• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ETIKA POLITIK KEPEMIMPINAN

 Golongan Karya (Golkar) baru saja menyelenggarakan perhelatan nasional yaitu Musyawarah Nasional (Munas) VIII yang dilaksanakan di Pekanbaru, 5-8 Oktober 2009, untuk memilih pimpinan partai. Munas yang dihelat di Pekanbaru  tersebut telah menghasilkan pimpinan baru Golkar.  Munas  telah menentukan Aburizal Bakri yang biasa disebut Ical untuk memimpin Golkar  periode 2009-2015. Sebelum ini, Golkar dipegang oleh Jusuf Kalla, biasa disebut JK,  yang juga menjabat Wakil Presiden tahun 2004-2009. Pak JK bersama dengan Pak Susilo Bambang Yudhoyono, biasa disebut SBY, telah memimpin negeri ini dalam kurun lima tahun terakhir. Keduanya memang menjadi eksponen partai politik yang berbeda. Pak JK di Golkar, sementara Pak SBY di Partai Demokrat.

Di Indonesia memang ada kecenderungan bahwa partai politik dihuni oleh para pejabat publik. Misalnya Golkar dengan Pak JK yang Wakil Presiden. Pak SBY yang penasehat Partai Demokrat. Pak Suryadarma Ali menteri UKM yang juga Ketua PPP, Pak Lukman Edy yang Sekjen PKB, Pak Hatta Rajasa yang pimpinan  PAN, dan sebagainya. Hal ini tentu terkait dengan sistem politik di Indonesia yang memberikan kesempatan rangkap jabatan untuk pejabat publik, selama hal itu terkait dengan jabatan politik. Makanya, walikota/wakil walikota, bupati/wakil bupati, gubernur/wakil gubernur, menteri, presiden/wakil  presiden boleh merangkap dengan jabatan di parpol.

Sesungguhnya, yang terbaik adalah pemisahan jabatan publik dengan jabatan politik. Sehingga ketika seseorang memasuki kawasan jabatan publik maka jabatan politiknya harus dilepaskan. Terdapat kesulitan untuk memisahkan kedua jabatan tersebut dari satu orang. Jabatan politik di dalam wilayah publik memang rawan masalah. Contoh yang konkrit, misalnya ada seorang menteri yang datang di suatu daerah yang tidak sama pilihan politiknya, maka bisa jadi pejabat tersebut tidak diperhatikan. Bahkan pernah ada presiden datang  di suatu tempat, akan tetapi pejabat lokalnya tidak datang karena beda partai politiknya.

Pilihan politik memang sering membuat sekat antarindividu atau golongan menjadi rumit. Konflik antara Soeryadi dengan Megawati, Bursah dengan Zainal Maarif, Gus Dur dengan Muhaimin, Amin Rais dengan Sutrisno Bachir, JK dengan Akbar Tanjung dan sebagainya. Di dalam dunia politik, konflik adalah bumbu penyedapnya, sehingga konflik justru dapat menumbuhkan dinamika. Dalam perspektif teori konflik fungsional, bahwa konflik justru menumbuhkan dinamika sosial.  

Perhelatan untuk menentukan pemenang di dalam Munas Golkar juga dibumbui dengan berbagai dinamika konfliktual. Mereka juga saling menyerang dan bertahan. Ada tiga atau empat kubu yang saling berebut pengaruh, Tomy Soeharto, Surya Paloh, Aburizal Bakri dan Yuddy Chrisnandi. Isu politik uang, isu kembalinya klan Cendana, bahkan Lumpur Lapindo mewarnai perhelatan politik besar pasca pilpres  tersebut.

Tiga di antara kandidat Ketua Umum DPP Golkar adalah orang kaya di negeri ini. Dengan kekuatan uangnya, maka bisa melakukan apa saja kecuali mengubah takdir Tuhan. Ketiganya  juga orang yang beruntung secara ekonomis di era orba. Jadi tentu sangat sulit memilih yang benar-benar steril dari pengaruh orba. Makanya isu cendana, dan money politics tidak ampuh untuk menghadang ketiga tokoh tersebut.

Tetapi pergumulan untuk menentukan siapa yang menang juga harus ada. Maka dipilihlah Aburizal Bakri yang track recordnya juga sudah banyak diketahui orang. Memang harus diakui bahwa kebanyakan pimpinan Parpol di era sekarang adalah  produk orba. Jadi,  orba memang telah menghasilkan orang-orang terpilih di zaman sekarang.

Pilihan terhadap Pak Ical sudah ditentukan. Pengurus DPP juga sudah diisi. Dan yang tersisa adalah Sabda Nabi Muhammad saw : ”kullukum ra’in wa kullulkum mas’ulun ‘an raiyyatihi.” Setiap pemimpin dalam level apapun termasuk Pak Aburizal Bakri pun  akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kelak di kemudian hari.

Jadi ketika seseorang menduduki jabatan pemimpin, maka yang harus diingat adalah bagaimana etika politik yang berbasis teks di atas selalu menjadi pedomannya. Ketika seseorang menjadi pemimpin politik kemudian melupakan hal ini, maka yang terjadi adalah pengingkaran terhadap tanggungjawab yang sudah diamanahkan kepadanya. Maka, menjadi pemimpin politik bukan hanya sekedar status sosial dan identitas diri akan tetapi memiliki makna etis yang mendasar.

Wallahu a’lam bi al shawab. 

Categories: Opini