PROGRAM PASCASARJANA JANGAN DIGOPUBLIKKAN (1)
Dalam kunjungan saya ke Malang, 30/08/2014, saya dapat memberikan dua kali pengarahan, yaitu pada moment pertemuan Para Rektor dan Ketua PTAIS Jawa Timur yang diselenggarakan di Universitas Islam Malang (UNISMA) dan juga acara Silaturahim Asosiasi Direktur Pascasarjana PTAIS di Hotel Atria Malang. Acara ini juga diprakarsai oleh UNISMA. Dua acara yang sangat menarik, sebab terkait dengan pengembangan pendidikan tinggi Islam yang selama ini menjadi konsern saya untuk dikembangkan.
Tentu ada banyak hal yang dapat saya sampaikan dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan tinggi. Dan memang saya selalu tertarik kala diminta untuk bicara tentang pengembangan pendidikan tinggi. Kiranya hal tersebut terkait dengan latar belakang saya sebagai mantan rektor IAIN Sunan Ampel dan juga sebagai guru besar yang memang memiliki keterkaitan langsung dengan pengembangan PTAI.
Hadir di dalam acara ini adalah Prof. KH. Mohammad Tholhah Hasan, guru besar Unisma, Ketua Yayasan Unisma, dan mantan Menteri Agama di era Presiden Gus Dur. Saya mengapresiasi semangat dan konsern Kyai Tholhah Hasan yang sudah berjanji mewakafkan hidupnya untuk pendidikan. Hadir pula Rektor Unisma, Prof. Surahman, dengan segenap jajarannya, Rektor UIN Malang, Prof. Mujia Raharjo, dan wakil rektornya.
Di dalam acara Silaturrahim Asosiasi Direktur PPs PTAI, saya sampaikan tiga hal mendasar yaitu: pertama, arah kebijakan Kementerian Agama dalam kaitannya dengan pengembangan akademik. Berdasarkan renstra yang kita miliki bahwa pengembangan akademik di PTAI adalah yang disebut sebagai pengembangan ilmu berbasis pada prinsip integrasi ilmu. Di PTAI memang sudah dikembangkan berbagai universitas, institut, dan sekolah tinggi dengan basis pendekatan keagamaan.
Makanya, manakala sebuah universitas mengembangkan bidang atau rumpun ilmu “umum” seperti ilmu sosial dan humaniora atau sains dan teknologi, maka harus dicari peluangnya untuk mengintegrasikan berbagai rumpun ilmu yang berbeda tersebut. Inilah yang menjadi core bisnis kita di dalam pengembangan ilmu dan inilah ciri khas kita di dalam pengembangan lembaga pendidikan tinggi untuk membedakannya dengan perguruan tinggi umum lainnya.
Dengan demikian, yang harus didorong adalah bagaimana PTAI dengan program Pascasarjana itu terus berburu untuk mengembangkan dialog atau integrasi antara ilmu agama dan ilmu “umum” dimaksud. Kita jangan bersaing dengan perguruan tinggi umum untuk mengembangkan ilmu politik dengan pendekatan science politik atau ilmu sosial dengan pendekatan science social atau juga sain dan teknlogi dengan pendekatan sience dan teknologi, akan tetapi yang kita lakukan adalah bagaimana mendialogkan hal-hal di atas.
Dalam pandangan saya, bahwa dialog atau bahkan integrasi bukan suatu hal yang mustahil. Hal ini merupakan keniscayaan. Sudah ada banyak contoh bagaimana mempersandingkan antara ilmu agama dengan ilmu sosial. Ada banyak disertasi dengan menggabungkan antara dua rumpun ilmu ini. Dan sering cara atau metodologi yang digunakan adalah dengan menjadikan satu rumpun ilmu sebagai sasaran kajian dan lainnya menjadi pendekatannya. Di UIN Sunan Ampel, UIN Sunan Kalijaga, UIN Syarif Hidayatullah dan sebagainya, kecenderungan ini sudah menjadi realitas empiris. Gairah untuk mengembangkan integrasi ilmu bukan lagi wacana akan tetapi sudah menjadi kenyataan yang tidak bisa diabaikan.
Kita merasa bangga bahwa cita-cita untuk mengembangkan ilmu keislaman integrative sudah menjadi bagian dari mindset para pengelola pendidikan tinggi Islam. Saya yakin bahwa ke depan tentunya akan semakin kuat gerakan Intregasi ilmu ini mewarnai lembaga pendidikan tinggi Islam. Rasanya, tidak sia-sia Ismail Raqi Al Faruqi dan Istrinya, Lamya Al faruqi, yang sekian tahun lalu meneriakkan pentingnya Islamisasi ilmu di Amerika Serikat, sehingga beliau berdua harus menjadi syahid atas pikirannya ini.
Pengembangan integrasi ilmu tentunya harus terus didengungkan di seluruh PTAI kita agar ke depan dapat menjadi arus utama dalam percaturan akademik di dunia internasional. Saya kira kalau seluruh komponen di PTAI berpikir dan berbuat dengan sungguh-sungguh, maka masa depan pengembangan dan kiblat ilmu pengetahuan pastilah akan didapati di Indonesia.
Ke depan kita ingin mengambil alih sumber pengetahuan bukan lagi di Barat atau Timur Tengah, akan tetapi sumber ilmu pengetahuan adalah di Indonesia. Ini merupakan gagasan atau bahkan mimpi, akan tetapi sebagaimana yang sering diungkapkan oleh banyak orang bahwa mimpi adalah cita-cita. Kalau kita ingin maju maka harus ada cita-citanya. Jadilah manusia yang kakinya menginjak di bumi tetapi pikirannya menjangkau langit.
Oleh karena itu, saya sungguh berharap agar para direktur pascasarjana bekerja secara serius untuk mengembangkan ilmu integrative ini. Caranya adalah dengan menyaring sumber mahasiswa, proses pembelajaran, hasil karya ilmiah dan penguasaan ilmu yang mantap, sehingga tujuan dan mimpi besar tersebut akan bisa direalisasikan.
Saya berkeyakinan bahwa gerakan integrasi ilmu di PTAI kita akan dapat mengantarkan lembaga pendidikan kita ke depan sebagai institusi yang dihargai dan berwibawa di dunia akademik internasional.
Wallahu a’lam bi al shawab
