MENATA BIMBINGAN MASYARAKAT KONGHUCU
Saya diminta untuk menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama pada Kementerian Agama. Acara yang diselenggarakan di Hotel Ibis Manggarai Jakarta (25/08/2014) tersebut dihadiri oleh Kepala Pusat Kurukunan Umat Beragama, Mubarok, Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Hindu, Kasubag Bimbingan Masyarakat Konghucu, pimpinan Matakin dan pimpinan Makin seluruh Indonesia dan staf Kementerian Agama.
Kehadiran Agama Konghucu bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, bahwa yang berhak mendapatkan pelayanan khusus dari negara adalah penganut Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sebagaimana amanat Undang-Undang ini, maka Kementerian Agama menerbitkan PMA Nomor 10 Tahun 2010 tetang pelayanan Agama Konghucu yang ditempatkan di Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dan juga PMA Nomor 13 Tahun 2013, mengenai pelayanan bagi penganut Agama Konghucu di tingkat Kanwil Kementerian Agama Propinsi dan juga di tingkat Kakankemenag Kabupaten/Kota.
Sebagaimana biasanya, maka acara ini tentu didahului dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu laporan Ketua Panitia dan juga sambutan saya selaku Sekretaris Jenderal Kementerian agama. Di dalam sambutan ini, saya tekankan tentang tiga tantangan yang dihadapi oleh pejabat yang memiliki kewenangan di dalam bimbingan masyarakat Konghucu.
Pertama, tantangan pendataan masyarakat Konghucu. Berdasarkan pengamatan lapangan, maka salah satu hal mendasar yang kiranya harus menjadi perhatian para pejabat baik structural maupun organisasional adalah tentang akurasi data mengenai jumlah masyarakat Konghucu. Ada gambaran data bahwa jumlah pemeluk Konghucu adalah 117.000 orang. Namun demikian, data ini kiranya masih perlu untuk diverifikasi kebenarannya. Bukan kita meragukan tentang jumlah besar atau kecilnya, akan tetapi kiranya diperlukan data yang terpercaya agar bimbingan kepada mereka juga bisa dilakukan dengan baik.
Data yang akurat menjadi ukuran untuk menentukan program dan juga anggarannya. Di dalam perbincangan dengan Bappenas atau di dalam trilateral meeting selalu saja yang dikritisi adalah tentang akurasi data ini. Akurasi data menjadi ukuran ketepatan perencanaan program maupun penganggarannya.
Secara umum memang salah satu kelemahan kita adalah mengenai ketepatan data. Dengan data yang akurat, maka kepercayaan terhadap Kementerian Agama juga akan meningkat. Jadi ketika kita mengajukan kenaikan anggaran dari tahun ke tahun tentunya akan dapat direspons secara memadai. Dengan demikian ketepatan data sungguh sangat dipentingkan di dalam sebuah lembaga atau birokrasi yang terkait dengan perencanaan dan penganggaran.
Kedua, identitas sebagai pemeluk Konghucu juga menjadi penting. Pendataan tentu tidak akan mudah dilakukan manakala persoalan identitas belumlah tuntas. Identitas adalah batas pembeda antara satu dengan lainnya. Biasanya dikaitkan dengan simbol-simbol yang terdapat dan menjadi penanda bagi identitas dimaksud.
Di dalam kehidupan ini, maka identitas menjadi sangat penting. Melalui identitas yang jelas juga akan diketahui siapa sesungguhnya kita ini. Tentu ada batas secara personal maupun komunal yang bisa dilihat berdasarkan atas simbol-simbol yang dapat diketahui bersama baik secara fisikal maupun identitical. Jika dikaitkan dengan identitas keagamaan, maka secara fisikal tentu akan bisa dilihat dan dipahami. Identitas agama di dalam kehidupan ini tentu sangat mudah dikenali.
Jika agama sudah membudaya, maka juga dengan mudah akan dapat diketahui identitas penganut agama itu berdasarkan ciri khas ritual, cara berpakian dan bahkan juga cara berpikirnya.
Di satu agama saja juga akan diketahui identitas penggolongan social dan ideologis penganut agama dimaksud. Makanya, dengan memahami simbol-simbolnya maka dapat diketahui bagaimana afiliasinya di dalam penggolongan social, ideologis bahkan juga politiknya.
Namun demikian yang sangat penting adalah bagaimana menjalin kerukunan di atas keragaman identitas beragama ini. Kiranya jangan hanya membicarakan aku atau kamu, akan tetapi yang lebih penting adalah tentang kita. Jika kita berbicara dengan bahasa “Kekitaan”, maka batas identitas yang semula sangat tegas tersebut akan menjadi luruh ke dalam kebersamaan.
Jadi jangan pernah menjadikan perbedaan identitas sebagai penghalang untuk merajut kerukunan. Ikatan primordial kita adalah “Kekitaan” yang didasari oleh semangat kerukunan kebangsaan dan kemanusiaan. Jika hal ini yang dijadikan sebagai mahkota kehidupan, maka merajut kerukunan di dalam kebinekaan tentu bukanlah masalah yang sulit dilakukan.
Ketiga, pelayanan kepada umat Konghucu. Sebenarnya ada tiga hal mendasar yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melayani umat beragama, yaitu pendidikan, kependudukan dan pernikahan. Sebagaimana yang sering diungkapkan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, bahwa pemerintah di dalam hal ini adalah Kementerian Agama memiliki kewajiban untuk memenuhi Undang-Undang terkait dengan pelayanan kepada pemeluk agama. Oleh karena itu, maka pemerintah harus memberikan pelayanan dan perlindungan kepada umat beragama termasuk penganut agama-agama minoritas.
Di antara tantangan yang sangat serius adalah mengenai kelangkaan guru agama Konghucu. Hingga hari ini belum didapatkan guru-guru agama Konghucu yang memenuhi standar mengajar. Belum ada guru agama Konghucu yang berijazah Strata satu. Dewasa ini baru terdapat satu Lembaga Pendidikan Tinggi Agama Konghucu Swasta di Semarang. SETAKONG XIN RUIN. Kehadiran lembaga pendidikan tinggi ini diharapkan akan dapat mengisi kekosongan guru Agama Konghucu.
Oleh karena itu ke depan tentu harus dipikirkan secara mendalam tentang bagaimana peningkatan kualitas pelayanan kepada umat Agama Konghucu, sebab inilah tanggungjawab pemerintah di dalam pelayanan kepada umat beragama.
Wallahu a’lam bi al shawab.
