MENCETAK GENERASI AL QUR’AN
Saya merasa hampir tidak percaya bahwa dalam waktu hanya tiga bulan 15 hari dan tiga bulan 18 hari ada anak Indonesia yang bisa menghafalkan al Qur’an 30 juz. Hal ini bagi saya adalah peristiwa langka, sebab tentunya tidak mudah untuk mengahafalkan al Qur’an dalam waktu yang sangat singkat. Tetapi itulah kenyataannya, bahwa anak Indonesia ternyata memang hebat jika diajar dan dididik yang benar.
Program hafalan al Qur’an memang sudah lama terdapat di Indonesia. Ada banyak pesantren yang mengembangkan hafalan al Qur’an. Di Jawa Timur, misalnya Pesantren Tebuireng, di Jawa Tengah misalnya Pesantren Sarang, di Jawa Barat Pesantren Darul Qur’an dan sebagainya.
Sekarang ini, sesuai dengan perubahan zaman, maka semakin banyak pesantren yang mengibarkan bendera sebagai pesantren tahfidz. Bahkan juga sudah berkembang ke Madrasah Tahfidz dan Perguruan Tinggi Islam tahfidz. Perubahan ini tentu terkait dengan kecenderungan akhir-akhir ini dengan semakin banyaknya keinginan orang tua untuk memberi pendidikan yang lebih bermuatan keislaman.
Memang akhir-akhir ini ada semacam Gerakan Indonesia Menghafal Al Qur’an. Fenomena ini yang bisa kita lihat dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam yang memiliki focus untuk hafalan al Qur’an. Jika di masa lalu hafalan al Qur’an itu adalah otoritas pesantren, maka sekarang sudah tidak lagi seperti itu. Ada lembaga pendidikan seperti madrasah dan lembaga pendidikan informal yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan seperti ini.
Seakan tidak mau kalah, maka media informasi seperti televisi juga terlibat di dalam proses menggerakkan program Gerakan Indonesia Menghafal Al Qur’an. Stasiun televisi juga memiliki program pengembangan hafalan al Qur’an. Misalnya televisi yang menyelenggarakan kompetisi anak-anak untuk hafalan al Qur’an. Dan kita juga memberikan apresiasi bahwa ada anak usia tujuh tahun yang sudah menghafal 30 juz. Luar biasa.
Salah satu lembaga pendidikan Islam yang sangat konsern di dalam pembelajaran hafalan Al Qur’an adalah Pesantren Sulaimaniyah Turki di Indonesia. Pesantren Sulaimaniyah yang semula berpusat di daerah Pasar Minggu, dan berdiri Sembilan tahun yang lalu, ternyata sekarang sudah berkembang menjadi 16 pesantren dan tersebar di seluruh Indonesia.
Menurut Direktur United Islamic Cultural Center of Indonesia (UICCI) yang bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk pengiriman santri di Pesantren Sulaimaniyah menyatakan bahwa perkembangan Pesantren Sulaimaniyah di Indonesia sangat menggembirakan. Dan menurutnya, bahwa para santri yang akan dikirim ke Turki dijamin semuanya. Tidak usah khawatir tentang keadaan kehidupan para santri di Pesantren Sulaimaniyah di Turki.
Pada hari Senin, 19 Agustus 2014 di Aula HM Rasyidi kantor Kementerian Agama RI diselenggarakan acara Wisuda Para hafidz dan hafidzah 30 juz. Ada sebanyak 70 orang, 54 lelaki dan 16 perempuan yang menjadi santri penghafal al Qur’an yang diwisuda kemarin. Hadir di acara ini adalah Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, pejabat eselon I Kemenag, Direktur UICCI, Hakan Soydemir, Wakil Duta Besar Turki di Indonesia dan sejumlah pejabat daerah, wali santri atau orang tua santri dan tentu juga sejumlah kyai yang diundang di dalam acara ini.
Di dalam laporan saya, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, adalah adanya kecenderungan yang cukup besar untuk melakukan pendalaman terhadap kitab suci al Qur’an. Dewasa ini makin banyak orang tua yang mengirimkan anaknya untuk belajar dan menghafal al Qur’an. Kedua, berkembangnya metode menghafal al Qur’an yang berbasis pada akselerasi atau percepatan hafalan al Qur’an. Salah satu metode yang ampuh adalah yang dikembangkan oleh Pesantren Sulaimaniyah ini. Melalui metode yang dikembangkannya maka percepatan hafalan al Qur’an sudah terbukti hasilnya. Ketiga, keberpihakan media terhadap hafalan al Qur’an. Kita bisa saksikan bahwa media televisi ternyata juga tertarik untuk menjadikan hafalan al Qur’an sebagai acara edutainment yang menarik. Dengan segmen acara pendidikan, maka hafalan al Qur’an yang semula hanyalah fenomena pesantren, maka kini telah menjadi fenomena media.
Wakil Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar juga menyatakan bahwa Islam memang mengajarkan agar kita terus membaca. Ayat pertama yang hadir di tengah kehidupan manusia adalah mengenai “membaca”, iqra’. Membaca di dalam konteks ini bukan membaca dalam pengertian umum atau generic. Membaca memiliki makna yang lebih luas cakupannya dan konteksnya.
Menurutnya, bahwa ada empat pemahaman tentang membaca, yaitu; pertama, membaca dalam pengertian pada umumnya, misalnya membaca buku, membaca puisi, membaca prosa, dan seterusnya. Membaca dalam konteks ini hanya untuk menjadi bahan bacaan. Membaca sebagai pengulangan semata.
Kedua, membaca dalam pengertian mendalami atau mengkaji secara mendalam terhadap apa yang dibacanya. Jadi tidak hanya sekedar membaca tanpa memahami, akan tetapi membaca dengan memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Ketiga, menafsirkan bacaannya dan membandingkannya dengan kenyataan atau realitas empiris yang ditemuinya. Jadi tidak hanya mengkaji maknanya saja akan tetapi dengan memahami konteks sekitarnya. Dibandingkannya dengan ayat-ayat kauniyah yang bisa dengan jelas mempertontonkan tentang tanda-tanda kebesaran Allah swt.
Keempat, memahami, mengkaji dan mengamalkannya. Inilah puncak membaca kalam ilahi. Orang yang membaca tidak berhenti dengan hanya membenarkan dengan ayat-ayat kauniyah akan tetapi juga mengamalkan apa yang dibacanya tersebut. Inilah yang disebut sebagai the living al Qur’an.
Saya sungguh merasakan betapa para penghafal al Qur’an ini adalah orang yang terpilih. Mereka menghafal al Qur’an dan menjadikan al Qur’an sebagai dasar atau fondasi kehidupannya.
Kita semua tentu bangga kalau melihat bahwa yang menjadi Imam di Masjid di Tokyo adalah orang Indonesia. Yang menjadi Imam di Masjid di Melbourne adalah orang Indonesia. Yang menjadi Imam di Washington DC adalah orang Indonesia. Yang menjadi Imam di London adalah orang Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.