• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGUATKAN SOFT SKILLED DALAM REFORMASI BIROKRASI

Saya diminta oleh Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan  Teknis Administrasi  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Drs. H. Saeroji, MM., untuk memberikan materi Implementasi Reformasi Birokrasi  dan Remunerasi di Lingkungan Kementerian Agama.

Acara yang seharusnya diselenggarakan di Balai Diklat  Ciputat Jakarta Selatan tersebut kemudian dialihkan di Ruang Meeting Sekretariat Jenderal Kementerian Agama di Jalan lapangan Banteng. Acara yang menarik ini digelar Jumat, 29 Agustus 2014.

Saya tentu saja senang bertemu dengan para aparat pemerintah yang sedang mengikuti diklatpim eselon tiga  ini. Di tangan mereka sebenarnya roda birokrasi tersebut digerakkan. Mereka adalah pejabat eselon tiga dari seluruh wilayah Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Di Kementerian apapun pejabat eselon tiga adalah penentu pelaksanaan jalannya roda birokrasi yang sesungguhnya.

Pada kesempatan memberikan pengarahan ini, saya sampaikan bahwa ada tantangan yang perlu untuk diantisipasi oleh para pejabat baik struktural maupun fungsional tentang masa depan birokrasi di Indonesia. Tantangan ini yang harus direspon dengan cerdas oleh semua aparat Kementerian Agama.

Pertama adalah tantangan penguatan pelayanan kepada para stakeholder. Tantangan pelayanan  bukanlah sesuatu yang mudah diselesaikan. Di dalam pandangan saya bahwa tantangan ini bersifat sistemik. Artinya, bahwa untuk bisa melayani dengan baik, maka tentunya para aparat pemerintah haruslah memenuhi standart kelayakan sebagai aparat, misalnya professional. Kiranya tidak mungkin  pejabat yang tidak professional dapat  melayani dengan baik. Makanya, syarat profesionalitas menjadi penting untuk dikemukakan.

Agar menjadi pejabat professional, maka tentunya haruslah terdapat relevansi keahlian dengan pekerjaan atau jabatannya. Mismatch inilah yang menjadi kendala utama di dalam pengembangan profesionalitas para pejabat kita. Masih banyak pejabat yang menduduki jabatannya dengan kondisi mismatch sehingga pelayanan menjadi kurang maksimal.

Memang belum kita dapatkan data yang utuh tentang posisi mismatch ini. Akan tetapi jika dilihat dari dimensi pendidikan atau keahliannya tentu bisa menjadi ukuran yang cukup jelas menggambarkan posisi mismatch tersebut. Memang pendidikan bukan satu-satunya untuk mengukur tentang profesionalitas seseorang di dalam dunia kerja akan tetapi sebenarnya bahwa ukuran dasar yang bisa memberikan penjelasan tentang mismatch adalah pendidikan.

Sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan pendidikan pejabat di Kementerian Agama adalah lulusan PTAIN dan sebagian kecil lainnya adalah lulusan lembaga pendidikan lainnya. Kerana hard skillednya adalah ahli ilmu agama, maka cara pandang dan keahliannya tentulah berselaras dengan bidang studinya dimaksud. Dengan demikian, maka peluang yang harus diambil untuk menjadi professional di dalam pekerjaan atau jabatannya adalah melalui pendidikan tambahan atau pengembangan karir.

Pernyataan ini tentunya tidak dimaksudkan untuk memposisikan bahwa alumni PTAIN tidak layak untuk menjadi pejabat atau pekerjaannya, akan tetapi bagi saya dalah bahwa pendidikan atau latihan tambahan secara terstruktur tentu menjadi bermakna penting. Kita tentu tidak menampik bahwa sejumlah pejabat yang alumni PTAIN ternyata sukses di dalam mengembangkan pendidikan atau birokrasi. Hal ini tentu ada factor soft skilled yang dikuasai dengan baik.

Itulah makna penting pelatihan untuk menunjang karir pejabat dimaksud. Untuk menjadi pimpinan setara pejabat eselon satu tentunya harus melalui pelatihan managerial dan pelatihan lainnya yang setara dengan keahlian manajerial tersebut. Untuk menduduki jabatan eselon IV, demikian pula lainnya. Sebaiknya memang menggunakan konsep didik duduk atau dididik sesuai dengan promosi yang seharusnya akan dilakukan. Dan baru kemudian ditempatkan pada posisi yang relevan dengan keahliannya. Demikian pula seterusnya.

Kedua, tantangan pelayanan dengan hati. Pekerjaan apapun tentunya didasarkan keberhasilannya pada niat yang sungguh dan kerja keras yang tidak mengeal kata pesimisme. Pekerjaan sebenarnya bukan sekedar untuk memperoleh gaji atau pendapatan yang relevan akan tetapi juga menghaslkan kepuasan bagi dirinya kala bekerja dan bagi orang lain yang menjadi partner kerjanya. Oleh karena itu keberhasilan pekerjaan tidak hanya ditentukan oleh otak dan otot saja, akan tetapi juga harus dipandu dengan hati yang ikhlas.

Di sinilah arti pentingnya pengembangan manajemen qalbu di dalam bekerja. Orang yang menggunakan manajemen otak dan otot saja akan tidak berhasil di dalam karirnya kecuali ditambahkan di dalam proses pekerjaan dengan manajemen hati. Makanya, pelatihan untuk mengembangkan potensi diri dalam dunia kerja dan budaya kerja kiranya menjadi penting untuk dikembangkan ke depan.

Oleh karena itu, pendidikan dan profesionalitas saja tidak cukup kecuali dibarengi dengan ketetapan hati untuk bekerja ikhlas dan kerja keras. Di sinilah kunci mengapa ada orang yang berhasil dan ada orang yang belum sukses di dalam karirnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini