• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

WARTAWAN DAN UPAYA MEMBANGUN RELIGIOUS HARMONY

Kementerian Agama mendapatkan tamu kehormatan para wartawan Internasional yang berkunjung ke kantor pada Selasa, 02/09/2014. Acara yang diprakarsai oleh Aliansi Jurnalis Independent (AJI) tersebut berlangsung di Ruang Meeting Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI, Jl. Lapangan Banteng. Acara ini dihadiri oleh Menteri Agama, segenap pejabat Eselon I dan II dan undangan lainnya.

Di antara wartawan yang hadir adalah dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Iraq, Malaysia, Pakistan, Palestine, Singapore, USA dan East West Center. Mereka adalah para wartawan yang bekerja di dunia Pers internasional. Misalnya dari The Guardian, London, Al Hurra Television, Media Corp., The Economist, Religion News Service, The Huffington Post, The Washington Times, East West Center, Alhayat aljadida Newspaper, Dayle Jang dan sebagainya.

Di dalam sambutannya Menteri Agama mengungkapkan tentang bagaimana kerukunan beragama sudah terbangun semenjak lama. Jika dilakukan flash back maka akan diketahui bahwa meskipun terbangun dengan pergantian rezim ke rezim dengan keyakinan atau agama yang berbeda, akan tetapi nyaris tidak ditemui peperangan atau konflik yang sedemikian krusial di dalamnya.

Dari dimensi  kesejarahan, maka dapat diketahui bahwa yang mula-mula mengembangkan kekuasaan adalah kerajaan Budha dengan monument yang sangat terkenal adalah Candi Borobudur. Lalu juga berkembang kekuasaan kerajaan Hindu dan seterusnya Kerajaan Islam. Di dalam pergantian kekuasaan tersebut nyaris tidak didapatkan konflik yang sangat keras. Masuknya Islam ke Nusantara adalah contoh tentang bagaimana agama ini berkembang dengan damai di bumi Nusantara.

Islam yang dikembangkan oleh para pedagang tentu mengembangkan Islam dengan coraknya yang damai dan tidak mengedepankan kekerasan. Demikian pula kaum Sufi yang juga mengembangkan faham keagamaan yang damai dan penuh kasih sayang. Oleh karena itulah maka Islam yang berkembang di Indonesia semenjak lama adalah Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin.

Di dalam perkembangan berikutnya, Islam memasuki hubungan dengan negara atau pemerintahan. Di dalam konteks ini maka hubungan yang dikembagkan adalah yang bercorak simbiosis mutualisme. Indonesia bukan negara secular tetapi juga bukan negara agama. Namun demikian, negara dan agama saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara untuk menjamin keberaturan, keberadaan dan pengembangannya, sedangkan negara membutuhkan agama sebagai landasan spiritual bagi keberadaannya. Agama dan Negara memiliki posisi check and balance di antara keduanya.

Indonesia sesungguhnya bisa menjadi contoh tentang bagaimana membangun keharmonisan umat beragama. Ada banyak contoh misalnya di Ambon terdapat ungkapan “Pela Gandong”, di Manado ada ungkapan “Kitorang Basudara”, dan di Papua ada ungkapan “Satu Tungku Tiga Batu”. Ungkapan ini memberikan gambaran tentang bagaimana mereka merajut kerukunan di antara perbedaan-perbedaan.

Jadi sebenarnya kerukunan beragama sudah menjadi tradisi dari masyarakat Indonesia. Hanya saja tentu terkadang ada factor pemicu ketika kemudian tejadi masalah berkenaan dengan kerukunan beragama ini. Di dalam konteks ini selalu ada dugaan konflik yang dipicu oleh faktor-faktor di luar agama. Salah satu di antaranya adalah masalah politik. Faktor dukungan politik di dalam Pilkada adalah salah satu contoh tentang bagaimana faktor eksternal mempengaruhi terhadap kerukunan umat beragama.

Namun demikian bisa kita nyatakan bahwa konflik yang terjadi sebenarnya merupakan masalah yang bercorak kasuistis dan bukan merupakan persoalan relasi agama-agama. Namun demikian sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan terhadap relasi agama-agama ini.

Di dalam sessi tanya jawab, sebenarnya ada tiga hal yang mengedepan. Pertama, tentang faktor pemicu konflik. Dari konflik di Sampang, maka yang terjadi adalah konflik yang disebabkan oleh faktor nonagama. Kiranya adalah faktor perebutan sumber daya pendukung dan masalah keluarga. Perlu diketahui bahwa antara penganut Sunni dan Syiah di Sampang ternyata masih bersaudara. Demikian pula konflik antara Ahmadiyah dengan umat Islam. Pertentangan ini juga disebabkan oleh adanya perebutan sumber daya manusia pendukung agama selain persoalan penodaan agama.

Kedua, masalah penodaan agama. Masalah penodaan agama memang menjadi issu menarik untuk diperbincangkan. Sesuai dengan UU PNPS No 1 Tahun 1965, bahwa jika ada seseorang atau kelompok yang melakukan penodaan agama, maka yang bersangkutan bisa dikenai hukuman. Jadi sesungguhnya tidak terdapat kebebasan mutlak. Kebebasan dalam konteks keindonesiaan adalah kebebasan bertanggungjawab. Artinya, seseorang tidak bisa mengatasnamakan kebebasan lalu melakukan penistaan terhadap agama.

Ketiga, tentang peran Kementerian Agama dalam menanggulangi konflik dan juga melayani umat beragama. Di antara tugas Kementerian Agama adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan umat beragama, meningkatkan pendidikan agama dan meningkatkan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu tugas Kementerian Agama adalah melayani umat beragama.

Sesuai dengan perundang-undangan bahwa yang mendapatkan pelayanan khusus adalah enam agama, yaitu:  Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sedangkan agama-agama minoritas lainnya tetap harus mendapatkan pelayanan sebagaimana hak asasi yang dimilikinya. Namun demikian, pelayanan terhadap agama minoritas memang masih menyisakan masalah.

Sebagai pelayan umat beragama, maka di Kementerian Agama terdapat Direktorat yang melayani umat beragama, yaitu Ditjen Bimas Islam, Ditjend Bimas Katolik, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Hindu, Ditjen Bimas Budha dan PKUB yang di dalamnya terdapat urusan agama Konghucu.

Dengan demikian, Indonesia adalah contoh terbaik bagi kerukunan umat beragama. Keislaman, Keindonesiaan, dan kemoderenan ternyata bukan untuk saling dipertentangkan tetapi bisa ditemukan. Masyarakat Indonesia telah berhasil mendialogkan ketiganya dalam konteks kehidupannya. Mereka menjadi Orang Indonesia yang beragama Islam dan bukan Orang Islam yang sedang mukim di Indonesia. Makanya Indonesia bisa menjadi ikon ke depan bagi pembangunan berbasis keagamaan dan kemoderenan.

Jadi sebenarnya di Indonesia tidak ada tempat bagi atheism dan juga radikalisme agama. Di Indonesia yang dikembangkan adalah Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang memberikan nuasa kedamaian dan bukan kekerasan dan pengorbanan. Islam yang toleran terhadap perbedaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.
.

Categories: Opini