PROGRAM PASCASARJANA JANGAN DIGOPUBLIKKAN (2)
Sebagai arahan kedua, Program Pascasarjana (PPs) harus menguatkan akreditasi, baik yang berkaitan dengan rekognisi nasional maupun internasional. Sebagaimana kita ketahui bahwa era sekarang adalah era rezim akreditasi. Perguruan tinggi yang tidak terakreditasi, maka dengan sendirinya akan ditinggalkan orang. Seirama dengan hadirnya UU No 12 Tahun 2012, maka akredtasi menjadi kewajiban yang tidak bisa ditunda.
Itulah sebabnya setiap PPs harus memenuhi ketentuan untuk akreditasi ini. Bahkan akreditasi yang diakui sebagai wahana untuk kepentingan yang lebih luas hanyalah yang berkategori A atau B. Meskipun terakreditasi, akan tetapi dengan peringkat C maka dianggap belum memenuhi kualifikasi yang diharuskan, misalnya untuk kepentingan pekerjaan, memperoleh gelar professor, dan sebagainya.
Melalui akreditasi yang ketat seperti ini, maka PPs harus menguatkan para dosennya dengan gelar akademik doktor dan professor yang relevan dengan program studinya. Dengan demikian, penguatan tenaga pendidik menjadi prasyarat agar sebuah lembaga pendidikan tinggi dapat terakreditasi dengan baik. Inilah tantangan kita yang sangat besar. Banyak diketahui bahwa program PPs di bawah Kementerian Agama masih belum memenuhi secara maksimal terhadap persyaratan tenaga akademiknya ini.
Kenyataannya, hanya ada dua saja yang memperoleh akreditasi institusi dengan peringkat A, yaitu UIN Malang dan UIN Jakarta, selainnya masih C, misalnya untuk IAIN Medan. Sementara yang lain belum melakukan akreditasi institusi. Bahkan untuk PTAIS, selain yang berada di Universitas Umum, masih belum ada yang bergerak untuk akreditasi institusi. Namun demikian untuk akreditasi prodi tentu sudah banyak yang melakukannya. Melihat kenyataan ini, maka dorongan dan dukungan untuk akreditasi dengan peringkat minimal B haruslah menjadi target di masa depan. Artinya, Renstra Pendidikan Tinggi Islam (2015-2019) haruslah memprioritaskan akreditasi sebagai bagian urgent atau mendesak untuk dikemukakan di era tersebut.
Ketiga, kualifikasi mahasiswa program pascasarjana. Yang tidak kalah penting untuk terus dipertahankan adalah kualitas mahasiswa PPs. Jangan pernah menjadikan PPs sebagai program “go public”. Artinya menjual murah terhadap PPs. Yang saya maksud dengan menjual murah adalah dari sisi kualifikasi atau standart minimal mahasiswa yang harus terpenuhi. Kita tidak bisa merekrut mahasiswa asal-asalan saja. Mahasiswa PPs harus terseleksi dengan sangat ketat dan terkendali.
Untuk menjadi mahasiswa PPs haruslah berdasar atas seleksi yang sangat ketat dengan persyaratan yang harus terukur. Kita tidak ingin program pascasarjana menghasilkan alumni yang tidak layak master atau layak doktor. Penguasaan ilmu, metodologi dan bahasa menjadi sangat penting. Melalui rekruitmen yang jelas, maka akan dihasilkan produk yang jelas.
Bahkan saya sudah mengeluarkan Surat Edaran agar untuk menjadi doktor harus telah menghasilkan karya tulis akademik yang dipublis di Jurnal Terakreditasi Nasional. Di era ke depan tentunya harus Jurnal Terakreditasi Internasional. Melalui pengetatan seperti ini bukan dimaksudkan untuk menghalangi seseorang menjadi master atau doktor, akan tetapi semata-mata untuk menjaga kualitas para master atau doktor. Dan untuk menjadi terbaik tersebut tentu dimulai dengan syarat masuk PPs yang teruji dan terkendali.
Di dalam arahan Kyai Tholhah Hasan, bahwa untuk menjadi mahasiswa Program Master atau Doktor Calon Ulama, maka persyaratan sekurang-kurangnya hafal 10 Juz al Qur’an harus diterapkan, termasuk juga penguasaan bahasa Arabnya. Bahkan juga bahasa Inggrisnya. Dengan menguasai bahasa yang menjadi sumber ilmu keislaman tersebut, maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan akan bisa mengakses berbagai sumber belajar yang beraneka ragam dan berkualitas.
Persyaratan inilah yang seharusnya menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah seseorang akan layak atau tidak layak menyandang gelar doktor Ilmu Keislaman murni. Janganlah menjadi ulama Islam kemudian tidak memahami secara utuh tentang ilmu keislaman yang menjadi otoritasnya. Jadi kelak ketika yang bersangkutan menjadi ulama Islam yang bertitel doktor, maka akan dihargai orang dan bisa menjadi referensi untuk ilmu keislaman.
Ke depan, PTAI memang harus tetap menghasilkan ahli ilmu keislaman murni. Sebagai warisan para leluhur yang telah berkecimpung dan mengembangkan ilmu keislaman, seperti Imam Ghazali, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Bukhori, Imam Muslim dan sebagainya, maka PTAI wajib mengembangkan ilmu keislaman murni.
Di masa lalu, banyak ilmuwan Islam Indonesia yang menjadi rujukan dan bereputasi internasional, seperti Syekh Yusuf Al Maqassari, Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Mahfudz al Termassi, Syekh Hasyim Asy’ari, Syekh Ahmad Dahlan, dan sebagainya. Semua adalah putra terbaik bangsa ini yang memiliki konsern dan tindakan luar biasa untuk mengembangkan ilmu keislaman.
Mereka ini bisa menjadi ulama dengan reputasi internasional karena upaya yang dilakukannya dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras. Mereka memiliki pengetahuan dan menguasai sumber-sumber ilmu keislaman dengan sangat memadai.
Oleh karena itu, tentu kita berharap bahwa PPs sebagai ikonnya perguruan tinggi haruslah membangun kharisma dan reputasi akademik karena banyaknya ulama dan ahli ilmu lain yang dihasilkannya. Dan saya kira semua tergantung dari visi, misi dan lingkungan akademik yang kondusif.
Wallahu a’lam bi al shawab.
