehnik dan sebagainya. Ketika akses menjadi semakin baik, maka tugas berikutnya adalah meningkatkan mutu lulusan agar bisa bersaing di tengah ketatnya kompetisi dengan Negara lain.
Saya sudah menyampaikan di banyak kesempatan agar perguruan tinggi menata ulang atau merekonstruksi kurikulumnya untuk memenuhi hard skilled dan soft skilled para lulusannya. Semua diarahkan untuk membangun kurikulum yang futuristic and competitive. Di sini harus ada sinergi antara dunia usaha, pemerintah, masyarakat dan perguruan tinggi untuk merumuskan kurikulum yang bermasa depan tersebut.
Pada program studi sains dan teknologi, maka sentuhannya tentu tinggal sedikit saja, sebab kita tahu bahwa prodi seperti ini sudah memiliki keahlian khusus sesuai dengan hard skillednya. Yang diperlukan adalah pengembangan soft skilled agar mereka menjadi lebih relevan dengan kebutuhan untuk sukses di dalam bidangnya. Yang diperlukan berikutnya adalah relevansinya dengan dunia usaha yang akan dilakoninya dan juga menguatkan kompetisinya dengan tenaga kerja lainnya yang terus akan memborbardir aspek ketenagakerjaan di sini.
Harus diakui bahwa mayoritas program studi di Indonesia adalah ilmu sosial, humaniora dan ilmu agama. Ada yang menyatakan bahwa penyumbang besar terhadap pengangguran terdidik adalah dari prodi-prodi ini. Makanya, harus ada kesadaran baru agar menguatkan prodi dimaksud dengan soft skilled yang lebi kuat agar mereka memiliki kekuatan untuk memasuki dunia pasar kerja.
Seharusnya para dosen, para doctor dan professor lebih memberikan perhatian terhadap prodi-prodi ini. Tantangan tenaga kerja asing yang terus menyerbu Indonesia haruslah ditangkal dengan membangun competiveness yang kuat, khususnya para sarjana prodi ilmu sosial, humaniora dan ilmu agama.
Kita semua tentu berharap bahwa Indonesia yang kuat, sejahtera, modern dan adil hanya akan bisa dibangun oleh generasi kita, baik di masa kini maupun ke depan. Makanya penyiapan pendidikan yang berkualitas bagi mereka dengan kemampuan hard skilled dan soft skilled menjadi sangat penting.
Wallahu a’lam bi al shawab
